TAMPAKNYA, tak selalu mudah memahami bagaimana para wartawan bekerja. Tak heran bila penerbitan pers sering menimbulkan salah paham. Apalagi dari orang penting, resmi atau tak resmi, yang - karena penting -- biasa jadi bahan pemberitaan. Karena itulah TEMPO berusaha meningkatkan komunikasinya dengan calon sumber berita atau pihak-pihak yang mau tak mau bersentuhan -- atau berhubungan langsung -- dengan kerja jurnalisme. Khususnya dengan cara kerja kami. Tentu banyak sudah kami menimbulkan salah sangka, di samping telah banyak menyenangkan hati dan memberi informasi. Maklum, kerja pers lain dengan kerja "kantor" yang lazim. Dalam rangka itulah kami senang hati bila menerima kunjungan. Bahkan kami tak jarang mengundang, selama waktu mengizinkan. Dua pekan lalu, misalnya, telah datang ke kantor TEMPO Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, Sukarno, S.H. Pak Karno merupakan pejabat tinggi pertama yang menyempatkan waktu mengunjungi kantor kami yang baru. Tujuannya adalah beranjangsana. "Pak Dirjen kami undang, dan di tengah kesibukannya bersedia datang," kata Lukman Setiawan, direktur investasi, yang dulu dikenal sebagal wartawan senior olah raga TEMPO. Dirjen PPG hari itu ditemani juga oleh Eric Samola, pemimpin umum TEMPO, Harjoko Trisnadi, pemimpin usaha, dan Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi. Dari pihak Deppen bukan kali ini saja kunjungan ke TEMPO dilakukan. Dalam masa penelitian ke arah persiapan SIUPP dulu, ketika kami masih di Pusat Perdagangan Senen tempo hari, telah datang ke TEMPO Drs. Tjuk Atmadi, pejabat tinggi yang kini diserahi memimpin penelitian dan pengembangan di Deppen. Dalam pelbagai komunikasi ini tampak sekali bahwa di antara orang pemerintah yang memahami betul persoalan penerbitan pers, ya, mereka yang di Deppen itulah, yang telah bergaul dengan dunia jurnalistik dari tahun ke tahun, dari masa ke masa. Termasuk kesulitan-kesulitan kami. Pembaca sering bertanya: apakah TEMPO sering menerima "telepon"? Artinya, pesan agar jangan memuat ini dan itu? Dalam catatan kami, "telepon" semacam itu jarang sekali -- rata-rata, dalam suasana tenang seperti sekarang -- tak sampai tiga bulan sekali. Dan biasanya tentang peristiwa yang memang baik kami sendiri tak layak diberitakan. Misalnya insiden kecil di sebuah kota yang bisa menimbulkan kerusuhan rasial yang luas, jika ditaruh di luar proporsi. Mungkin karena kebetulan majalah ini sebuah majalah mingguan. Sebagai mingguan, kami memang harus lebih selektif. Sebagai mingguan, kami juga sedikit lebih punya waktu buat mencerna berita, melengkapinya, dan mengeceknya. Sebagai mingguan, dampak pemberitaan kami juga lebih "adem", karena pada saat TEMPO sampai ke pasar, banyak kejadian "panas" sudah reda. Atau orang lebih punya waktu buat berpikir. Itu tak berarti TEMPO bisa terus-menerus tanpa cacat. Yang tak bisa kami hindarkan tentu saja bila ada persepsi yang berbeda dalam menanggapi sebuah berita kami. Maklum, manusia tak mudah lepas dari perasaan-perasaan subyektif. Sebab itulah kami menganggap dialog perlu -- dan tak membiarkan salah sangka. Kunjungan seperti dilakukan Dirjen PPG karena itu bagi kami menggembirakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini