Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH liang lahad diuruk, diiringi Al-Fatihah dan doa para pelayat, keluarga Suwardjo menancapkan nisan kayu itu sama tinggi dengan nisan di sekitarnya. Tak ada makam bernisan batu di sekitar kuburan Suwardjo—di kayu nisannya tertulis tahun lahir 1942—di blok utara Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, itu. "Kuburan di blok ini baru semua," kata perempuan pemilik warung, tak jauh dari kuburan, Jumat siang pekan lalu.
Perempuan yang menolak namanya ditulis itu bercerita, tanah di blok tersebut belum setahun jadi lahan pemakaman. Ia menunjuk nomor-nomor di balik patok nisan yang menancap di gundukan tanah yang masih merah. Angkanya kurang dari 200. Setelah dibebaskan pada 2008, katanya, lahan di samping warungnya itu tak buru-buru dijadikan sebagai blok pemakaman baru oleh pengelola.
Pada pembebasan lahan 2008, warung dan lahan orang tuanya seluas hampir 2.000 meter persegi tak ikut ditebus Kantor Pelayanan Pemakaman DKI Jakarta. "Kata mereka, lahan saya bakal dibebaskan dua tahun lagi," ujarnya. Betul saja, pada 2010, orang-orang yang ia sebut "orang pemda" bersama "orang berkemeja rapi" datang mengukur lahannya.
Ketika itu orang-orang tersebut berkata bakal membeli tanahnya di atas kuitansi seharga nilai jual obyek pajak, yakni sekitar Rp 700 ribu per meter persegi. "Sampai ke tangan saya paling hanya Rp 400-450 ribu," kata si pemilik warung. Ia dan keluarganya pasrah selisih harga tersebut masuk saku para makelar tanah. "Sudah hampir dibayar, tahu-tahu tak jadi," katanya. "Kata orang pemda, anggarannya tak jadi cair."
Praktek percaloan itu juga yang terjadi pada pembebasan lahan 2008. Selestinus Angela Ola, bekas ajudan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun, mengaku pernah "membeli" tanah warga di sebelah makam Pondok Ranggon, lalu melegonya lagi ke Kantor Pelayanan Pemakaman DKI Jakarta. Ia menyatakan ketika itu makelar tanah menangguk untung bersih Rp 11 miliar dari 35.344 meter persegi lahan yang dibebaskan.
Makelar tanah cuma keluar duit Rp 11,9 miliar: Rp 10,1 miliar untuk membayar tanah penduduk, sisanya membayar pajak dan pelicin kepada pejabat. Adapun pemerintah DKI Jakarta, lewat Kantor Pelayanan Pemakaman, harus mengucurkan Rp 22,9 miliar untuk membeli tanah dari makelar. Dua pekan lalu perkara ini ia laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari situlah tersibak jejak Johnny Allen di Pondok Ranggon. Menurut Selestinus, makelar tanah di Pondok Ranggon ketika itu tak lain bekas bosnya sendiri, yang pada 2008 sudah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Selestinus menyodorkan surat yang mencantumkan namanya sebagai salah seorang kuasa pemilik tanah yang meneken berita acara kesepakatan harga dengan Endan Sjuhada, pemimpin proyek pembebasan lahan yang juga Kepala Bidang Perpetakan dan Penggunaan Tanah Makam Kantor Pemakaman DKI Jakarta. Ketika itu ia menjual sepetak lahan ke Kantor Pemakaman lewat Endan. "Saya cuma disuruh Jhonny Allen," katanya.
Penjualan pada 11 Desember 2008 itu tak dirancang instan. Jauh sebelumnya, pada 6 Juni 2008, Retno Santi, notaris yang dekat dengan Jhonny Allen, mendatanginya. "Ia minta KTP saya, ya, saya kasih," katanya. "Saya disuruh tanda tangan, saya tanda tangan." Belakangan ia tahu namanya dipakai sebagai kuasa pemilik lahan dengan nomor sertifikat 00961, yang dimiliki Nyonya Rosdiani.
Tanah Rosdiani, kata Selestinus, lalu dibeli seharga Rp 350 ribu per meter persegi, jauh di bawah harga nilai jual obyek pajak yang Rp 702 ribu per meter persegi. Untuk lahan seluas 109 meter persegi, Jhonny cuma merogoh Rp 38 juta. Enam bulan kemudian, pada 11 Desember, sebagai kuasa pemilik tanah, Selestinus menjual lahan seluas 109 meter persegi itu ke Kantor Pemakaman senilai Rp 796 ribu per meter persegi, di atas harga nilai jual obyek pajak. "Untungnya lebih dari seratus persen," kata Selestinus.
Dari 3,5 hektare total luas lahan, Selestinus mengaku memakelari empat petak lahan seluas 2.925 meter persegi, termasuk lahan milik Nyonya Rosdiani. Bukan cuma tanah bersertifikat hak milik yang mereka makelari. Tanah girik dan berakta jual-beli pun mereka beli rata-rata separuh harga nilai jual obyek pajak, dan dijual mendekati harga nilai jual obyek pajak. Tapi tak ada yang melebihi harga nilai jual obyek pajak sebagaimana tanah bersertifikat hak milik.
Menurut Selestinus, untuk memuluskan praktek percaloan ini, Jhonny menggunakan orang-orangnya untuk berperan sebagai pemilik tanah atau hanya kuasa pemilik tanah. Selestinus menunjuk semua nama dalam daftar pemilik tanah yang menjual lahannya ke Kantor Pemakaman. Agus Hermawan, misalnya, adalah sopir Jhonny. "Saya tahu betul Agus itu yang mana," ujarnya. Di antara 51 nama dalam daftar, kata Selestinus, ada juga ipar Jhonny.
Percaloan jadi lebih mulus karena dibantu orang Kantor Pemakaman. Menurut Selestinus, Endan Sjuhada bukannya tak tahu ada praktek itu di Pondok Ranggon. "Endan juga dapat untung," kata Selestinus. Ia menunjukkan sejumlah kuitansi serah-terima duit dari Jhonny Allen kepada Endan. Dalam kuitansi bertanggal 9 Desember 2008, atau sehari setelah jual-beli tanah, Jhonny menyorongkan duit Rp 150 juta. Duit diantarkan Mastuti Betta, seorang notaris, ditemani asistennya. Mastuti belum bisa dimintai konfirmasi soal ini.
Menurut Selestinus, total duit yang diserahkan bekas bosnya kepada Endan mencapai Rp 550 juta. Dari bukti kuitansi diketahui, duit diberikan antara Mei dan Desember 2008. Artinya, Endan dan Jhonny telah berhubungan sebelum Jhonny, lewat anak buahnya, membeli tanah-tanah penduduk.
Proyek pembebasan lahan di Pondok Ranggon satu paket dengan pembebasan lahan di lima pemakaman lain, yakni Pondok Kelapa, Tegal Alur, Rorotan, Jeruk Purut, dan Tanah Kusir Utara, oleh Kantor Pelayanan Pemakaman DKI—kini Dinas Pertamanan dan Pemakaman—pada 2008. Kantor Pemakaman ketika itu memiliki anggaran lumayan untuk pembebasan lahan. Dari Rp 134,6 miliar yang diusulkan pada awal tahun, pembebasan lahan makam akhirnya disetujui lebih dari Rp 51 miliar.
Pembebasan pada 2008 ini merupakan kelanjutan dari proyek sebelumnya yang telah berjalan. Pada 2006, misalnya, Kantor Pemakaman memperluas lahan di Tanah Kusir dan Lebak Bulus. Pembebasan lahan di kedua tempat ini juga dinodai korupsi. Akibatnya, mantan Wali Kota Jakarta Selatan Dadang Kafrawi harus mendekam di bui pada 2010. Demikian pula Endan Sjuhada, yang diduga disogok Jhonny Allen. Ia terperosok dalam kasus pembebasan lahan makam unit Buddha di Tanah Kusir. Pada November 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukumnya dua setengah tahun penjara.
Jhonny Allen tak menyangkal terlibat praktek makelar tanah di Pondok Ranggon. "Apakah salah kalau saya beli tanah, lalu menjualnya lagi dengan harga lebih tinggi?" katanya. Soal dugaan aliran duit ke Endan Sjuhada, Jhonny berujar, "Tanyakan saja ke Endan, betul enggak dia terima dari saya?" Jhonny menuding Selestinus mengungkap kasus ini karena hendak memerasnya. Selestinus mematahkan tudingan bekas bosnya, "Kalau saya memeras, buat apa lapor KPK?"
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo