IBRAHIM Soussa seorang anggota PLO. Tapi di depan kita ia tak
terasa sebagai tipe lelaki yang memakai baju dril dekil. Ia tak
melambai-lambaikan senapan mesin Rusia.
Ibrahim Soussa memainkan mazurka Chopin pada piano. Prelude
Debussy. Atau sonata ciptaannya sendiri: satu komposisi tentang
seorang manusia, Sisiphus, raja Korintha yang dihukum dewa untuk
tiada henti mendorong batu besar ke puncak bukit.
Agak ganjil memang bahwa ada Ibrahim Soussa dari kancah
anak-anak Palestina yang lahir di Yerusalem tahun 1945 dan
terusir dari sana tiga tahun kemudian. Kita telah terbiasa
mendengar tentang PLO bukan sebagai pembawa musik kamar, tapi
granat yang meledak di tempat orang ramai -- dan membunuh
orang-orang yang bersalah dan tak bersalah.
Barangkali itulah malangnya zaman ini. Kekerasan bukan saja sah,
bukan saja wajib, tapi mungkin juga keramat. Di Timur Tengah
kita tak lagi mendengar kisah seorang gadis kecil Yahudi lembut
manis yang sembunyi di atas plafon rumahnya sebelum pada
akhirnya tercekik tak berdaya di kamar gas sang pemenang. Kita
tak mendengar Anne Frank, yang mengatakan dalam catatan
hariannya di tengah masa yang ganas itu, bahwa pada dasarnya
"manusia itu baik".
Yang kita dengar kini aum tank. Yang kita dengar gema kata-kata
Menachem Begin, seperti dituliskannya dalam The Revolt dengan
getir, bahwa dunia tak mengasihani mereka yang disembelih.
"Dunia hanya menghormati mereka yang berkelahi."
Kita tahu Begin, yang telah menimbulkan banyak kekerasan sejak
dia seorang gerilyawan hingga ia seorang perdana menteri itu,
bukanlah secara pribadi seorang yang haus darah. Ia hanya
konfirmasi bahwa kekerasan telah jadi keniscayaan. "Kita
berkelahi, karena itu kita ada," tulisnya.
Namun benarkah Begin?
Ibrahim Soussa memainkan sonatanya tentang Sisiphus dan bicara
bahwa orang Palestina menolak untuk dihukum abadi di pembuangan.
Benarkah kita kurang menghormatinya dibanding dengan semprotan
peluru yang diumbar selama ini? Di El-Bireh, di tepi barat
Sungai Yordan yang diduduki Israel, anak-anak Palestina berlagu
kepada burung: "Ajarilah daku terbang di atas suara peluru."
Mereka tidak berkelahi. Tapi benarkah mereka tidak jadi lebih
hadir dalam kesadaran kita hari ini?
Kekurangan dalam perjuangan orang Palestina dewasa ini
barangkali karena, seperti musuh mereka Menachem Begin, banyak
yang tidak yakin akan ampuhnya suara anak-anak yang bicara
kepada burung dalam cemas. Bahkan anak-anak adalah suatu bagian
dari cadangan kekerasan: dunia tetap dianggap tak akan punya
simpati kepada yang disembelih. Tak mengherankan bahwa tak
terdengar ada Anne Frank dan Gandhi di Timur Tengah kini --
juga di tengah kamp pengungsi.
Barangkali karena sejarah dunia Arab tak cukup memberi harapan
kepada hati nurani. Barangkali begitu banyak pengekangan dan
penindasan, dan akhirnya sinisme. Barangkali begitu sedikit
keleluasaan pikiran, dan bicara, hingga tak tumbuh kesepakatan
untuk mengetuk hati.
"Seandainya aku bisa menghadap Sultan," tulis penyair Nizar
Qabbani di Beirut setelah kekalahan tahun 1967, "aku akan bicara
padanya".
Paduka:
anjing galak paduka telah merobek
bajuku,
mata-mata paduka -- mata, hidung,
kaki mereka --
memburu-buruku,
menjalin terali malapetaka di sekitarku.
Mereka menginterogasi istriku
dan mendaftar nama teman-temanku . . .
Bagi Nizar Qabbani, itulah sebabnya bangsa Arab kalah perang:
"Karena sebagian pikiran rakyat kita terkekang/dan hidup dalam
sel sempit, bersama semut, bersama celurut". Di antara celurut
itu, mereka pun jadi bagian dari kehina-dinaan. Sultan, para
penguasa, tak mempercayai mereka. Tanpa pilihan, pikiran mereka
hanya bergerak oleh dendam. Dan ketika mereka kalah perang dan
kalah sekali lagi, apa yang bisa mereka lakukan? Seandainya pun
menang, apa yang akan mereka lakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini