MAHKAMAH Agung (MA) ternyata berwenang mencegah orang-orang asing yang terlibat perkara perdata agar tidak meninggalkan Indonesia. Baru-baru ini peradilan tertinggi itu meminta Ditjen Imigrasi mencegah seorang warga negara Amerika Serikat, David A. Hite, meningalkan Indonesia karena Presiden Direktur Nordell International Resources (NIR) Ltd. itu tengah digugat PT Dimas Drillindo (DD) senilai Rp 777 juta. Akibat permintaan itu, David kini termasuk dalam daftar orang-orang yang tidak diperbolehkan meninggalkan Indonesia. Menurut pihak Imigrasi, sampai pekan ini, David masih ada di Indonesia. Padahal menurut perwakilan NIR di Jakarta, bosnya itu sudah terbang ke Kanada setelah menghabiskan liburannya di Bali 12 Oktober lalu -- atau dua hari setelah MA meminta Departemen Imigrasi mencegah kepergian orang itu. Lebih menarik dari itu adalah kewenangan MA mencegah orang yang terlibat perkara perdata meninggalkan Indonesia. Sebab, selama ini tindakan itu hanya biasa dilakukan Jaksa Agung terhadap orang-orang yang tersangkut perkara pidana -- yang lebih menyangkut kepentingan umum. Sementara itu, dalam perkara perdata, selain lebih menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak berperkara, si tergugat juga bisa mewakilkan proses persidangan kepada kuasa atau pengacaranya. Ternyata, menurut kepala Humas Imigrasi, Hamsuk S. Widjaja, sejak 10 November 1981, Mahkamah Agung, sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman, memang bisa meminta Ditjen Imigrasi agar mencegah kepergian seseorang yang sedang tersangkut perkara perdata ke luar negeri. Pencegahan itu, kata Hamsuk seperti juga wewenang Jaksa Agung, berlaku selama 6 bulan. Berdasarkan wewenang itulah MA, pada 10 Oktober lalu, menyampaikan permintaan khusus" itu ke Ditjen Imigrasi agar David dicegah dulu meninggalkan Indonesia untuk menyelesaikan perkara perdatanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sepekan sebelumnya, David, selaku Direksi NIR, memang digugat Direktur DD, Haji Mas Mohamad Said, yang kebetulan kakak kandung ketua MA, Ali Said. NIR, selaku kontraktor utama Pertamina, mengontrak beberapa sub-kontraktor lainnya, termasuk DD, untuk menggarap proyek perbaikan dan pemulihan kembali (secondary recovery) sumur minyak Pertamina di Muara Enim, Palembang. Tapi setelah proyek itu dikerjakan, Maret Silam, NIR tak melunasi tagihan DD sekitar US$ 368.373,23 atau Rp 631 juta. Upaya DD menagih NIR secara baik-baik kabarnya gagal, sementara utang NIR membengkak menjadi US$ 453.698,70. Karena itu, 3 Oktober lalu, DD menggugat David dan NIR ke pengadilan. Selain menuntut pelunasan utang, DD juga meminta agar pengadilan melarang David dan pejabat NIR lainnya meninggalkan Indonesia selama gugatan itu diproses. Untuk setiap kali pelanggaran larangan ini, pihak DD menuntut denda US$ 650.000 dan US$ 25.000 untuk setiap hari "keabsenan" mereka di Indonesia. Kendati gugatan itu belum sempat disidangkan, ternyata pengadilan meneruskan tuntutan "dilarang keluar" itu ke MA. Peradilan tertinggi itu, 10 Oktober lalu, mengabulkan. Pada hari itu juga, menurut Kepala Humas Imigrasi, Hamsyuk Wijaya, pihaknya sudah menginstruksikan segenap jajaran Imigrasi di bandara-bandara seluruh Indonesia agar mencegah kepergian David dari Indonesia. Beberapa eksekutif di NIR Jakarta dan di kantor pusatnya, Kanada, mengaku kaget mendengar berita itu. "Kenapa mereka tidak bertanya kepada kami lebih dahulu, baik tentang perkaranya maupun keberadaan David?" ucap Representative for Legal Affairs NIR, R. Rr. Sita Wachyo. Padahal, katanya David setelah berlibur di Bali langsung terbang ke Kanada pada 12 Oktober lalu. Selain itu, kata Sita, sebetulnya pihak NIR pekan-pekan ini akan melunasi tagihan pada DD. Sebab, pada 30 November lalu, NIR telah menandatangani perjanjian bagi hasil selaku kontraktor utama Pertamina dengan mitra barunya, Traiton. Sesuai dengan kesepakatannya, Traiton akan menanggung segala utang NIR, termasuk terhadap DD. Untuk urusan itulah -- selain liburan menurut Sita, David datang ke Indonesia pada 12 September silam. Sebab itu pula Sita menganggap perintah cegah itu bisa menyinggung prestise David. "Nama Indonesia juga bisa jelek, 'kan?" ujarnya. Ahli Hukum Perdata Internasional, Prof. Sudargo Gautama, juga mengaku kaget mendengar berita larangan itu. Sebab, setahu dia, perintah semacam itu hanya bisa dikenakan terhadap orang-orang yang tersangkut perkara pidana. "Kalau menyangkut perkara perdata, ya, tak dibenarkan," kata Gautama. Tapi, menurut Wakil Ketua MA, Purwoto S. Gandasubrata, perintah semacam itu bukan pertama kalinya dikeluarkan instansi tersebut. "Pencegahan itu perlu untuk kelancaran pemeriksaan perkara perdata," kata Purwoto. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sakir Ardiwinata, juga berpendapat bahwa pencegahan itu penting. Sebab, dalam perkara itu, misalnya, David hingga kini tak pernah meninggalkan alamat yang jelas dan lengkap, dan tak pula memberi kuasa kepada pengacaranya. "Kalau dia meninggalkan Indonesia, kemudian sulit ditemukan kembali, 'kan bisa mengganggu penyelesaian perkaranya?" ujar Sakir. Menurut pengacara kawakan Yap Thiam Hien, pencegahan itu wajar saja agar tergugat mempertanggungjawabkan kewajibannya sebelum pergi dari Indonesia. David, katanya, bisa saja meninggalkan Indonesia setelah memberikan jaminan sebesar nilai gugatan. "Supaya jika lawannya nanti menang tidak akan sia-sia, hanya pegang angin saja," kata Yap. Bagaimanapun juga, seorang ahli hukum di Jakarta menganggap tindakan pencegahan itu tidak pada tempatnya. "Sebab perkaranya belum diperiksa pengadilan, berarti dalil penggugat belum diuji kebenarannya," ujarnya. Kalaupun dikhawatirkan David tidak akan melunasi hutangnya, kata sumber itu, seharusnya penggugat meminta pengadilan melakukan sita jaminan terhadap kekayaan David. "Itu pun baru bisa dikabulkan hakim bila perkara sudah disidangkan," tambahnya. Direktur DD, Haji Mas Mohamad Said, menyatakan persoalan itu kini sudah hampir selesai. Dengan tercapainya kesepakatan NIR dan Traiton, yang juga ditandatangani David, urusan tagihan itu akan segera diselesaikan NIR. Berdasar itu, katanya, pencegahan itu sudah bisa dicabut. "Kemungkinan gugatan kami juga akan dicabut," kata Mohamad Said. Happy S., B. Aji S., Agung F. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini