Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berita Tempo Plus

Seabad lebih menanti kompilasi

Rancangan kompilasi hukum Islam rampung disusun. Di harapkan kalau kompilasi itu sudah sah, akan sedikit memberi kemudahan bagi calon-calon hakim dari luar iain. Tapi hakim agama masih kurang di indonesia.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Seabad lebih menanti kompilasi
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUDAH 104 tahun Mahkamah Syariah (Pengadilan Agama) di Indonesia tanpa pegangan hukum Islam yang sifatnya seragam. "Karena tak ada buku hukumnya, hakim-hakim agama selalu berpegang pada kitab-kitab fiqh," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali kepada TEMPO. Bila terjadi dua kasus serupa -- karena landasan kitab hukumnya berbeda dan selama ini biasanya dipungut dari kitab-kitab kuning -- putusan hakim juga sering beda. Karena itu, perlu ada buku himpunan yang standar. Setelah digarap sejak tiga tahun lalu, Rancangan Kompilasi Hukum Islam itu akhir tahun kemarin rampung disusun. Dan untuk sempurnanya hasil tadi, dari 2 hingga 6 Februari lalu dilokakaryakan lagi di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Lokakarya yang dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung Ali Said itu pesertanya 127 orang - terdiri atas 13 guru besar, 46 kiai, 21 sarjana hukum, hakim agung, hakim tinggi, para fuqaha, dan beberapa rektor IAIN. "Mereka adalah pilihan dari segala pilihan, mewakili keahlian di bidang masing-masing," kata Munawir Sjadzali dalam pidato penutupan lokakarya itu Jumat pekan lalu. Menurut Munawir, lokakarya itu bisa dikatakan sebagai ijma' atau kesepakatan ulama Indonesia. "Apa pun hasilnya, ini adalah kesepakatan bersama dari kita," katanya. Alhamdulillah, kiranya mereka telah mengulangi tradisi klasik yang sudah terlembaga itu, sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam - setelah Quran, hadis, dan qiyas. Rancangan yang memuat 262 pasal, runtut dari Buku Satu tentang Perkawinan (19 bab), Buku Dua tentang Kewarisan (9 bab) dan Buku Tiga tentang Wakaf (5 bab) itu hampir tak terlewatkan mereka bahas dari berbagai sudut mazhab. Kodifikasi materi-materi hukum yang sudah disebut di atas merupakan satu tahapan dari upaya menjadikan Kompilasi sebagai bagian dari hukum positif di Indonesia. Selanjutnya, Panitia Proyek Pembangunan Hukum Melalui Yurisprudensi masih akan menempuh beberapa tahap. Pertama, merumuskan hasil kodifikasi itu ke dalam bahasa hukum nasional. Ketua PP Muhammadiyah, K.H. A.R. Fakhruddin, dalam sambutannya di lokakarya itu memang mengharap ada upaya lanjut ke arah dimaksud. Sedangkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Hasan Basri idem dito dengan sejawatnya dari Yogya ini. Juga K.H. Aly Yafie dari Nahdatul Ulama. "Sebab, kehadiran hukum dari yurisprudensi lain merupakan bagian integral dari pembangunan hukum di sini," kata Kiai Yafie mewakili Rais Am NU, K.H. Ahmad Shiddiq, yang berhalangan hadir. Ini satu tonggak dari sejarah pembangunan hukum di Indonesia. "Saya bangga, karena itu terjadi di masa saya bertugas," kata Munawir Sjadzali. Ia memang tak sendiri. Proyek itu pada 1985 telah tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung. Dengan "modal" SKB itu, ditambah droping Rp 296.530.000,00 dari Presiden Soeharto, sejak akhir 1985, Tim Proyek Kompilasi Hukum Islam mengirim 200 kuesioner kepada ulama-ulama di seluruh Indonesia. Tim ini dipimpin oleh Prof. Bustanul Arifin, S.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekjen Perhimpunan Ahli Hukum Islam Asia Tenggara. Ia dibantu Prof. Chalid, Masrani Basran, Amiruddin Nur, dan Muchtar Zarkasyi. Muhammadiyah, NU, Persis, Alwashliyah, dan lainnya kebagian satu kuesioner. Di antara 102 pertanyaan pokok itu, isinya menyangkut soal hukum keluarga (misalnya nikah, talak, rujuk, adopsi, pendidikan anak persusuan), di samping soal waris yang meliputi masalah wasiat, hibah, dan wakaf . Partisipasi dari ketua-ketua Pengadilan Agama (PA) dan pimpinan ormas spontan pula. NU, misalnya, mengerahkan 60 ulamanya. Di Pondok Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, awal 1986 mereka membahas kuesioner itu. Pada acara itu, K.H. Nadjib Abdul Wahab, Rais Syuriah NU Wilayah Jawa Timur, menjelaskan, bila semua pertanyaan dirinci lagi, maka menjadi 300 soal. Tim juga meresume 42 kitab fiqh rujukan. Untuk itu, beberapa IAIN telah menyampaikan hasil kerja mereka (TEMPO, 22 Agustus 1987). Kitab-kitab itu dibagi ke beberapa IAIN, seperti Al-Raniry di Banda Aceh yang meresume kitab Fath al-Mu'in, al-Bajuri dan Syarah Syarqawi. Sedang IAIN Sunan Kalijaga Yogya meresume al-Muhalla, al-Wajiz, Fiqh al-Sunnah dan al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah. IAIN Banjarmasin meringkaskan isi kitab Ai- Umm dan Bidaat al-Mujtahid, IAIN Sunan Ampel Surabaya menyimpul Kasyf al-Ghina, al-Mughni, dan Zad al-Ma'ad. Data dan informasi juga dikumpulkan oleh Tim lewat studi perbandingan di negara-negara yang melaksanakan hukum Islam. Tiga negara yang ditunjuk Presiden Soeharto, yaitu Turki Mesir, dan Tunisia. Dari Sudan diperoleh pengalaman kegagalan, karena diterapkan tergesa-gesa. Jalur lain yang ditempuh: membuka yurisprudensi. Putusan PA yang sudah puluhan tahun, misalnya, dikaji kembali, dipilih yang perlu dan dapat diterapkan untuk masa sekarang. Hasilnya adalah sebuah rancangan tadi. Kompilasi yang aneka rupa dari hukum syariat dan hukum hasil ijtihad ulama klasik dan modern itu, kemudian oleh tim dipilah jadi seperti sudah disebut tadi. Bisakah Kompilasi ini menjadi undangundang? Bustanul Arifin tak mau menjelaskan rinciannya. Tapi secara samar ia cetuskan, "Bukan undang-undang, tapi semacam undang-undang," (TEMPO, 18 Januari 1986). Memang, terlalu awal jika mengharap Kompilasi itu sebagai undang-undang. Sebab, eksistensi PA sendiri masih belum sempurna, karena tanpa adanya undang-undang yang secara resmi mengatur lingkup wewenang lembaga tersebut. Menteri Agama telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang PA itu, yang akan disampaikannya ke DPR April mendatang. "DPR masih sibuk meampungkan dua RUU, yakni RAPBN dan RUU Keprajuritan. Jadi, RUU lain hanya menunggu waktu. Saya optimistis, RUU PA akan diterima DPR," ujar Munawir. Bila RUU itu diterima, menurut Munawir lagi, kita akan punya peradilan yang mandiri. "Jika sudah ada, kita tidak perlu kiat untuk eksekusi," ujarnya. Selama ini putusan PA tak bisa dieksekusi langsung oleh PA sendiri, tetapi harus melalui peradilan umum. Keputusan PA seakan tak berkekuatan hukum, sebelum dieksekusi oleh peradilan umum. Tetapi bila nanti UU itu sudah terwujud, maka Departemen Agama yang berwenang mengangkat hakim dan aparat di PA, dan itu tentu perlu dipersiapkan aparat eksekusinya. Ini kerja berat, karena untuk mencari hakim agama saja, Departemen Agama sudah kewalahan. Menurut Menteri Agama, pada tahun ini diperlukan 1.300 orang. Hingga saat ini Departemen Agama baru bisa menerima dalam setahunnya rata-rata 100 hakim agama. Jadi, untuk mendapatkan tenaga dalam jumlah tadi, maka diperlukan waktu hingga 13 tahun. Mengapa? "Karena tak memenuhi syarat," kata Menteri. "Apalagi dalam ujian, banyak di antara para calon itu belum mampu membaca kitab kuning." Selama ini kemampuan baca kitab kuning memang momok bagi calon hakim agama. Dan akan terus begitu, selama situasi tak berubah. Tetapi kapan Kompilasi itu disahkan sebagai pegangan untuk hakim agama? "Dari mereka tetap dituntut mampu membaca kitab kuning," kata Munawir. "Kompilasi itu semacam undang-undang. Hakim perlu membaca kitab-kitab, supaya putusannya adil dan benar." Tapi menurut Prof. M. Daud Ali, S.H., guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, kalau Kompilasi itu sudah sah, akan sedikit memberi kemudahan bagi calon-calon hakim dari luar IAIN. "Dari perguruan tinggi umum juga bisa, tanpa harus bisa baca kitab kuning,' katanya. Jika pegangan itu sudah ada, mengapa mesti bikin dan mencari dasar hukum yang bersumber dari kitab kuning? Agaknya perbedaan itu berpangkal pada beda persepsi tentang apa jadinya nanti Kompilasi itu: undang-undang semacam KUHPerdata, atau apa? Jika sudah undang-undang, tak perlu lagi merujuk alasan hukum dari kitab untuk menetapkan hukum suatu perkara. Dan kalau bukan undang undang, tapi hanya sekadar rujukan alias pegangan bagi hakim agama, hal itu tak berkekuatan hukum dan tetap masih perlu "bantuan" eksekusi dari peradilan umum. Jalan keluar dari Menteri Agama, dengan membuat peradilan agama jadi lembaga yang mandiri, berkedudukan setaraf dengan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Caranya, lewat UU itu tadi. Tetapi menurut sebuah sumber TEMPO, soal ini justru tak terungkap dalam lokakarya tersebut. Padahal, diskusi dan debat para ulama dalam Komisi A (tentang Hukum Perkawinan), B (tentang Hukum Kewarisan), dan C (tentang Hukum Wakaf) memang sengit jalannya diskusi dan debat, kata seoranj peserta, "Justru hangat. Dan itu malah dalam soal materi hukum." Misalnya, tentang "kawin hamil di luar nikah" (lihat Kecelakaan Anak Alam) dan hukum waris--yang rancangannya itu memang masih dirahasiakan. Ahmdie Thaha & Agus Bsri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus