Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

'Curhat Colongan' Mantan Kolega

Diundang ke DPR, sejumlah mantan penyidik KPK menjelaskan mekanisme kerja komisi antikorupsi itu. Legislator dan polisi menyangkal bersekongkol.

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRAN Komisaris Jenderal Sutarman di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu pekan lalu mengundang perhatian. Tak ada jadwal sidang pada siang itu. Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia itu tak sendiri. Ia didampingi Brigadir Jenderal Nur Ali, Direktur Tindak Pidana Korupsi.

Yang membuat para jurnalis memicingkan mata: kedatangan sembilan perwira kepolisian bersama Sutarman dan Nur Ali. Mereka dikenali sebagai penyidik yang baru saja menyatakan mundur dari Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kami diundang," kata Komisaris Jenderal Sutarman memberi alasan.

Undangan resmi dari Dewan dikirim beberapa hari sebelumnya. Agendanya: "sinergitas penyidikan tindak pidana korupsi antara Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung". Dalam undangan disebutkan rapat digelar tertutup dimulai pukul 10.00. Toh, KPK sengaja tak diundang. Menurut Ketua Komisi Hukum I Gede Pasek Suhardika, KPK bakal dipanggil terpisah. Adapun Kejaksaan Agung, meski diundang, tak hadir karena sedang menggelar rapat kerja tahunan.

Para penyidik duduk di kursi barisan depan ruang rapat. Pasek tak bisa mengelak dari agenda rapat sesungguhnya: menggali pengalaman mereka selama bekerja di KPK. Sembilan orang itu 4-5 tahun bertugas menjadi penyidik komisi antikorupsi. Mereka mundur atau ditarik institusinya ketika Polri berseteru dengan KPK dalam penanganan perkara korupsi proyek simulator di Korps Lalu Lintas.

Pada pertengahan bulan ini, enam penyidik menyatakan mundur bersama-sama untuk kembali ke Polri. Mereka adalah Komisaris Hendi Kurniawan, Komisaris Rizki Agung Prakoso, Komisaris Egy Adrian Zues, Komisaris Yudhistira Midyahwa, Komisaris Irfan Rifai, dan Komisaris Popon A. Sunggoro. Masa tugas seorang di antaranya berakhir pada November ini, sedangkan lima lainnya pada Januari atau Februari tahun depan.

Beberapa hari kemudian, ajudan Ketua KPK Abraham Samad mengambil keputusan serupa. Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas ketika itu, enam penyidik menyampaikan beragam alasan. "Rata-rata berdalih keluarga menyarankan mereka kembali ke polisi," kata Busyro. "Kami tak bisa menghalangi pilihan mereka. Itu soal pilihan hidup."

Mereka yang mundur umumnya telah berdinas empat tahun sebagai penyidik di KPK. Komisaris Hendi Kurniawan, misalnya, bergabung sejak 2008. Ia ikut menangani beberapa kasus besar, seperti dugaan korupsi proyek Hambalang dan perkara suap Bupati Buol Amran Batalipu. Pada Maret lalu, Hendi juga hendak ditarik Markas Besar Polri. Tapi penarikan pada saat Hendi sibuk menangani kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu ditentang penyidik lain. Walhasil, masa tugas Hendi diperpanjang.

Kepada publik, Hendi menyatakan mundur lantaran komisi antikorupsi itu tak kondusif bagi pengembangan kariernya. "Ada kondisi internal di KPK yang membuat tak nyaman," kata Hendi, yang menolak menjelaskan lebih terperinci pernyataannya itu (baca "Cekikan dari Dalam Kuningan", Tempo edisi 12-18 November 2012).

Pasek mengakui pertemuan digelar khusus untuk membahas kembalinya para penyidik KPK ke Markas Besar Polri. Rapat tertutup, kata dia, dilakukan agar penyidik­ lebih terbuka. "Kalau ada kamera akan sung­kan atau malah overacting," kata Pasek.­ "Kami ingin mereka bisa cerita lepas apa adanya."

Dalam pertemuan yang berlangsung tiga jam itu, materi yang ditanyakan para politikus bisa ditebak. Mayoritas politikus bertanya tentang pengalaman penyidik selama 4-5 tahun bekerja di komisi antikorupsi. Mereka diminta menjelaskan secara terperinci proses penyidikan, penetapan tersangka, penyadapan, hingga mekanisme gelar perkara.

Menurut peserta rapat, para polisi itu justru mengeluhkan mekanisme penyadapan. Misalnya, kata politikus Partai Golkar, Nudirman Munir, mereka mengaku diminta menyadap meski obyek penyadapan belum menjadi tersangka.

Nudirman mengatakan memang ada perbedaan proses hukum pada KPK, Polri, dan kejaksaan. Di KPK, penyadapan bisa dilakukan pada saat perkara dalam penyelidikan. Di kepolisian, penyadapan baru dilakukan setelah perkara masuk penyidikan dan tersangka ditetapkan. "Ini seperti bola liar yang bisa menyebabkan perpecahan," katanya.

Para penyidik juga mengeluhkan prosedur yang tidak jelas. Pelarangan anggota Komisi Hukum menjenguk Muhammad Nazaruddin ketika ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua, tahun lalu, diungkit lagi. Ketika itu rombongan politikus dilarang masuk oleh seorang penyidik. "Kami mengira itu perintah pimpinan KPK atau Polri, ternyata bukan," kata Nudirman. "Itu inisiatif penyidik dan di luar prosedur."

Di tengah "curhat" para penyidik itu, beberapa anggota Komisi Hukum malah mempertanyakan sejumlah kasus yang menimpa politikus anggota Dewan. Misalnya kasus korupsi penggandaan Al-Quran dan Laboratorium Komputer di Kementerian Agama yang menjerat politikus Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar.

Menurut seorang peserta, satu anggota Fraksi Partai Golkar mempertanyakan posisi perkara dan "agenda politik di belakang" penetapan Zulkarnaen menjadi tersangka. "Mengapa berbarengan dengan pengukuhan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai calon presiden kami?" kata politikus itu.

Sehari sebelum pertemuan tersebut, anggota Komisi Hukum DPR menyiapkan agenda dengan matang. Materi dan keputusan pertemuan bahkan sudah dibuat. Rapat internal ini dipimpin I Gede Pasek. Dalam rapat, kata seorang anggota DPR, politikus Partai Golkar memanaskan forum dengan gosip perpecahan KPK. Ia menunjuk mundurnya para penyidik KPK ke kepolisian. Diputuskan untuk mengundang mantan penyidik KPK.

Sebelum ke Senayan, Komisaris Jenderal Sutarman membawa para penyidik bertemu dengan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo. Kepada wartawan, Kepala Polri menyebutkan pemanggilan mantan penyidik KPK itu sesuai dengan prosedur. "Itu bagian dari pengawasan DPR," katanya.

Pasek menyangkal rumor bahwa anggota Dewan bersekongkol melemahkan komisi antikorupsi. Menurut dia, masukan dari penyidik justru akan menjadi bahan evaluasi lembaga itu. Rencananya, Komisi DPR akan menggelar rapat dengan pimpinan KPK. "Bukan dimaksudkan sebagai konfrontasi," kata politikus Partai Demokrat itu.

KPK tak mau menanggapi terlalu jauh "sesi curhat" mantan penyidiknya di gedung Dewan. "Itu hak mereka," kata Johan Budi S.P., juru bicara komisi tersebut. Adapun soal isu perpecahan dan pemaksaan dalam penetapan tersangka, Johan membantahnya. "Tidak ada pemaksaan dalam menetapkan tersangka," tuturnya. "Kabar pimpinan pecah pun tidak benar."

Widiarsi Agustina, Febriyan, Rusman Paraqbueq, Ira Guslina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus