Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu bersimpuh di lantai. Pucat. Rambutnya acak. Sudah dua hari Sukini tak tidur. Perempuan 47 tahun itu menjaga suaminya, Suyono, 50 tahun, yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Soedono, Madiun, Jawa Timur, Kamis pekan lalu.
Suyono termasuk 14 korban selamat dalam kecelakaan pesawat Hercules C130 di Magetan, Jawa Timur, dua pekan lalu. Dari total 112 penumpang—70 di antaranya sipil—98 tewas.
Tukang batu asal Magetan itu sebetulnya sedang membangun rumah Nur, tetangganya yang anggota TNI Angkatan Udara, di Jakarta. Menjelang hari nahas itu, Nur menawarkan ”tiket gratis” Hercules. ”Pak Nur yang mengurus semua,” kata Sukini.
Suyono tak dipungut ongkos apa pun selain membayar ceban, atau Rp 10 ribu, ke awak pesawat. ”Itu untuk uang kebersihan,” kata Marsekal Muda Imam Sufaat, Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara I.
Menurut Imam, pesawat angkutan militer itu tidak dapat digunakan sembarang penumpang sipil. Izin menumpang hanya diberikan kepada kerabat atau keluarga anggota TNI.
Dalam kenyataannya, banyak penumpang yang tak ada hubungan apa pun dengan militer. Junaidi, misalnya. Pegawai partikelir di Jakarta itu beberapa kali mudik Lebaran menumpang Hercules ke Madiun.
Perkenalan Junaidi dengan Hercules dimulai ketika hendak mudik Lebaran tiga tahun lalu. Dia diajak teman sekampungnya yang punya kenalan petugas administrasi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Petugas itu menguruskan pemesanan kursi pesawat mereka. ”Kami hanya diminta menyerahkan nomor telepon,” katanya. Mereka kemudian diberi tahu jadwal keberangkatan, dan diminta tiba di Halim satu jam lebih awal.
Setiba di gerbang pangkalan, Junaidi dan rekannya dihampiri seorang tentara, dan dibawa ke sebuah gudang. Di pojok gudang itulah mereka diminta menyerahkan uang masingmasing Rp 75 ribu—tanpa kuitansi.
”Nanti, kalau dipanggil Kolonel X, kalian langsung mengacungkan jari dan berdiri,” kata tentara itu setelah menerima uang. ”Yang manggil sudah tahu. Kalian dianggap saudaranya.”
Kepala Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Iswahyudi, Mayor Sus Sutrisno, tak menampik adanya penumpang sipil di pesawat Hercules. Menurut dia, keberadaan mereka merupakan wewenang penuh komandan pangkalan udara melalui dinas angkutan Angkatan Udara di tiap pangkalan.
Pada dasarnya, kata Sus, setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat bisa menaiki pesawat militer. Tapi, sesuai dengan peran dan fungsinya, Hercules lebih diperuntukkan bagi mobilitas anggota TNI dan keluarganya.
Penduduk sipil yang bukan keluarga tentara, katanya, dapat menumpang dengan mengajukan surat permohonan ke komandan pangkalan udara setempat. Prosedur seperti ini, menurut Sus, biasanya memakan waktu hingga tujuh hari.
Sus juga menyatakan tak ada pungutan untuk para penumpang sipil kecuali kontribusi Rp 10 ribu tadi itu. ”Kalau ada yang memungut lebih dari itu, berarti dia diusili petugas.”
Korban petugas usil itu termasuk Samini dan dua anaknya, yang tewas dalam kecelakaan Hercules di Magetan itu. Menurut kakak Samini, Sutarno Raharjo, adiknya naik pesawat itu karena harga tiketnya yang sangat murah.
Harga tiket pesawat komersial JakartaWamena sekitar Rp 2,4 juta. Dengan Hercules, Samini cuma dipungut Rp 1,7 juta untuk dewasa, dan separuh harga untuk anakanak. ”Katanya, itu tiket resmi,” kata Sutarno.
Faktor risiko memang tinggi. TNI tidak memberikan jaminan kecelakaan, atau asuransi, kepada penumpang yang bukan militer. Meski namanya tercatat dalam daftar penumpang atau manifes, seluruh risiko di luar tanggung jawab TNI.
”Namun, khusus musibah kecelakaan kemarin, kami sepakat dengan pemerintah daerah untuk samasama membiayai pengobatan dan ganti rugi,” kata Sus Sutrisno.
Kurniawan, Hari Tri Wasono, Anang Zakaria, Ukky Primartantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo