Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"bti-nu" yang merana 'bti-nu" yang merana

Sengketa tanah milik petani yang diambil alih oleh perhutani. kejadiannya di desa sukorejo, dekat bondowoso. puluhan petani kopi di desa itu kehilangan tanah garapannya.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR bulan ini kebun-kebun kopi di Sukorejo, Jawa Timur, akan panen raya. Tapi para petani di desa itu tak mungkin berpesta merayakannya. Mereka malah resah. Sebab banyak di antara mereka, yang dulu sebagai penggarap, kini hanya bekerja sebagai buruh pemungut kopi milik Perhutani. Desa Sukorejo terletak di lereng Gunung Ijen, pada ketinggian 1.00 meter, sekitar 23 km dari kota kabupaten Bondowoso. Luasnya sekitar 5.000 ha desa dalam kawasan Kecamatan Sukosari itu, paling subur di sana. Tigaperempat arealnya berupa kebun kopi. Penduduknya 7.000 jiwa keturunan Madura. Sejak zaman Belanda hidup rakyat di sana turun-temurun bertanam kopi. Dalam pemilihan umum 3 tahun lalu 60% suara mereka masuk ke kotak PPP. Tapi belakangan banyak di antara mereka yang kehilangan kebun. Dibeslah lantaran mereka dianggap pernah menjadi anggota BTI (barisan tani PKI. Masih untung mereka yang masih boleh menggarap sebagian tanahnya. "Nasib petani di sini memang merana," seperti kata K.H. Choesnan Thoha, pimpinan PPP Bondowoso yang juga menjabat Wakil Ketua DPRD di sana. Ketidakberesan dimulai ketika Perhutani, 1967, merampasi kebun. Sekitar 200 petani kehilangan 500 ha tanah garapannya. Berbagai usaha mengembalikan kebun tersebut kepada petani kandas. Kepala Desa Sukorejo, Darmo Karyo alias H. Achmad Chusin, pernah juga berikhtiar. Sebagai BTI atau apa pun "mereka toh dalam pemilu punya hak pilih," ujar Achmad Chusin. Usaha tersebut sia-sia. Bahkan kebunkebun terang-terangan dimanfaatkan oknum-oknum Muspika (pejabat daerah tingkat kecamatan). Dan seperti biasanya permainan pun terjadi. Misalnya: ada kebun yang dijual oleh oknum Koramil (Komando Rayon Militer kepada pengijon. Para petani mengadu kepada Gubernur Ja-Tim. Hasilnya? Tujuh orang petani ditahan Koramil. Begitu lepas dari tahanan, Khairuddin melapor ke Opstibpus. Tim Opstib, 1978, turun ke Sukorejo. Bebcrapa pejabat seperti camat, Komandan Koramil, kepala Perhutani dimutasikan. Tapi dengan begitu urusan belum selesai. Karena petani belum lagi menerima kembali kebun mereka. Akhirnya Gubernur Soenandar Prijosoedarmo turun tangan. Petani diizinkan menggarap kembali tanah milik mereka semula. Hanya saja dengan catatan masing-masing hanya memperoleh 2 ha--tak peduli yang sebelumnya memiliki lebih luas dari itu. Selebihnya harus dibagikan kepada buruh tani tak bertanah. Pegawai negeri, diingatkan Gubernur Soenandar, agar tak usah ikut campur. Tapi, sayang sekali, keputusan tersebut tidak berjalan baik. Janji Bupati Bondowoso H.M. Soeadhi, yang akan menyelesaikan akhir Mei lalu, tak terpenuhi. Awal bulan lalu Perhutani memang membagikan KIG (Kartu Izin Garap) secara simbolis kepada petani. rapi, itulah, prakteknya pun hanya simbolis saja dinikmati sebagian petani. Sebab, kata beberapa orang di sana, hampir semua kebun kopi ternyata sudah dipindah-tangankan oleh beberapa oknum. Ikut-ikutan Merasa dipermainkan, 70 orang petani habis sabar. Dua hari setelah "penyerahan" KIG, beramai-ramai mereka menyerbu kebun dan mengusir penggarap baru. Terjadi sedikit huru-hara. Tiba-tiba muncul Tidul, petugas patroli Perhutani yang gemar berburu rusa, menembakkan pistolnya ke udara. Tapi petani tak mau mundur. "Kami tidak gentar," tutur Wagirin yang merasa berhak menggarap 10 ha kebun kopi. Kalau ditangkap, menurutnya, lebih baik: "Bisa diadili . . . " Dengan diadili, begitu diharapkan, persoalannya akan terbeber jelas. Tidul menggiring mereka ke kantor Perhutani sebelum menyerahkannya ke kantor polisi (Kosek) Sukasari. Sorenya mereka diizinkan pulang setelah menandatangani pernyataan mengikhlaskan tanah garapan. "Lha ini 'kan bertentangan dengan janji Gubernur . . " keluh Wagirin. Salah janji? Bupati Soeadhi geleng kepala--menyalahkan ke 70 orang yang dicap eks BTI tersebut. Mereka, kata Soeadhi, tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh kembali tanah garapan mereka seperti petunjuk Gubernur yang minggu lalu belum sembuh dari sakit. Mail alias Soh mengaku pernah jadi anggota BTI. "Tapi ketika itu saya tak mengerti apa-apa-- ikut-ikutan saja," tuturnya. "Sesungguhnya saya ini NU, jadi boleh dibilang saya ini BTI-NU." Ia, seperti halnya kawan-kawannya yang menyerbu kebun, merasa otomatis akan memperoleh kembali tanah garapan mereka tanpa harus melalui pendaftaran segala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus