Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF0000>Peganiayaan</font><br />Cakalele Berbuah Granat

Human Rights Watch melaporkan penganiayaan terhadap narapidana politik. Tidak menafikan kemajuan kehidupan demokrasi.

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOHNY Sinay tak bisa duduk tenang. Tangan pria 33 tahun itu menggenggam erat pegangan kursi, seraya sesekali mengelus kepala botaknya. ”Saya agak pusing,” katanya, ketika ditemui di ruang tunggu Kepala Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, pekan lalu.

Jika sudah pusing berat, narapidana politik yang divonis hukuman sepuluh tahun penjara ini langsung lumpuh bisa satu sampai dua pekan. Dalam ke adaan begitu, ia memakai kursi roda. Kelumpuhan temporer itu mulai dialami warga Aboru, Pulau Haruku, Maluku Tengah, ini sejak awal 2008.

Rambut Johny juga berguguran. Du lu, ketika ditangkap, rambutnya sebahu. Menurut dia, lumpuh dan botak ini akibat siksaan yang diterimanya selama ditahan di Kepolisian Resor Pulau Ambon, karena menari cakalele.

Ketika itu 29 Juni dua tahun lalu. Johny dan teman-temannya memba wa kan tarian tradisional cakalele dalam upacara peringatan Hari Keluarga Nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Lapangan Merdeka, Kota Ambon. Tanpa dinyana, mereka mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan.

Bersama sepuluh temannya, Johny digelandang ke markas kepolisian Pulau Ambon. Sejak itu, hampir setiap hari dalam sepekan, ia dan teman-temannya dianiaya. Mereka dipukuli dengan martil, kunci ban, gagang cangkul, dan pipa besi. Sasarannya mulai kaki hingga kepala.

Johny Sinay adalah satu dari enam narapidana politik Maluku yang kini mendekam di Lowokwaru. Pengalaman Johan Teterisa lain lagi. Setelah tarian heboh itu, ia dibawa ke Markas Densus 88, Kepolisian Daerah Maluku. Karena dianggap koordinator, guru ini dipisahkan dari teman-temannya.

Selama sebelas hari diinterogasi, Johan mengalami pelbagai aniaya. Pernah mulutnya disumpal granat, dengan ancaman akan diledakkan jika tak mau mengakui tuduhan polisi. Penyiksaan baru berhenti ketika ada kunjungan tim dari Markas Besar Kepolisian. Johan pun kini kerap pusing, dengan ”bonus” sesak napas.

Menurut Johan, akibat yang dia terima tak sepadan dengan tindakannya di Lapangan Merdeka, Ambon. ”Saya hanya mengajukan tesis negara merdeka kepada pemerintah,” kata pria 44 tahun itu kepada Tempo. ”Tapi yang saya dapati adalah perlakuan seperti binatang.”

Untuk pengibaran bendera itu, Johan diganjar hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Ambon. Di tingkat banding, hukuman itu turun menjadi 15 tahun, yang kemudian dikuatkan di tingkat kasasi.

Kisah Johny dan Johan yang ditemui Tempo itu juga tercantum dalam laporan Human Rights Watch yang bertajuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Priso ners dan terbit bulan lalu. Laporan yang risetnya dilakukan sepanjang Desember 2008 hingga Mei 2010 itu juga memuat kisah beberapa narapidana politik lain, terutama dari Maluku dan Papua.

Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia segera membebaskan narapidana politik yang kisahnya termaktub dalam laporan itu, termasuk Johan Teterisa dari Maluku serta Filep Karma dan Buchtar Tabuni dari Papua. ”Juga semua narapidana politik yang dipenjara karena mengekspresikan pandangan politik mereka dengan damai.”

Lembaga pemantau internasional itu tak menafikan kemajuan demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Tapi mereka menilai pemerintah masih menggunakan pasal makar terhadap aktivis pro kemerdekaan Papua dan Maluku yang menggelar aksi damai, seperti peng i baran bendera atau unjuk rasa.

Dalam catatan mereka, terdapat setidaknya seratus narapidana politik asal Papua dan Maluku yang kini mendekam di sejumlah penjara di Indonesia, dengan ganjaran hukuman sepuluh tahun atau lebih. Karena itu, mereka menyeru pemerintah Indonesia mengubah atau menghapus semua pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan untuk memenjarakan individu yang mengekspresikan pandangan politik dengan damai, seperti pasal 106 dan 110.

Lembaga internasional itu juga meminta pemerintah menyelidiki penyiksaan dan perlakuan buruk selama masa tahanan ataupun masa hukuman. Beberapa narapidana juga mengeluhkan minimnya bantuan perawatan kesehatan bagi yang sakit.

Misalnya yang dialami Filep Jacob Semuel Karma, yang dihukum 15 tahun penjara karena mengorganisasi aksi prokemerdekaan di Papua, 1 Desember 2004. Ia baru mendapat kesempatan menjalani operasi saluran kencing setelah didesak berbagai pihak, dan adanya bantuan dana. Ia mulai dirawat di Jakarta sejak pekan lalu.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim sepakat dengan Human Rights Watch. ”Pasal-pasal ini (106 dan 110 KUHP) memang tidak mengakomodasi perlindungan terhadap hak asasi,” katanya. ”Bagaimana orang yang mengerek bendera lalu dituduh makar? Itu terlalu jauh.” Pidana makar, katanya, harus memenuhi unsur pengorganisasian dengan kekuatan bersenjata.

Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Maluku Selatan Komisaris Besar Johannes Huwae membantah penyiksaan terhadap tahanan pe ngibaran bendera Republik Maluku Selatan dalam peringatan Hari Keluarga Nasional 2007. Ia menambahkan, petinggi Detasemen 88 dari Markas Besar Kepolisian datang ke Ambon untuk mengecek laporan penyiksaan. ”Tapi ternyata tidak ada,” katanya. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Abepura Liberty Sitinjak hanya memberikan jawaban samar. ”Jika memang terjadi, itu bukan di masa saya,” katanya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan Kementerian telah memerintahkan Kepala Badan Penelitian dan Pengem bangan Hak Asasi Manusia meneliti semua narapidana berlatar belakang politik. Mereka yang tidak melakukan tindak kriminal, hanya ikut-ikutan, bukan tokoh disintegrasi bangsa, bisa dibebaskan. ”Sudah saya bicarakan dengan Presiden untuk pemberian amnesti,” katanya, Jumat pekan lalu.

Sejauh ini, menurut dia, baru satu orang narapidana politik Papua yang memenuhi kriteria itu. Narapidana po litik dari Maluku masih dalam proses. Mengenai pasal makar, ”Selama undang-undangnya masih berlaku, sistem masih berjalan.”

Purwani Diyah Prabandari, Bibin Bintariadi (Malang), Mohtar Towe (Ambon), Cahyono E.P. (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus