Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<Font size=2 color=#FF0000>Harta Pejabat</font><br />Tanah Hibah Tuan Auditor

Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat kebanyakan harta Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo berstatus hibah. Fakta lapangan bicara lain.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Edwan terbelalak, mulutnya menganga. Wakil Kepala Kelurahan Kembang­an Selatan, Jakarta Barat, itu kaget membaca daftar kekayaan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Wah, semua tanah dan bangunan ada di lokasi strategis dan elite,” katanya Kamis pekan lalu.

Edwan hafal benar nilai jual tanah di wilayahnya. Berdasarkan nilai jual obyek pajak terbaru, harga tanah di kawasan Kembangan Selatan Rp 3,5 juta per meter persegi. ”Harga pasarannya Rp 6 juta hingga Rp 8,5 juta per meter persegi,” katanya. ”Pokoknya, dijual Rp 6 juta, orang ndak nawar deh.”

Daftar laporan kekayaan tertanggal 14 Juni 2006 itu menyebut pria kelahiran Pamekasan 21 April 1947 itu adalah mantan Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Dalam daftar itu tercantum: kekayaan tanah dan bangunan Rp 9,6 miliar, tiga buah mobil Rp 370 juta, logam mulia Rp 100 juta, batu mulia Rp 400 juta, barang seni dan antik Rp 1 miliar, dan harta kas berupa uang tunai dan tabungan Rp 308 juta. Total berjumlah Rp 24,2 miliar. Hampir semua kekayaan itu berstatus hibah atas nama Melita Setyawati, istri Hadi Poernomo.

Tanah dan bangunan tersebar di 26 lokasi di sejumlah wilayah Indonesia dan luar negeri. Lahan, misalnya, ada di Bekasi, Serang, Sawangan, Kembangan, Kemanggisan, Pancoran, Keba­yoran Baru, Menteng Atas, Setiabudi, dan Tanggamus, Lampung. Di luar negeri, Hadi menyimpan aset di E. Badillo Street, Los Angeles, California, Amerika Serikat—juga tercatat atas nama Melita Setyawati dan dimiliki sejak 1986.

l l l

SEJAK 1992 Kelurahan Kembangan dipecah dua menjadi Kembangan Selatan dan Kembangan Utara. Dua kelurahan ini dikepung perumahan mewah seperti Puri Indah dan Permata Buana. Hanya dalam puluhan tarikan napas penghuni perumahan itu akan mencapai gerbang Kantor Wali Kota Jakarta Barat di Kawasan Sentra Primer Baru Barat.

Pusat pemerintahan Jakarta Barat­ itu berjarak 700 meter dari lokasi pem­ba­ngunan megaproyek Grup Lippo, St. Morris. Grup ini sedang membangun menara yang tingginya ditargetkan menyamai Empire State Building di New York—salah satu dari sepuluh bangunan tertinggi di dunia. Di sekitar kawasan elite ini sebagian tanah dan bangunan Hadi Poernomo terserak.

Tak seperti dicatat dalam dokumen KPK, tanah Hadi bukan hibah melainkan berasal dari pembelian lewat bantuan makelar. Lahan seluas 2.900 meter persegi di tepi Jalan Raya Kembang­an dibeli dari Haji Merah, tuan tanah di kawasan itu. Sayangnya, Haji Merah terlampau uzur untuk diwawancarai. Di lahan itu terdapat tiga bangunan kayu tak terawat. Rumput meninggi, pintu gerbangnya digembok dekat papan nomor 46. Dulu lahan itu pernah dipakai sebagai toko kayu, alat berat, dan gudang minuman soda. ”Tanah ini milik Pak Hadi Poernomo, orang pajak,” kata seorang penduduk yang hanya ingin dipanggil Kakek.

Menurut dia, tanah itu dibeli dari Haji Merah pada 1980-an. ”Saat itu harganya Rp 50 ribu per meter,” kata Kakek, yang menjadi makelar sejak muda. Kakek mengaku mengenal Hadi Poernomo. ”Dia datang hendak cari tanah,” katanya. ”Tiap ada yang mau jual, saya tawarin ke dia.” Saat itu Hadi mengaku sebagai karyawan pajak. ”Tinggalnya di kompleks pajak Kemanggisan.”

Pada 1980, Hadi adalah auditor di Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan, dan Pengendalian Wilayah pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Sebelumnya, pada 1973, ia auditor di Bidang Pemeriksaan pada Kantor Wilayah Pajak Jakarta. Menjadi pegawai negeri di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Desember 1965, pada 1969 dia diangkat menjadi auditor di Kantor Pajak Per­usahaan Swasta, Jakarta.

Menurut Kakek, Hadi juga memiliki tanah 1.000 meter yang sejak tiga tahun lalu dipakai untuk usaha cuci mobil. ”Saya yakin cuci mobil itu milik Hadi karena waktu pembukaan dia datang,” katanya.

Ada juga tanah 1.000 meter lainnya di Jalan Raya Kembangan, Kembangan Utara. Berbatasan dengan perumahan mewah Puri Media, lahan itu kosong melompong. Lokasi lainnya di Jalan Haji Saanan, di seberang kantor Kelurahan Kembangan Utara. Lahan trapesium 400 meter persegi itu ditanami sayur oleh warga setempat.

Kakek juga menunjukkan tanah di Jalan Kembangan Utara 54. Tanah itu merupakan lahan terluas milik Hadi di Kembangan. ”Jika diukur bisa hektaran.” Lokasinya di utara kantor Kelurahan Kembangan Utara, berbatasan dengan Kecamatan Cengkareng. Lahan itu dipakai gudang kabel.

Dalam tiap transaksi, Kakek men­dapat komisi 1 hingga 2,5 persen. Kakek mengaku tak pernah melihat dokumen ke­pemilikan tanah. ”Saya tidak tahu ta­nah itu atas nama Pak Hadi atau ­bukan.”

Saat itu kampung Kembangan masih berupa sawah. Kini semua kawasan berubah menjadi permukiman dan pertokoan. Harga tanah pun melejit. Sebagian besar warga membenarkan tanah-tanah itu milik Hadi, tapi tak pernah melihat orangnya. Aliman, salah seorang Ketua RT di kawasan itu, juga tak pernah bertemu muka dengan Hadi. ”Semua urusan tanah dipegang Haji Namin, orang kepercayaan Pak Hadi.”

Siduk, ketua RT 5/RW 2, membenarkan. ”Haji Namin bilang, bosnya punya tanah di mana-mana.” Namin adalah putra Haji Mukri, pemilik tanah yang dibeli Hadi.

Ketika Tempo menemui Namin di rumahnya, dia mengunci mulut. Lelaki 40 tahun itu bilang, ”Tanah-tanah itu atas nama Bu Melita, bukan Pak Hadi Poernomo. Yang ngasih tahu agar datang ke saya siapa?” katanya dengan nada tinggi. Ia melengos lalu kembali main Play Station.

Kepala Seksi Pemerintahan Kembangan Utara, Muchammad Ali, membenarkan kelima lahan itu milik Hadi. ”Tapi tak semuanya atas nama dia,” katanya. ”Yang atas nama Pak Hadi ada dua: dekat Rumah Makan Talago dan di depan kantor kelurahan,” katanya. Tiga lainnya atas nama Melita Setyawati. ”Itu berdasarkan bukti tagihan pajak bumi dan bangunan,” kata Ali.

Petugas di Kelurahan Kembangan Utara dan Selatan geleng-geleng melihat semua tanah milik Hadi Poernomo berstatus hibah. ”Ini tak masuk akal,” kata salah seorang petugas. Dia merujuk pada salah satu aset tanah dan bangunan milik Hadi di Puri Kencana 29, Kembangan Selatan. ”Di dokumen ini ada tanda T dan B, ini semacam ruko dan berada di tepi jalan besar,” katanya. Dalam laporannya Hadi mencantumkan nilainya Rp 798 juta. ”Dibuka harga Rp 3 miliar saja pasti diembat orang.”

Sayangnya, Hadi tak bisa dimintai konfirmasi. Telepon selulernya tak pernah diangkat. Triyono, ajudan Hadi, hanya menyebut bosnya sedang sibuk terapi kesehatan. ”Kirim saja permohonan tertulis ke kantor BPK,” katanya. Tapi permintaan wawancara tertulis pun tak digubris. Sekali waktu, pesan pendek yang dikirim Tempo dibalas. ”Wawancara masalah apa, Mas?” katanya. Ketika dijelaskan, pesan pendek itu berhenti menyahut.

Namun pada Februari lalu Hadi pernah memberikan klarifikasi. Me­nurutnya, kekayaan itu adalah hibah yang diterima lalu diputar untuk penjualan. ”Hasil penjualan bisa dipakai sekarang dan hibah juga bentuknya,” katanya. ”Pada 1983 saya belum Direktur Jenderal Pajak.”

Hadi mengaku, hibah yang diterimanya berasal dari orang tua. ”Tidak berupa warisan karena orang tua saya belum meninggal. Jadi tercatatnya dalam bentuk akte notaris dan ini bukan gratifikasi.” Soal aset atas nama Melita Setyawati, menurut dia karena termasuk harta gono-gini. ”Itu bukan harta terpisah, boleh dong saya memakai nama saya atau istri saya.”

Pengusaha Setiawan Djody, kakak Melita, menyebut harta hibah Hadi sebagian berasal darinya. Presiden Direktur Setdco Group itu mengatakan sejak kecil ia dekat dengan Melita. Keluarga Ipung (nama kecil Hadi Poernomo) juga akrab dengan keluar­ganya. ”Anak-anak Ipung sejak kecil sering tinggal di rumah saya, termasuk ketika di Amerika Serikat,” kata Djody.

Kepala Hubungan Masyarakat Ko­misi Pemberantasan Korupsi Johan Budi S.P. menyatakan lembaganya masih memverifikasi harta hibah Hadi. Namun petugas di Kelurahan Kembangan Selatan dan Utara mengatakan belum ada tim KPK datang ke kantor mereka.

Dwidjo U. Maksum, Renny Fitria Sari, Bobby Chandra, Reza Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus