AKHIR bulan ini kebun-kebun kopi di Sukorejo, Jawa Timur, akan
panen raya. Tapi para petani di desa itu tak mungkin berpesta
merayakannya. Mereka malah resah. Sebab banyak di antara mereka,
yang dulu sebagai penggarap, kini hanya bekerja sebagai buruh
pemungut kopi milik Perhutani.
Desa Sukorejo terletak di lereng Gunung Ijen, pada ketinggian
1.00 meter, sekitar 23 km dari kota kabupaten Bondowoso. Luasnya
sekitar 5.000 ha desa dalam kawasan Kecamatan Sukosari itu,
paling subur di sana. Tigaperempat arealnya berupa kebun kopi.
Penduduknya 7.000 jiwa keturunan Madura. Sejak zaman Belanda
hidup rakyat di sana turun-temurun bertanam kopi. Dalam
pemilihan umum 3 tahun lalu 60% suara mereka masuk ke kotak PPP.
Tapi belakangan banyak di antara mereka yang kehilangan kebun.
Dibeslah lantaran mereka dianggap pernah menjadi anggota BTI
(barisan tani PKI. Masih untung mereka yang masih boleh
menggarap sebagian tanahnya.
"Nasib petani di sini memang merana," seperti kata K.H. Choesnan
Thoha, pimpinan PPP Bondowoso yang juga menjabat Wakil Ketua
DPRD di sana.
Ketidakberesan dimulai ketika Perhutani, 1967, merampasi kebun.
Sekitar 200 petani kehilangan 500 ha tanah garapannya. Berbagai
usaha mengembalikan kebun tersebut kepada petani kandas. Kepala
Desa Sukorejo, Darmo Karyo alias H. Achmad Chusin, pernah juga
berikhtiar. Sebagai BTI atau apa pun "mereka toh dalam pemilu
punya hak pilih," ujar Achmad Chusin.
Usaha tersebut sia-sia. Bahkan kebunkebun terang-terangan
dimanfaatkan oknum-oknum Muspika (pejabat daerah tingkat
kecamatan). Dan seperti biasanya permainan pun terjadi.
Misalnya: ada kebun yang dijual oleh oknum Koramil (Komando
Rayon Militer kepada pengijon. Para petani mengadu kepada
Gubernur Ja-Tim. Hasilnya? Tujuh orang petani ditahan Koramil.
Begitu lepas dari tahanan, Khairuddin melapor ke Opstibpus. Tim
Opstib, 1978, turun ke Sukorejo. Bebcrapa pejabat seperti camat,
Komandan Koramil, kepala Perhutani dimutasikan. Tapi dengan
begitu urusan belum selesai. Karena petani belum lagi menerima
kembali kebun mereka.
Akhirnya Gubernur Soenandar Prijosoedarmo turun tangan. Petani
diizinkan menggarap kembali tanah milik mereka semula. Hanya
saja dengan catatan masing-masing hanya memperoleh 2 ha--tak
peduli yang sebelumnya memiliki lebih luas dari itu. Selebihnya
harus dibagikan kepada buruh tani tak bertanah. Pegawai negeri,
diingatkan Gubernur Soenandar, agar tak usah ikut campur.
Tapi, sayang sekali, keputusan tersebut tidak berjalan baik.
Janji Bupati Bondowoso H.M. Soeadhi, yang akan menyelesaikan
akhir Mei lalu, tak terpenuhi. Awal bulan lalu Perhutani memang
membagikan KIG (Kartu Izin Garap) secara simbolis kepada petani.
rapi, itulah, prakteknya pun hanya simbolis saja dinikmati
sebagian petani. Sebab, kata beberapa orang di sana, hampir
semua kebun kopi ternyata sudah dipindah-tangankan oleh beberapa
oknum.
Ikut-ikutan
Merasa dipermainkan, 70 orang petani habis sabar. Dua hari
setelah "penyerahan" KIG, beramai-ramai mereka menyerbu kebun
dan mengusir penggarap baru. Terjadi sedikit huru-hara.
Tiba-tiba muncul Tidul, petugas patroli Perhutani yang gemar
berburu rusa, menembakkan pistolnya ke udara.
Tapi petani tak mau mundur. "Kami tidak gentar," tutur Wagirin
yang merasa berhak menggarap 10 ha kebun kopi. Kalau ditangkap,
menurutnya, lebih baik: "Bisa diadili . . . " Dengan diadili,
begitu diharapkan, persoalannya akan terbeber jelas.
Tidul menggiring mereka ke kantor Perhutani sebelum
menyerahkannya ke kantor polisi (Kosek) Sukasari. Sorenya mereka
diizinkan pulang setelah menandatangani pernyataan mengikhlaskan
tanah garapan. "Lha ini 'kan bertentangan dengan janji Gubernur
. . " keluh Wagirin.
Salah janji? Bupati Soeadhi geleng kepala--menyalahkan ke 70
orang yang dicap eks BTI tersebut. Mereka, kata Soeadhi, tidak
mendaftarkan diri untuk memperoleh kembali tanah garapan mereka
seperti petunjuk Gubernur yang minggu lalu belum sembuh dari
sakit. Mail alias Soh mengaku pernah jadi anggota BTI. "Tapi
ketika itu saya tak mengerti apa-apa-- ikut-ikutan saja,"
tuturnya. "Sesungguhnya saya ini NU, jadi boleh dibilang saya
ini BTI-NU." Ia, seperti halnya kawan-kawannya yang menyerbu
kebun, merasa otomatis akan memperoleh kembali tanah garapan
mereka tanpa harus melalui pendaftaran segala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini