Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH Nurcahya, 70 tahun, kini tinggal satu kamar tidur. Dindingnya kayu bekas, atapnya seng. Padahal tepat di lokasi itu dulu berdiri rumah dengan tiga kamar tidur, yang terban akibat gempa berkekuatan 7,9 skala Richter, pada 30 September tahun lalu. ”Mirip kandang jawi,” kata Sumardi, anak lelaki Nurcahya. ”Jawi” adalah cara orang Minang menyebut sapi.
Sumardi bercerita keluarganya tak punya cukup uang untuk membangun kembali rumah yang terletak di Jalan Ampang, Padang, itu. Rumah tersebut pernah ditempeli kertas merah, pertanda rusak berat, dan akan diberi bantuan rehabilitasi Rp 15 juta. ”Tapi sampai sekarang tak ada bantuan itu,” kata Sumardi.
Total rumah rusak akibat gempa tahun lalu itu hampir 250 ribu unit, meliputi rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan. Sebagian memang menerima bantuan, tapi banyak yang mengaku dipotong. ”Katanya untuk biaya pengurusan administrasi,” kata Harnayati, warga Buluh Kasok, Padang. Untuk bantuan tahap satu rumah orang tuanya yang rusak sedang, mestinya ia menerima Rp 5 juta. Tapi bantuan itu dipotong Rp 150 ribu.
Tak hanya rumah penduduk, bangunan milik pemerintah dan fasilitas umum pun banyak yang terbengkalai. Di sepanjang jalan protokol, seperti Jalan Sudirman atau Jalan Khatib Sulaiman, gedung-gedung pemerintah yang rusak berat belum dirobohkan. Puing bangunan masih teronggok. Baru kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Pendidikan yang mulai dibersihkan dengan alat berat, awal bulan ini.
Kantor gubernur yang berlantai empat hanya digunakan dua lantai. Gubernur Irwan Prayitno menggunakan bekas kantor Dharma Wanita di samping gedung utama kantor gubernur. Bahkan, pada pelantikan gubernur, Agustus lalu, acara digelar di bekas garasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat yang telah disulap menjadi ruang sidang paripurna.
Banyak pula sekolah yang ambruk belum tersentuh pembangunan. Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 25 dan SMP Negeri 7 Padang harus belajar di kelas darurat yang sempit dan panas. Ada juga yang dititipkan di taman pendidikan Al-Quran di sebuah masjid.
Ketua Tim Pelaksana Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera Barat Sugimin Pranoto mengakui lambannya bantuan untuk korban gempa dan keseluruhan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ia mencontohkan, untuk dana rehabilitasi dan rekonstruksi tahap satu, yang sudah dikucurkan pemerintah pusat pada Desember tahun lalu Rp 313,9 miliar, baru cair sekitar 17,83 persen pada Mei lalu.
”Lambatnya pencairan dana karena prosedurnya yang panjang,” katanya pekan lalu. ”Dari pusat masuk dulu ke APBD Sumatera Barat melalui Peraturan Gubernur, dibahas lagi di DPRD, lalu nanti ke kabupaten dan kota.” Karena itu, bantuan tahap kedua Rp 2 triliun, menurut Sugimin, akan langsung ditangani Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Untuk infrastruktur seperti bangunan pemerintah, rumah sakit, dan sekolah, baru dialokasikan pada 2011, Rp 3,6 triliun. ”Tapi dananya masih dicari,” kata Sugimin. Ia mengaku diberi tahu dana rekonstruksi dan rehabilitasi sudah dialokasikan ke kementerian. ”Nah, ini yang perlu dicek.”
Gubernur Irwan Prayitno membenarkan problem dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi itu. Dia berharap dana tersebut tidak melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, agar proses penggunaannya bisa lebih cepat. ”Kami sudah menyurati Presiden, supaya tidak melalui kementerian dan lembaga, tapi langsung ke BNPB,” katanya. ”Kalau lewat kementerian, nanti tidak berfokus ke Sumatera Barat.”
Purwani Diyah Prabandari, Febriyanti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo