Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bukan hanya suka kekerasan

Bangsa palestina hanya dikenal sebagai bangsa yang keras. padahal masih ada sebagian yang suka damai & cinta keindahan. dunia arab yang keras agaknya telah mengajari mereka untuk menaruh dendam.

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBRAHIM Soussa seorang anggota PLO. Tapi di depan kita ia tak terasa sebagai tipe lelaki yang memakai baju dril dekil. Ia tak melambai-lambaikan senapan mesin Rusia. Ibrahim Soussa memainkan mazurka Chopin pada piano. Prelude Debussy. Atau sonata ciptaannya sendiri: satu komposisi tentang seorang manusia, Sisiphus, raja Korintha yang dihukum dewa untuk tiada henti mendorong batu besar ke puncak bukit. Agak ganjil memang bahwa ada Ibrahim Soussa dari kancah anak-anak Palestina yang lahir di Yerusalem tahun 1945 dan terusir dari sana tiga tahun kemudian. Kita telah terbiasa mendengar tentang PLO bukan sebagai pembawa musik kamar, tapi granat yang meledak di tempat orang ramai -- dan membunuh orang-orang yang bersalah dan tak bersalah. Barangkali itulah malangnya zaman ini. Kekerasan bukan saja sah, bukan saja wajib, tapi mungkin juga keramat. Di Timur Tengah kita tak lagi mendengar kisah seorang gadis kecil Yahudi lembut manis yang sembunyi di atas plafon rumahnya sebelum pada akhirnya tercekik tak berdaya di kamar gas sang pemenang. Kita tak mendengar Anne Frank, yang mengatakan dalam catatan hariannya di tengah masa yang ganas itu, bahwa pada dasarnya "manusia itu baik". Yang kita dengar kini aum tank. Yang kita dengar gema kata-kata Menachem Begin, seperti dituliskannya dalam The Revolt dengan getir, bahwa dunia tak mengasihani mereka yang disembelih. "Dunia hanya menghormati mereka yang berkelahi." Kita tahu Begin, yang telah menimbulkan banyak kekerasan sejak dia seorang gerilyawan hingga ia seorang perdana menteri itu, bukanlah secara pribadi seorang yang haus darah. Ia hanya konfirmasi bahwa kekerasan telah jadi keniscayaan. "Kita berkelahi, karena itu kita ada," tulisnya. Namun benarkah Begin? Ibrahim Soussa memainkan sonatanya tentang Sisiphus dan bicara bahwa orang Palestina menolak untuk dihukum abadi di pembuangan. Benarkah kita kurang menghormatinya dibanding dengan semprotan peluru yang diumbar selama ini? Di El-Bireh, di tepi barat Sungai Yordan yang diduduki Israel, anak-anak Palestina berlagu kepada burung: "Ajarilah daku terbang di atas suara peluru." Mereka tidak berkelahi. Tapi benarkah mereka tidak jadi lebih hadir dalam kesadaran kita hari ini? Kekurangan dalam perjuangan orang Palestina dewasa ini barangkali karena, seperti musuh mereka Menachem Begin, banyak yang tidak yakin akan ampuhnya suara anak-anak yang bicara kepada burung dalam cemas. Bahkan anak-anak adalah suatu bagian dari cadangan kekerasan: dunia tetap dianggap tak akan punya simpati kepada yang disembelih. Tak mengherankan bahwa tak terdengar ada Anne Frank dan Gandhi di Timur Tengah kini -- juga di tengah kamp pengungsi. Barangkali karena sejarah dunia Arab tak cukup memberi harapan kepada hati nurani. Barangkali begitu banyak pengekangan dan penindasan, dan akhirnya sinisme. Barangkali begitu sedikit keleluasaan pikiran, dan bicara, hingga tak tumbuh kesepakatan untuk mengetuk hati. "Seandainya aku bisa menghadap Sultan," tulis penyair Nizar Qabbani di Beirut setelah kekalahan tahun 1967, "aku akan bicara padanya". Paduka: anjing galak paduka telah merobek bajuku, mata-mata paduka -- mata, hidung, kaki mereka -- memburu-buruku, menjalin terali malapetaka di sekitarku. Mereka menginterogasi istriku dan mendaftar nama teman-temanku . . . Bagi Nizar Qabbani, itulah sebabnya bangsa Arab kalah perang: "Karena sebagian pikiran rakyat kita terkekang/dan hidup dalam sel sempit, bersama semut, bersama celurut". Di antara celurut itu, mereka pun jadi bagian dari kehina-dinaan. Sultan, para penguasa, tak mempercayai mereka. Tanpa pilihan, pikiran mereka hanya bergerak oleh dendam. Dan ketika mereka kalah perang dan kalah sekali lagi, apa yang bisa mereka lakukan? Seandainya pun menang, apa yang akan mereka lakukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus