Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYAFITRI, perempuan dua puluhan tahun itu, tak hentihentinya mengucek mata merahnya yang berair. Sesekali dia menggaruk bekas koreng di sekujur tubuhnya masih menyisakan gatal.
Dua puluhan teman sebangsalnya di Panti Laras Harapan Sentosa 1, Cengkareng, Jakarta Barat, sibuk dengan dunianya masingmasing: berbaring, menatap kosong, menggumam, dan cengarcengir. Panti ini salah satu pondok penampungan penderita sakit jiwa di bawah binaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Syafitri, yang sebelumnya menggelandang di sekitar Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, baru sekitar dua pekan menghuni panti laras. Ketika tiba di sini, ia menderita kurang gizi, sakit mata, dan penyakit kulit yang cukup parah. Dia menjalani perawatan di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit sekitar tiga pekan.
Perempuan berambut plontos ini termasuk beruntung. Pada periode JanuariApril, 37 penghuni Panti Laras Cengkareng meninggal karena sakit. Data rekapitulasi kematian periode Oktober 2008April 2009 dari empat panti mencatat 181 jiwa melayang. Data yang dirilis RSKD Duren Sawit pada Mei lalu itu sempat mendapat perhatian khusus stasiun televisi asing AlJazeera.
Dalam enam bulan, kematian terbanyak di Panti Laras Cengkareng: 140 orang. Lainnya, Panti Laras Harapan Sentosa 2, Cipayung, 38 orang; Panti Laras Harapan Sentosa 3, Ceger, satu orang; dan Panti Bina Laras Daan Mogot dua orang. Pasien meninggal paling banyak disebabkan malnutrisi, diare, kombinasi diare dan malnutrisi, serta kombinasi malnutrisi dan anemia.
Menurut Kepala Panti Laras Cengkareng Ihud Saputra, ”Mereka menderita sakit sejak di jalanan.” Setiap bulan, anggota panti bertambah sekitar 80 orang, hasil penertiban penderita sakit jiwa yang menggelandang.
Panti memiliki klinik pelayanan kesehatan dengan satu dokter umum dan tiga perawat yang berjaga setiap hari. Pasien yang menderita sakit fisik akut dirujuk ke RSKD Duren Sawit, rumah sakit jiwa yang ditunjuk melayani empat panti binaan pemerintah.
Menurut dokter umum Panti Laras Cengkareng, Sri Mulyaningsih, kerap kali pasien tak mendapat pelayanan di RSKD. ”Pasien sering ditolak karena di sana sudah penuh,” katanya. Ketersediaan obat pun sangat terbatas.
Selama ini, panti mendapat pasokan obat dari RSKD Duren Sawit. Tapi, ”Permintaan obat hanya diberikan setengahnya,” kata Sri. Karena pelayanan dan obat minim, ”Pasien yang sudah sakit parah meninggal di panti,” Sri menambahkan.
Menurut Direktur RSKD Duren Sawit Gani Witono, rumah sakit menyediakan 35 tempat tidur. Namun setiap panti mengirim 310 pasien dalam sebulan. Masa perawatan membutuhkan 24 pekan, karena pasien harus melewati tahap rehabilitasi umum, medis, dan mental. ”Ini membuat rumah sakit tak dapat melayani semua pasien yang datang.”
Panti juga mengalami masalah kelebihan penghuni. Total kapasitas di empat panti hanya 1.200 orang. Namun penghuni mencapai 1.646 orang. Penghuni yang bertambah akan mengurangi jatah makan. Pemerintah hanya memberikan biaya makan berdasarkan tingkat kapasitas, bukan tingkat hunian panti. Untuk setiap pasien disediakan dana Rp 15 ribu per hari buat tiga kali makan.
Menurut psikiater Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Irmansyah, kelompok penderita ini perlu mendapat perhatian yang tinggi, terutama asupan makanan yang bergizi. Tingkat harapan hidup penderita penyakit mental lebih rendah daripada orang normal. ”Secara fisik, mereka rentan untuk cepat mati,” katanya.
Yuliawati, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo