Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sihanouk Pulang Membawa Keris

Kunjungan pangeran norodom sihanouk ke indonesia dalam rangka mencari dukungan politik atas pembentukan pemerintahan koalisi komboja. indonesia menjanjikan bantuan tehnik.(nas)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBILAH keris berlapis emas, bertatahkan permata dihadiahkan Presiden Soeharto kepada Pangeran Sihanouk sebagai kenangan. Presiden Pemerintahan Koalisi Republik Demokratik Kamboja (RDK) itu tersenyum lebar tatkala menerimanya. Pertemuan yang berlangsung selama 55 menit di Istana Merdeka pekan lalu itu bukan pertama kalinya buat kedua negarawan tersebut. Pada 1968 Presiden Soeharto dalam kunjungan kenegaraannya yang pertama kali mengunjungi Phnom Penh tatkala Sihanouk masih raja. Keris itu tampaknya merupakan satu-satunya senjata yang diperoleh Sihanouk dalam kunjungan singkatnya ke Jakarta. "Indonesia tidak akan memberikan bantuan militer kepada pemerintah koalisi Kamboja," kata Mensesneg Sudharmono kepada pers pekan lalu. Yang dijanjikan Indonesia adalah bantuan teknik untuk merehabilitasi Kamboja -- bila rakyat Kamboja memerlukannya. Yang bisa diberikan Indonesia memang janji bantuan dan dukungan politik. Karena yang berkuasa di Kamboja saat ini adalah pemerintahan Heng Samrin dengan dukungan hampir 200 ribu tentara Vietnam. RDK, yang terbentuk dua pekan lalu Kuala Lumpur, merupakan koalisi tiga kelompok anti-Heng Samrin yang semula bermusuhan: Gerakan Pembebasan Nasional Kamboja (Moulinaka) pimpinan Sihanouk yang royalis, Front Nasional Pembebasan Rakyat Kamboja (KPNLF) pimpinan Son Sann yang nasionalis dan yang terkuat Khmer Merah pimpinan Khieu Samphan yang berhaluan Marxis. Lima hari setelah terbentuk, Sihanouk memulai kunjungan kelilingnya ke negara-negara ASEAN, yang boleh dibilang merupakan "arsitek" terbentuknya koalisi itu. Dengan pesawat Angkatan Udara Malaysia Sihanouk terbang dari Kuala Lumpur ke Singapura. Dari sini ia menumpang pesawat Singapore Airlines ke Jakarta. Untuk mengunjungi Manila, pemerintah Indonesia menyediakan sebuah pesawat Pelita Air Service buat sang Pangeran. Gerak cepat seperti itu diperlukan karena yang harus segera dilakukan persekutuan baru tersebut memang konsolidasi. Karena itulah setelah muhibah keliling ASEAN ini selesai, Sihanouk bersama sekutunya yang baru akan memasuki "pusat pemerintahannya" di Kamboja. Di mana? "Kami tidak bisa menyebutkan tempatnya untuk menghindari serbuan tentara Vietnam ke markas kami," jawab Sihanouk sambil melirik Menko M. Panggabean yang melepas keberangkatannya ke Manila Kamis pekan lalu. Sihanouk -- yang banyak menggubah lagu dan pernah menyutradarai film Le Petit Prince (Pangeran Kecil) -- menolak anggapan, pemerintah koalisi yang dipimpinnya adalah pemerintah pelarian. "Pemerintahan ini berada di suatu tempat di wilayah Kamboja", tegasnya. Kabarnya, pasukan kecil Sihanouk telah membuat rumah buat sang Pangeran di dekat perbatasan Kamboja-Thailand yang akan dijadikan markas utama. Berlainan dengan ucapannya di Kualalumpur setelah RDK terbentuk, kini Sihanouk menginginkan terselesaikannya masalah Kamboja secara damai, bukan dengan kekerasan. Di bidang ini -- diplomasi -- Sihanouk memang bisa berperan besar. SEBAGAI bekas raja dan kepala negara Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk, 60 tahun, bisa diterima hampir semua pihak. Lain dengan Khieu Samphan. Pemimpin Khmer Merah yang menggantikan Pol Pot ini sulit diterima pihak Barat karena kekejaman rezimnya tatkala melakukan perombakan sosial semasa berkuasa di Kamboja antara 1975 dan 1979. Pangeran itu juga punya hubungan baik dengan RRC: selama beberapa tahun terakhir ini ia tinggal di Beijing atau Pyongyang. Dan agaknya Sihanouk memang menyadari kelebihannya. Menurut suatu sumber, ia meminta dukungan ASEAN untuk bisa berbicara di berbagai forum internasional. Bahkan kabarnya ia bersedia untuk melakukan adu argumentasi di forum tersebut dengan Heng Samrin "agar kami bisa bersaing secara fair," kata sumber TEMPO menirukan. Sihanouk, yang menamakan dirinya diplomat terbaik negerinya, mengakui masalah Kamboja memang sulit diselesaikan. Menurut gambarannya, masalah negerinya harus diselesaikan di meja perundingan di Jenewa seperti konperensi Komisi Pengawasan Internasional (CTC) mengenai Indocina pada 1954. Untuk itu ia merencanakan berkeliling dan meminta dukungan negara-negara Eropa Barat, Jepang, Australia, negara nonblok dan P13B dalam waktu dekat ini. "Kami berharap suatu hari Vietnam akan mengubah pikirannya. Kami akan menunggu dengan sabar," katanya di lapangan terbang Halim Perdanakusuma sesaat sebelum meninggalkan Jakarta. Yang menjadi pertanyaan: Bisakah Vietnam berubah pikiran hanya denga tekanan internasional? Kalaupun Vietnam menarik mundur tentaranya di Kamboja, dapatkah koalisi Sihanouk-Son Sann-Khieu Samphan menaklukkan Heng Samrin? Kelompok mana yang akan mendapat dukungan rakyat Kamboja? Mungkin berbagai pertanyaan tadi juga membenam di benak Sihanouk pekan lalu tatkala dalam jamuan makan malam oleh Wapres Adam Malik di Hotel Borobudur tempatnya menginap di Jakarta -- ia, dalam kegembiraannya menyanyikan lagu Goodbye Bogor, yang digubah sang Pangeran ketika berkunjung ke sini pada 1966. (lihat Pokok & Toko).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus