Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yogyakarta, akhir 1970-an. A.R. Baswedan, yang sudah menapak usia senja, terkena stroke di rumahnya di kawasan Taman Yuwono. Kondisi pejuang kemerdekaan itu agak mengkhawatirkan. Di Gereja Katolik Kota Baru—salah satu gereja tertua dan terbesar di kota pelajar itu—Romo Dick Hartoko SJ sedang bersiap memimpin misa bagi umatnya.
Mendengar kabar geringnya A.R. Baswedan, Romo Dick spontan meminta jemaat gereja ikut mendoakan kesembuhan tokoh Islam itu. ”Peristiwa itu membuat Yogyakarta gempar,” ujar Samhari Baswedan, anak bungsu A.R. Baswedan. Ketika itu, ayah Samhari adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Yogyakarta. Adapun Romo Dick Hartoko merupakan tokoh Katolik terkemuka di kota itu. ”Warna” mereka berlainan. Namun keduanya berkawan akrab.
”Hubungan pribadi mereka baik sekali,” Samhari menambahkan. Keduanya kerap saling kunjung. Dalam berdiskusi, mereka tak selalu sepaham tapi tetap saling menghormati pendapat masing-masing.
Selain dengan Romo Dick Hartoko, A.R. Baswedan berkarib dengan Yap Kie Tong, dokter mata terkenal di Yogyakarta pada masa itu. Dia pun akrab dengan Dr Johan Syahruzad, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia.
Lahir di Kampung Ampel, Surabaya, riwayat pejuang kemerdekaan itu kini genap berusia 100 tahun. Bernama lengkap Abdurrahman Baswedan, dia dikenal mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Saat usianya masih 20-an tahun, dia sudah gigih mendorong tumbuhnya semangat persatuan komunitas Hadramaut (Yaman) di Nusantara. Ketika itu, mereka terpecah di antara keturunan Sayyid, Gabili, Syekh, dan rakyat biasa.
Baswedan muda kemudian mengarahkan persatuan keturunan Arab untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dia mendirikan wadah Persatuan Arab Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Partai Arab Indonesia. Dan dia bergaul akrab dengan tokoh-tokoh nasional, antara lain Dr Sutomo.
Secara tegas Baswedan menyatakan tanah air keturunan Arab bukanlah Hadramaut, melainkan Indonesia. Dia juga menyebut keturunan Arab sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sikap itu sesungguhnya ”menurunkan derajat” komunitas tersebut—yang oleh Belanda dimasukkan ke kelompok Timur Asing.
Dalam mars Partai Arab Indonesia yang dikarangnya bersama Umar Baraja, tergambarlah nasionalisme para pemuda keturunan Hadramaut. Ini salah satu baitnya:
Indonesia! Semboyan Persatuanku
Indonesia! Tanah Tumpah Darahku
Persatuan! Arab Indonesia
Makin lama makin bercahaya
Kita tetap setia
Untuk menunjukkan keindonesiaannya, dalam beberapa pertemuan, A.R. Baswedan tak sungkan mengenakan surjan Jawa—tindakan itu mulanya dianggap tak lazim, tapi lama-kelamaan bisa diterima oleh komunitas Arab Indonesia. Dia juga pernah terjun menjadi wartawan, bergabung dengan harian Sin Tit Po, yang propergerakan nasional. Di sana, dia berkawan akrab dan banyak belajar tentang jurnalisme dari Liem Koen Hian, pemimpin harian tersebut.
Di masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan memutuskan bergerak di bawah tanah. Dia menggabungkan diri dengan kelompok pemuda di sekitar Sutan Sjahrir. Pekerjaan mereka memantau radio siaran luar negeri—tugas yang berisiko tinggi karena semua radio disegel tentara Jepang.
Suatu ketika, dia tepergok Kempetai—polisi rahasia Jepang—sedang menyimak radio luar negeri. Mereka menggelandangnya ke markas. Dia divonis mati. Eksekusi akan dilakukan esok siangnya. Pagi harinya, dia dijemur di pekarangan bersama sejumlah tawanan lain.
Di saat genting itu datang Mr Singgih dari Jakarta. Dia anggota Pusat Tenaga Rakyat yang dipimpin Soekarno. Melihat Baswedan, Mr Singgih segera menghampiri dan meminta polisi Jepang membebaskannya. ”Mr Singgih berdalih Bapak adalah anak buahnya,” tutur Samhari. Nyawa A.R. Baswedan bisa diselamatkan.
Setelah proklamasi dikumandangkan, Partai Arab Indonesia membubarkan diri. Anggota-anggotanya menyebar ke berbagai partai. Hamid Algadri, misalnya, masuk Partai Sosialis Indonesia. Abdulah Baraba memilih Partai Komunis Indonesia. Yuslam Badres bergabung ke Partai Nasional Indonesia. Abdurrahman Shihab—ayah Quraish Shihab dan Alwi Shihab—menggabungkan diri ke Masyumi.
A.R. Baswedan ketika itu masih memilih jalan independen. Dia diangkat Perdana Menteri Sjahrir sebagai Menteri Muda Penerangan. Pada 1947, dia ikut rombongan Menteri Luar Negeri Agus Salim berkunjung ke Kairo, Mesir. Mereka berdiplomasi agar dunia internasional mengakui kemerdekaan Indonesia.
Tiga tahun kemudian, tokoh yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Arab itu bergabung dengan Masyumi. Selain kagum atas kejujuran Mohamad Natsir—pemimpin Masyumi—dia menegaskan tindakannya didorong oleh keinginan memperkuat orientasi nasionalistis partai itu.
Tatkala Masyumi dibubarkan pemerintah Orde Lama dan tak boleh direhabilitasi oleh pemerintah Orde Baru, Baswedan memilih bergerak di jalur budaya. Dia mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta dan menjadi pelindung Teater Muslim. Mereka mementaskan drama Iblis tentang kisah Nabi Ibrahim, yang waktu itu tergolong kontroversial.
Seniman Yogyakarta seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, dan Chaerul Umam adalah kawan-kawannya. Dia ikut membantu ketika Rendra mementaskan Kasidah Barzanji. ”Rumahnya terbuka untuk semua orang. Dia seperti orang tua kami,” kata Syu’bah Asa, yang ketika itu aktif berteater di Yogyakarta.
Di pengujung hidupnya, A.R. Baswedan bersahabat dengan Romo Mangunwijaya. Dengan gayeng keduanya kerap mendiskusikan masalah Irak-Iran, Palestina-Israel, dan korupsi di dalam negeri. Pada 1986, A.R. Baswedan menutup mata di RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Tiga hari setelah kematiannya, Romo Mangun bertakziyah.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo