Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKIN sore di gerbang gedung Dewan Perwakilan Rakyat, para demonstran kian trengginas. Semprotan kanon air seperti tak melunturkan semangat mereka—sebagian ibu-ibu dan remaja putri. Selasa pekan lalu itu, mereka terlibat ”mengawal” Sidang Paripurna Dewan, yang mengambil kesimpulan akhir kasus Bank Century.
Tapi, agak di luar perkiraan, unjuk rasa yang sebelumnya digambarkan akan marak meriah itu hanya bantut dalam sekejap. Setelah Sidang Paripurna memenangkan voting untuk kubu yang mempersalahkan kebijakan penyelamatan Bank Century, unjuk rasa—yang sempat diembel-embeli niat menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat—seperti menemukan antiklimaksnya.
Unjuk rasa yang digalang berbagai kelompok masyarakat ini memang tak menampilkan pemimpin tunggal atawa tokoh sentral. ”Hanya idealisme yang menyatukan kami,” kata Haris Rusli Moti, satu di antara pencetus Gerakan Petisi 28. Itu pula sebabnya aksi kemudian seperti berkembang sendiri-sendiri, dengan ”logistik” yang tidak memadai.
Haris mengakui, tak mudah menggalang dana untuk mendukung unjuk rasa. ”Satu kelompok paling banyak hanya mengumpulkan Rp 3 juta sampai Rp 5 juta,” katanya. Dana sekian sebatas digunakan untuk menyewa pengeras suara dan kendaraan angkutan massa. ”Kalau ada yang membayar, saya yakin DPR bisa diduduki,” Haris menambahkan.
Sekretaris Jenderal Jaringan Pemuda Penggerak, Dani Kusuma, mengeluhkan hal yang sama. Jaringan, yang mengklaim mengorganisasi 48 basis setingkat kecamatan, hanya mampu menyediakan bendera dan spanduk. ”Logistik diambil hanya dari orang-orang yang peduli,” katanya.
Mungkin karena itu, tak satu kelompok pun yang berani tampil sebagai motor unjuk rasa. Kalau ada yang menunjuk Benteng Demokrasi Rakyat, ”Ah, itu hanya ucapan orang sok tahu,” kata Adian Napitupulu, satu di antara pendiri Benteng. Ia segera menambahkan, ”Jangankan menyediakan logistik untuk orang lain, untuk diri sendiri saja kami kekurangan.”
Adian mencontohkan, pada hari pertama unjuk rasa, sekitar 1.000 demonstran asal Bendera terpaksa tidak makan. Akibatnya, pada hari kedua hanya muncul sekitar 200 orang. Ia menjelaskan, dana yang diperoleh Bendera kebanyakan berasal dari bekas aktivis 1998 yang tak lagi turun langsung. Dari elite politik? ”Tidak ada itu!” ia membantah keras.
Memang ada rumor yang menyebutkan beberapa nama ”penyandang dana” unjuk rasa. Bahkan ada yang sampai pada kalkulasi, demonstrasi dua hari itu menelan biaya sekitar Rp 15 miliar—entah bagaimana menghitungnya. ”Modusnya tidak diberikan langsung, melainkan melalui tangan beberapa elite politik,” kata sumber Tempo.
Menurut sumber itu, unjuk rasa pada Selasa-Kamis pekan lalu itu hanya untuk membaca situasi, bukan gerakan yang sebenarnya. Gerakan sesungguhnya akan bangkit jika pemerintah bertindak represif. Kalau benar seperti itu, pasti muncul kembali pertanyaan kuno: ”Dananya dari mana?”
Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo