Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berita Tempo Plus

Tiada prestasi dalam sebulan

Tim Indonesia hanya mampu meloloskan 2 dari 29 petinjunya ke final piala presiden XI. Hanya Adrianus Taroreh dan Agus May yang melaju. Sepi penonton dan sikap PB Pertina dianggap mendua.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Tiada prestasi dalam sebulan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DUGAAN itu akhirnya menjadi kenyataan. Tim Indonesia hanya mampu meloloskan dua dari 29 petinjunya ke final Piala Presiden XI, yang berlangsung Selasa pekan ini. Apa boleh buat, memang. Hanya Adrianus Taroreh (kelas ringan) dan Agus May (kelas layang ringan) yang mampu melangkah sampai ke babak akhir, mempertaruhkan kehormatan tuan rumah. Padahal, ketua eksekutif PB Pertina, Bob Nasution, sebelum turnamen dimulai Rabu pekan silam, sudah memberikan rangsangan kepada petinju Indonesia untuk berprestasi. "Saya akan memberi bonus kepada petinju yang meraih medali emas sebesar Rp 250 ribu. Medali perak dan perunggu tak ada artinya," katanya. Iming-iming Bob, yang juga kepala Kejaksaan Tinggi Sum-Bar itu, ternyata kurang mujarab. Bonus uang yang tak terlalu besar buat ukuran atlet amatir itu memang tak cukup kuat untuk memompa semangat para petinju agar lolos ke babak final - apalagi merebut emas. Namun, yang memprihatinkan sebenarnya adalah "jenis" kekalahan yang dialami petinju-petinju Indonesia. Hampir separuh wakil tuan rumah - 11 petinju kandas dengan menderita kalah KO atau RSC. Salah satunya adalah Agus Titaley, petinju kelas layang ringan. Di partai perdana, pada malam pembukaan turnamen Rabu pekan lalu, ia menghadapi petinju Kanada yang dipersiapkan ke Olimpiade Seoul, Scot Olson. Pertarungan itu sendiri memang berlangsung berat sebelah. Di ronde pertama menit kedua, sebuah pukulan hook kanan Olson bersarang di rahang Agus. Kontan petinju Indonesia itu terjengkang. Setelah mendapat hitungan wasit Romeo dari Filipina, Agus dalam keadaan teler mencoba bangkit kembali dan meneruskan pertarungan. Kembali Olson menggempur dengan melayangkan upper-cut kanannya, yang menyodok dengan telak dagu lawannya. Agus roboh dan tak bangun lagi sebelum bel berakhirnya ronde pertama berbunyi. Di hari kedua kekalahan menyesakkan kembali menimpa kubu Indonesia. Petinju Kanada Scot Olson makan korban lagi. Kali ini yang dibantainya adalah Jefry Dominggo - kalah RSC di ronde ke-3. Lalu Ricky Anastasio Soares sempat pingsan akibat menerima bogem mentah dari petinju Aljazair, Dine Ahmed, di bagian ulu hatinya. Petinju berusia 20 tahun asal Timor Timur yang turun di kelas menengah itu akhirnya sempat menerima perawatan di RS Pertamina. "Saya terkena pukulan upper-cut. Lalu saya tak bisa bernapas. Tiba-tiba saya merasa gelap dan tak sadar lagi," katanya lirih. Suramnya prestasi petinju-petinju Indonesia itu bisa jadi merupakan cerminan penyelenggaraan turnamen itu sendiri. Kali ini jumlah negara peserta yang mengirimkan petinjunya lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hanya 11 negara dengan 93 petinju yang tampil di Istora Senayan. Padahal, tahun lalu ada 15 negara dengan 109 petinju. Tahun lalu, waktu tujuh hari yang disediakan panitia hampir tak cukup untuk menyelesaikan semua partai pertandingan yang ada. Untuk pertama kalinya - sejak turnamen tahunan ini berlangsung pertama kali pada tahun 1976 - pertandingan dilangsungkan siang dan malam. "Jumlah peserta yang ikut merupakan yang terbesar," kata Bob Nasution waktu itu. Setiap malam, penonton yang ada hampir memenuhi separuh Istora Senayan, yang berkapasitas 10 ribu orang. Seperti sebuah antiklimaks, turnamen tahun ini tak dapat sambutan luas. Penonton yang hadir cuma sekitar 1.000 orang setiap malamnya. Padahal, panitia sudah mengusahakan berbagai cara untuk mempromosikan turnamen ini. Misalnya dengan penjualan karcis di sekolah-sekolah menengah dengan potongan harga khusus. Upaya ini, "ternyata kurang berhasil," keluh Bob Nasution. Merosotkah animo masyarakat terhadap olah raga tinju? Tidak, kata ketua umum PB Pertina sejak 1968, Saleh Basarah. Kecenderungan penggemar olah raga tinju secara nasional justru meningkat. "Saat ini sudah semua 27 provinsi yang ikut dalam setiap kejuaraan tinju yunior atau senior yang diadakan Pertina," katanya kepada TEMPO. Ia mengungkapkan, ketika di tahun-tahun pertama menduduki posnya. "Cuma ada 11 provinsi yang ikut kejurnas," katanya, mengenang. Kini sasana-sasana tinju sudah merebak ke pelosok-pelosok kampung. "Setiap provinsi rata-rata memiliki 100 petinju potensial," katanya lagi dengan bangga. Tapi apa yang terjadi dengan prestasi petinju Indonesia di turnamen Piala Presiden? Sejak semula memang sudah tampak bahwa persiapan para petinju tambal sulam. Itu sebabnya banyak orang yang sudah meragukan petinju tuan rumah akan berprestasi di arena ini. Salah satunya adalah pelatih tinju nasional Wiem Gomes, misalnya. Ia mengungkapkan bahwa tak mungkin mempersiapkan petinju kalau hanya diberi waktu kurang dari sebulan. Apalagi di arena Piala Presiden yang tahun ini sekaligus dijadikan arena uji coba oleh beberapa negara peserta--seperti Uni Soviet, Kanada, Australia - untuk menyeleksi petinjunya sebelum ke Olimpiade Seoul, September mendatang. Sebagai perbandingan, Australia, yang mengirimkan 10 petinjunya, sudah menyiapkan diri sejak dua bulan sebelumnya. Tak cuma itu. Perhatian pengurus PB Pertina terhadap petinjunya juga dirasakan kurang. Selama pelatnas yang berlangsung sejak 10 Januari lalu, petinju yang sakit, seperti Sonny Arwam, Johannes Tefa, Darwinsyah, dan Manimbul Silaban, praktis tak digubris oleh para pengurus. "Terpaksa pelatih ambil uang dari kantungnya sendiri untuk beli obat," keluh Wiem Gomes, seperti yang diungkapkan di harian Suara Pembaruan akhir bulan lalu. Di lain pihak, pengurus PB Pertina mati-matian mempertahankan eksistensi turnamen Piala Presiden, yang kini menginjak tahun kesebelas. Dana sebesar Rp 200 juta disiapkan untuk membiavai turnamen ini. Turnamen Piala Presiden kini merupakan turnamen yang paling bergengsi dan satu-satunya di Asia yang diakui oleh Persatuan Tinju Amatir Internasional (AIBA). Turnamen tinju King's Cup di Bangkok, yang lebih tua usia penyelenggaraannya, sejak tahun ini dihentikan karena masalah intern organisasi dan dana. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus