Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan sejumlah wartawan, Kamis pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto seperti kehilangan senyum. Nada suaranya tinggi. Ketika menjabat Gubernur Jawa Tengah, katanya, ia menerima upah pungut. Tapi, menurut dia, uang itu bukan atas nama pribadi.
Ia menyebutnya dana operasional. ”Jadi, kalau ada yang menuduh gubernur mendapat gaji enam miliar rupiah setahun, penuduh itu bisa dituntut,” katanya.
Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengendus kejanggalan dari upah pungut pajak, sejak 2007. Sumber Tempo mengatakan temuan ini berawal dari laporan kekayaan pejabat negara. Dalam laporan itu tercantum pendapatan lain-lain, yang jumlahnya bisa melebihi gaji.
Setelah dikonfirmasi, uang itu berasal dari upah pungut pajak daerah, yang memiliki dasar hukum. ”Seorang gubernur ada yang menerima Rp 300 juta sebulan,” katanya.
Komisi mengeluarkan surat penyelidikan pada 25 November lalu. Ternyata upah pungut pajak daerah itu mengalir ke gubernur hingga camat. Uang yang keluar pada 2005-2007 saja diduga Rp 1,25 triliun.
Komisi sudah memanggil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Ade Surapriatna, bekas sekretaris daerah Ritola Tasmaya, serta anggota Firmansyah dan Maria Heri. Komisi juga mengunjungi Menteri Dalam Negeri, Kamis pekan lalu.
Mardiyanto tersangkut kisruh ini karena aturan upah pungut itu memang di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ia mewarisi keputusan Menteri Dalam Negeri era Hari Sabarno, pada 2002. Menurut dia, upah pungut atau insentif sudah berlaku sejak 1976.
Awalnya, upah pungut diatur melalui surat keputusan bersama sejumlah instansi, seperti Samsat dan Kepolisian. Aturan upah pungut baru mengikat setelah dibuat peraturan pemerintah serta keputusan Menteri Dalam Negeri pada 2002. ”Jadi, jangan tiba-tiba saya disalahkan,” kata Mardiyanto.
Ketika keputusan menteri itu berlaku, Mardiyanto masih Gubernur Jawa Tengah 1999-2007. Ia mengaku menerima upah pungut—yang disebutnya dana operasional tadi. Menurut dia, upah pungut itu lazim di berbagai departemen, dengan istilah berbeda.
Pertemuan Menteri dan Komisi menyepakati pembentukan tim yang akan bekerja sejak Senin pekan ini. Tim ini akan mengkaji Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tentang biaya pemungutan pajak dan Nomor 36/2002 tentang tim pembina pusat.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Mochamad Jasin mengatakan Komisi lebih berfokus pada pembenahan aturan, sehingga tidak mengulangi kesalahan. Komisi belum menentukan langkah menindak pihak yang sudah menerima upah pungut atau pembuat kebijakannya. ”Kita mengedepankan pencegahan,” kata Jasin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengatakan beralihnya fokus Komisi dari tindakan ke pencegahan merupakan indikator melemahnya lembaga. ”Saya melihat kemunduran nyata Komisi,” katanya.
Febri mengatakan kasus upah pungut memperlihatkan indikasi korupsi sehingga harus diproses dalam jalur pidana. Menurut dia, pencegahan bisa dilakukan setelah tindakan selesai. Kalau tidak, penegak hukum telah membiarkan orang yang diduga terkait tindak pidana itu berkeliaran.
Semangat pajak daerah, kata Febri, adalah mendistribusikan hasil pemungutan ke daerah, bukan ke pemungutnya. Peraturan upah pungut itu mutlak harus dibenahi, misalnya dengan mengamendemen peraturan pemerintah.
Upah pungut merupakan biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana dan penunjang pemungutan pajak. Pembagian uang ini berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Daerah, dengan istilah biaya pemungutan.
Peraturan Nomor 65/2001 ini ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada September 2001. Dalam bab 15 dicantumkan, biaya pemungutan pajak adalah lima persen dari total penerimaan pajak.
Peraturan Pemerintah tentang Pajak Daerah itu mengacu pada Undang-Undang tentang Pajak Daerah Nomor 18/1997 dan 34/2000. Tapi pasal dalam undang-undang yang dirujuk peraturan pemerintah itu sama sekali tidak menyebutkan upah atau biaya pemungutan.
Peraturan ini menggunakan pasal yang berisi jenis pajak daerah, penentuan tarif, serta pedoman penghapusan pajak kedaluwarsa. ”Undang-undang tidak mengamanatkan adanya upah pungut,” kata Febri.
Hari Sabarno, Menteri Dalam Negeri waktu itu, menerbitkan Keputusan Nomor 27/2002 tentang pedoman alokasi biaya pemungutan pajak daerah. Keputusan yang ditandatangani pada Mei 2002 itu direvisi dengan Keputusan Nomor 35 pada Juli 2002.
Keputusan baru itu menghapus butir penggunaan upah pungut untuk membiayai kegiatan pengumpulan obyek dan subyek pajak, penagihan, dan pengawasan. Dalam keputusan menteri, pajak daerah meliputi pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, serta pajak penerangan jalan.
Upah pajak kendaraan bermotor 70 persennya dibagikan kepada aparat pelaksana pemungutan. Sisanya menyebar ke tim pembina pusat, kepolisian, serta aparat penunjang lain. ”Pajak itu seharusnya dialokasikan untuk pembangunan daerah,” kata Mochamad Jasin.
Keputusan menteri diterjemahkan lagi dalam peraturan gubernur. Setiap daerah menentukan sendiri penerima upah pungut itu. Nilainya juga bergantung pada penghasilan pajak daerah tersebut.
Di DKI Jakarta, misalnya, melalui Peraturan Gubernur Nomor 118/2005 tentang pelaksanaan pemberian pemungutan kepada instansi pemungut dan instansi penunjang lain. Upah pungut dibagikan berdasarkan bobot kompetensi masing-masing.
Bobot kompetensi tertinggi mendapat setengah dari upah pungut itu. Ada 33 pejabat provinsi dan 18 tingkat kota madya yang masuk kategori ini, dari gubernur, wali kota, hingga para kepala subbagian.
Bobot sedang mendapat 30 persen dari upah pungut pajak. Dalam kategori ini ada 52 pejabat provinsi dan 18 kota madya. Terakhir, bobot rendah dengan bagian maksimal 20 persen. Pada kategori ini ada 16 pejabat provinsi dan 4 kota madya, termasuk camat.
Anggota Dewan juga mendapat bagian dari upah pungut. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Dani Anwar mengatakan upah pungut dibayarkan kepada semua anggota secara proporsional. Dana itu sudah melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta diperiksa rutin Badan Pemeriksa Keuangan.
”Ini bukan korupsi legal, karena dilandasi peraturan dan undang-undang,” kata politikus dari Partai Keadilan Sejahtera itu. ”Yang harus dievaluasi itu aturannya.”
Dani mengatakan setiap anggota Dewan menerima upah pungut Rp 5 juta sebulan. Terakhir, Dewan menerima upah pungut itu pada Desember lalu. Pemerintah DKI Jakarta bahkan sudah mengalokasikan upah pungut 2009 sebesar Rp 309 miliar. ”Kita tidak tahu kapan keluarnya,” kata Dani. ”Tunggu saja perkembangannya.”
Dana yang mengalir ke segala penjuru itu juga menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan pemeriksaan pengelolaan rekening pemerintah menyatakan upah pungut pajak daerah sebesar Rp 264 miliar dipakai untuk membiayai kegiatan Tim Pembina Pusat Departemen Dalam Negeri pada 2001-2008. Upah pungut baru muncul dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007. Jadi, upah pungut sebelumnya tidak melalui mekanisme anggaran.
Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan Syafrie Adnan mengatakan upah pungut atau insentif memang wajar diberikan kepada pemungut pajak, misalnya lurah. Pembagian dana itu juga harus melalui mekanisme anggaran. ”Jadi, jangan seperti zaman penjajahan,” kata Syafrie. ”Minta pungutan dari pajak secara langsung.”
Yandi M.R., Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo