Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Kalau bapaknya Golkar..."

16 komisariat dpc pdi kodya bandung mendirikan dpc tandingan. 82 tokoh pdi kodya bandung dipimpin tarwia sutendi protes ke dpp. mereka tidak bertanggung jawab atas calon-calon anggota dpr dan dprd. (nas)

29 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH terobosan yang diambil PDI dengan mengangkat sejumlah pekerja profesional dalam kepengurusannya, ternyata, belum bisa dijadikan jaminan. Setelah gagal "merayu" keluarga Bung Karno untuk memperkuat barisannya, perpecahan di daerah, sekalipun tak separah di PPP, tetap masih berlangsung. Dan bulan lalu, ujian berikutnya muncul dari Bandung. Kali ini tidak tanggung-tanggung: 26.328 warga PDI menyatakan diri masuk Golkar. PDI tampaknya tak mau kalah dengan NU, yang anggotanya akhir-akhir ini ramai-ramai masuk Golkar. Belum jelas benar, memang, apa yang mendorong mereka hengkang. Tapi, yang pasti, itu terjadi pertama kali pada 1 Oktober lalu ketika 82 tokoh PDI Kodya Bandung, yang dipimpin Tarwia Sutendi, melayangkan surat protes pada DPP. Dalam surat itu disebutkan Tarwia dan kawan-kawan tidak bertanggung jawab atas calon-calon anggota DPR, dan DPRD yang diajukan oleh DPD PDI Ja-Bar, dan DPC Kodya Bandung. "Karena pengajuan calon-calon itu tidak berdasarkan asas musyawarah mufakat," ujar Tarwia. Nah, ketika itulah PDI dipaksa menelan pil pahit. Empat belas ribu pendukungnya lari ke Golkar. Tidak hanya itu, seperti sengaja dikipas, surat protes itu dibacakan juga di Kecamatan Bandung Kulon dan Kecamatan Babakan Ciparay. Dari kedua kecamatan ini Tarwia kembali menyedot tenaga PDI hingga 12 ribu lebih. "Daripada suara warga PDI diberikan hanya untuk sekadar memenangkan calon-calon PDI, 'kan lebih baik menyalurkan aspirasinya ke Golkar," ujar Tarwia. Secara pribadi, wajar, memang, jika Tarwia bertindak demikian. Ia, yang memimpin DPC PDI Kodya sejak 1984, rupanya, merasa disingkirkan. Ini terjadi Agustus lalu ketika DPP PDI mengangkat Dodo Gandamihardia, sebagai penjabat sementara Ketua DPC Kodya, dengan alasan untuk mengatur kembali struktur komposisi personalia. Anehnya, sebagai ketua DPC saat itu, Tarwia juga tidak pernah diberi surat pemberhentian ataupun pemecatan. Benarkah demikian? Tarwia hanya beralasan, beberapa oknum PDI telah melakukan tindakan indisipliner, dengan tidak menggunakan sama sekali petunjuk pelaksanaan yang mengatur tata cara pengajuan calon anggota DPR. "Tindakan sengaja itu jelas menghilangkan hak anggota untuk menyampaikan aspirasi politiknya," ujarnya. Dan karena "tikus" di tubuh PDI sudah terlalu banyak, "Untuk menjaga eksistensinya, sementara PDI harus dibumihanguskan," ujarnya lebih lanjut. Entah bagaimana sebenarnya maksud Tarwia dengan "bumi hangus"-nya. Yang jelas, akibat ulahnya, Tarwia, dan Ganjar Karna, Kepala Sekretariat DPC PDI Kodya, salah seorang pendukungnya, dipecat dari keanggotaan partai. Maksudnya, tentu, agar aksi yang dilancarkan Tarwia cs segera terhenti. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Enam belas Komisariat PDI yang ada di Kodya Bandung malah berdiri di belakang Tarwia. Bukan sekadar sebagai tokoh, tapi juga sebagai ketua DPC. Ini menunjukkan bukan hanya pengurus DPC dan DPD saja yang ditentang mereka, tapi juga keputusan DPP yang mengangkat Dodo. Tidak hanya sampai di situ, para komisaris dari 16 komisariat itu juga sepakat mendirikan Sekretariat Bersama. "Ini bukan DPC Tandingan, tapi hanya untuk sekadar memudahkan koordinasi, sekaligus sebagai jawaban atas tindakan mereka," kilahnya. Dan Tarwia, tampaknya, memperoleh dukungan penuh, "Kami lebih baik dicap sebagai pengkhianat partai daripada mengkhianati bangsa dengan kedok PDI," ujar salah seorang tokoh pendukung Tarwia. Sayangnya, tantangan perang yang dilancarkan tidak memperoleh sambutan hangat. "Tarwia bukan ancaman bagi PDI. Ia bertindak demikian karena frustrasi," kata Edi Djunaedi, Ketua Fraksi PDI DPRD Ja-Bar. Edi menganggap Tarwia hanya seorang petualang. Ini terlihat, setelah beberapa hari munculnya pernyataan protes, ada beberapa warga PDI yang melaporkan namanya dicatut Tarwia. Makanya itu tidak perlu ditanggapi secara serius, kata Edi lagi. Tanggapan yang sama juga dikemukakan beberapa tokoh PDI Ja-Bar, termasuk Ketua DPD PDI Ja-Bar, Dudy Singadilaga. "Pemilu belum berlangsung. Hari D-lah nanti yang menentukan, dan pemilu itu jangan lupa bersifat luber," katanya. Memang tak jelas benar motivasi para anggota PDI Bandung yang suk Golkar itu. Namun, ramainya dukungan terhadap Pak Harto agar bersedia dipilih kembali sebagai presiden dari berbagai ormas di televisi, akhir-akhir ini, ternyata turut mengilhami pula pelajar SMA untuk bikin pernyataan serupa dan sekaligus masuk Golkar. "Nah, kalau orang-orang ramai bikin pernyataan, kenapa kami tidak," ucap Madkur, Ketua OSIS SMA Negeri Talaga, yang bersama sejumlah sekolah lainnya bikin pernyataan di depan Bupati Majalengka, awal November lalu. Diarahkan? Tentu saja. "Kami ini 'kan Korpri. Kalau bapaknya berdiri di bawah bendera Golkar, masa anak-anaknya tidak. Pokoknya, pengarahan itu selalu disesuaikan dengan kebijaksanaan-kebiJaksanaan dari ataslah," ucap Drs. Achmad Dase, 51, Kepala Sekolah SMA Talaga. Lebih spesifik lagi adalah alasan para murid PGA Negeri Talaga. Murid-murid sekolah guru agama itu rupanya belajar dari pengalaman Pemilu 1982. "Saya lihat, para alumni yang ketika itu tak aktif mendukung Golkar, ternyata, susah sekali menjadi pegawai negeri. Dengan pernyataan ini, tuduhan orang pun bahwa PGA itu identik PPP juga hapus," ucap Ending Sakhudin, 19, siswa kelas III PGA Talaga. Bagi calon guru agama itu, dicap PPP membuat mereka sukar jadi pegawai negeri. "Masa depan kami adalah jadi guru di sekolah negeri. Maka, mulai sekarang kami akan selalu menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah, kira-kira begitulah garis besar tujuan kami membuat ikrar kebulatan tekad itu," ucap Abdul Halim, 20, Ketua OSIS PGAN Talaga. Pada pemilu sebelumnya, sekolah itu tak pernah membikin pernyataan. Akibatnya, ketiga kontestan pemilu itu, menurut Solehudin, B.A., guru pembina OSIS PGN Talaga, berebut pengaruh. "Sekarang para murid sudah menentukan sikap mendukung Golkar, maka kami pun para guru bisa tenang," katanya. Lagi pula, menurut Solehudin, memilih Golkar cukup beralasan. "Karena itu konsisten dengan Korpri, maka kami setujui saja," katanya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus