Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP pagi lelaki tegap itu berlari mengitari Lapangan Blambangan di pusat Kota Banyuwangi, Jawa Timur. ”Ia juga penggemar golf,” Brigadir Kepala Kusmin, ajudan Imam Sudjarwo ketika menjabat Kepala Kepolisian Resor Banyuwangi pada 1999, bercerita.
Kusmin tak lupa, setiap pagi Imam minta disediakan sepinggan tempe mendoan hangat di meja kerjanya. ”Bapak paling suka, dimakan sama cabai,” katanya, Jumat pekan lalu. Di rumah dinasnya, Imam, pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 54 tahun silam, menyediakan perangkat karaoke. Sepulang kerja, Kusmin menuturkan, Imam menyanyi berduet bersama istrinya, Dwi Astuti.
Banyuwangi merupakan pos pertama Imam memimpin wilayah. Tak bisa segera joging, golf, atau berkaraoke, lulusan Akademi Kepolisian 1980 ini langsung menghadapi kasus pembunuhan berkedok pembasmian dukun santet. Dilakukan orang-orang berpakaian mirip ninja, aksi sadistis ini disebut Presiden Abdurrahman Wahid sebagai ”Operasi Naga Hijau”. Sebanyak 185 orang jadi korban, sebagian besar pengurus Nahdlatul Ulama.
Tragedi itu pula yang diingat para kiai nahdliyin di Banyuwangi begitu terdengar kabar Imam Sudjarwo calon Kepala Kepolisian RI. ”Mereka menelepon saya, menanyakan apakah itu Imam yang dulu di Banyuwangi,” kata Adhie Massardi, juru bicara kepresidenan pada zaman Abdurrahman Wahid.
Adhie mengontak Choirul Anam, dulu ketua tim pencari fakta Nahdlatul Ulama. Choirul membongkar kembali dokumen temuan timnya. Di sana tertulis, sebelum para korban dihabisi, mereka sempat didata petugas kepolisian sektor. Menurut Choirul, Imam bisa saja tak mengetahui karena baru masuk setelah pembunuhan mereda. ”Mestinya ia mengungkap kasus ini, tapi dia tak melakukannya,” ujarnya.
Mantan anggota tim pencari fakta, Abdillah Rafsanjani, menjelaskan saat itu Imam menangkap sekitar 150 tersangka pelaku. Tapi, ”Dalangnya tak terungkap, jadi tak bisa dibilang berhasil,” katanya.
Tiga tahun di Banyuwangi, Imam digeser menjadi Wakil Kepala Kepolisian Wilayah Kediri. Setelah itu, ia banyak berkarier di korps Brigade Mobil. Ia tak memiliki pengalaman memimpin kepolisian daerah tipe ”A”alias daerah ”sulit” seperti Sumatera Utara dan Jawa. Satu-satunya kepolisian daerah yang pernah ia pimpin adalah Kepulauan Bangka Belitung, yang tergolong kelas dua dipimpin jenderal bintang satu.
Ketika Imam memimpin Bangka Belitung, marak pula penambangan liar dan penyelundupan timah. Imam meringkus penambang ilegal dan Direktur PT Kobatin yang menampungnya. Tapi, menurut Kementerian Energi, Kobatin memiliki izin menampung timah masyarakat. Direktur perusahaan itu akhirnya divonis bebas.
Dari Bangka, Imam kembali ke korps Brigade Mobil, sampai akhirnya memimpin kesatuan ini pada 2009. Tak sampai setahun, ia mendapat promosi menjadi Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian. Di sini ia ditunjuk menjadi Sekretaris Tim Reformasi Birokrasi.
Tim inilah yang merancang struktur baru kepolisian, antara lain dengan meningkatkan posisi Kepala Pendidikan dan Pelatihan sebagai jabatan bintang tiga. Segera setelah struktur baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bintang di pundak Imam bertambah.
Karier cepat Imam membuat Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri terpikat. Apalagi Imam pandai mengambil hati. Ketika Bambang didesak mundur setelah muncul dugaan kriminalisasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Imam pasang badan. Di Markas Brimob, ia membentangkan baliho besar. Terlihat gambar Bambang Hendarso mengenakan seragam Brimob. Di situ terpampang tulisan ”Kami Anggota Korps Brimob Polri Bangga Jadi Anak Buah Jenderal”.
Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Ika Ningtyas (Banyuwangi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo