TAMAT sudah karier Ben Johnson. Sprinter Kanada berkulit hitam berdarah Jamaika itu terbukti untuk kedua kalinya positif memakai obat perangsang. Hukumannya tak tanggung-tanggung: se- umur hidup tak boleh bertanding. Putusan itu dikeluarkan IAAF (federasi atletik amatir internasional) di Paris, Jumat lalu. ''Komisi dope secara bulat memutuskan Ben Johnson benar-benar positif,'' kata Sekjen IAAF, Istvan Gyulai. Sampel dari urine atlet itu mengandung kadar testosterone sangat tinggi, sepuluh kali dari batas kadar normal. Vonis segera dijatuhkan, dan Johnson boleh banding. Sebelumnya Johnson dites tiga kali. Tanggal 15 dan 17 Januari ia dites dalam pertemuan atletik di stadion tertutup Montreal. Sedangkan tes ketiga dilakukan 19 Januari. Sejak Johnson terkena doping di Olimpiade Seoul, pemerintah Kanada bersikap tegas menghapus dope. Tahun 1989 tercatat ada 50 atlet ditindak. Tahun 1992 masih ada 13 kasus. Dan menghadapi kenyataan bahwa urine Johnson mengandung testosterone, Presiden Atletik Kanada Paul Dupre pun prihatin. ''Sangat tragis,'' katanya. Sedangkan Carl Lewis, ''lawan'' Johnson di lapangan, berkomentar, ''Saya berharap kejadian ini menciutkan hati para atlet untuk memakai obat perangsang.'' Johnson, yang nama lengkapnya Benjamin Sinclair Johnson, belum mau berkomentar. Lelaki kelahiran Falmouth, Jamaika, 30 Desember 1961 itu sudah tak bisa berkutik. Perjalanan panjangnya berakhir. Di Olimpiade Seoul (1988) ia membuat kejutan. Rekor 100 meter, yang kata para ahli baru akan pecah 50 tahun mendatang, sudah dilahap Johnson. Ia mengukir waktu 9,79 detik. Tapi di situlah malapetaka pertamanya datang. Dua hari setelah perlombaan, air seninya ketahuan mengandung stanozolol, jenis steroid anabolik yang dilarang. Medalinya pun dicopot. ''Saya tak pernah tahu telah minum obat terlarang,'' katanya. Ucapannya mengesankan tak bersalah. Tapi pundinya jelas remuk. Ia gagal tampil di Tokyo. Kontraknya sebagai bintang iklan sepatu Diadora senilai US$ 2 juta juga dicabut. Belum lagi kontrak lainnya. Dan Johnson pun gelisah. Tahun 1989, di hadapan komisi penyidik dope di Toronto, ia mengaku mendapat suntikan obat perangsang Estragol dari dokter pribadinya, George ''Jamie'' Astaphan, sejak 1985. Bahkan ia pun mengaku, sejak 1981 sudah memakai obat perangsang yang diperkenalkan oleh pelari Kanada lainnya, Charlie Francis. Bahwa selama ini ia berbohong, itu karena merasa malu dengan famili dan teman-temannya. Jonhson pun dihukum dua tahun tak boleh bertanding. Dokter Astaphan yang menyuntikkan obat perangsang juga dihukum tak boleh praktek 18 bulan dan denda Rp 9 juta. Selesai skorsing, tahun 1991, Johnson kembali bertanding. Tapi prestasinya buruk. Di Olimpiade Barcelona, kendati disambut meriah, ia hanya mengukir waktu 10,55 detik. Ia pun tumbang di semifinal nomor 100 meter. Dari delapan pelari, ia tercecer di urutan buncit. Waktu itu Carl Lewis senang melihat penampilan Johnson yang bersih. ''Saya ucapkan selamat. Ia kini kelihatan berbeda, baik dari segi fisik maupun emosi,'' kata Lewis. Diam-diam Johnson sesumbar, ''Saya akan kembali. Saya akan meraihnya tahun depan.'' Ambisinya memang masih menggelegak. ''Karier saya masih panjang. Saya yakin mampu naik lagi tanpa bantuan dope. Kini saya benar-benar telah bersih,'' kata Johnson. Di gelanggang tertutup di Perancis, awal tahun ini, ia membuktikan itu. Jarak 50 meter ditempuhnya dalam waktu 5,65 detik, atau lebih lambat sepersepuluh detik dari prestasinya tahun 1987. ''Orang-orang kini tahu saya masih yang terbaik,'' katanya. Siapa yang menduga bahwa ternyata ia kembali menggunakan obat perangsang, seusai bertanding di Montreal, sehingga dijatuhi hukuman seumur hidup. ''Kami akan banding. Tapi harus saya konsultasikan dulu kepada Johnson,'' kata pengacaranya, David Kent. Naik banding ini bisa dilakukan lewat federasi atletik Kanada. Nasib serupa tampaknya akan menimpa pelari Kenya, John Ngugi. Juara dunia lintas alam lima kali ini menolak dites obat perangsang. Alasannya, tim dokter IAAF yang mendatangi tempat latihannya 300 kilometer sebelah utara Nairobi tak mau memberikan identitas secara jelas. Ngugi, yang di Indonesia cu- kup beken karena pernah menjuarai Bob Hasan 10-K tahun 1988, mengaku tak pernah memakai obat-obatan. Ngugi adalah pelari alam setiap pergi ke sekolah ia harus berlari 12 km. Pemegang medali emas Olimpiade Seoul nomor 5.000 meter yang bertungkai panjang (tinggi 179 cm) itu mengatakan kepada pers bahwa ia tak peduli dengan pengetesan itu. Akibatnya Ngugi ditolak ikut seleksi tim nasional Kenya untuk kejuaraan lintas alam akhir Maret di Spanyol. Kasusnya sudah dibawa ke IAAF dan ia bisa dihukum 4 tahun tak boleh bertanding. Belakangan Ngugi bersedia dites, dan hasilnya baru diputuskan tiga bulan mendatang. ''Dan selama itu Ngugi sudah pasti tak boleh bertanding,'' kata David Okeyo, sekjen asosiasi atletik amatir Kenya. Widi Yarmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini