SOEDJATMOKO, bekas Dubes RI untuk AS dan kini penasihat
Bappenas, dipilih oleh Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay untuk
menerima hadiah terkemuka dari Filipina itu pekan lalu.
Tulisan-tulisannya -- terutama yang ia kemukakan dalam tulisan
National Policy Implications of the Basic Needs Model- -
dianggap sebagai "sumbangan berharga kepada pemikiran
internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar
masa kini, yakni: bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar
40% rakyat di Asia Tenggara dan Selatan yang merupakan lapisan
paling miskin.
Soedjatmoko (dipanggil Intim, "Koko") sendiri melihat pilihan
Yayasan Magsaysay atas dirinya "bukan karena saya, tapi karena
perhatian mereka yang kini sedang ke arah masalah kemiskinan."
"Kebetulan saya yang dipilih," katanya.
Ia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang
hadiah yang sekitar Rp 8 juta itu. "Saya sendiri belum pernah
memiliki uang yang sebanyak itu," katanya setelah terdiam.
Umurnya kini 56 tahun. Ia merupakan orang Indonesia ke-7 yang
mendapatkan penghargaan ini. Yang pertama Koesna Poeradiredja,
tokoh perburuhan PBSI (Persatuan Buruh Seluruh Indonesia) di
tahun 1950-an, kini tinggal di Bandung, lalu Dr Kodyat, ahli
penyakit Patek, Mochtar Lubis, kemudian Ali Sadikin, Benyamin
Galstaun (Direktur Kebun Binatang Ragunan, Jakarta), dan Hans
Westenberg (Petani di Sumatera Utara).
Di antara kesibukannya menerima tamu dan ucapan selamat (antara
lain satu karangan bunga dari Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef),
Koko meluangkan satu jam waktunya buat wawancara dengan TEMPO
seperti di bawah ini:
Apa sebenarnya hal yang baru, yang anda kemukakan dalam tulisan
'National Policy Implications of the Basic Needs Model " itu?
Bagian pertama tulisan saya itu tidak baru. Dia hanya
mengumpulkan bahan-bahan tentang program dan eksperimen yang
sudah ada dan sudah dijalankan di berbagai bidang dan di
berbagai tempat di Asia, Amerika Selatan dan di Afrika, termasuk
di Indonesia, tapi yang hingga kini masih berserakan di dalam
macam-macam laporan dan studi.
Di dalam bagian kedua, saya mencoba menempatkan pendekatan
kebutuhan pokok itu di dalam kerangka
kebijaksanaan-kebijaksanaan makro pada tingkat nasional, dan
mencoba menguraikan implikasi-implikasi ekonomi, politik dan
ideologis-nya, termasuk juga kaitan dengan peruhahan-perubahan
strukturil di negara industri yang perlu dilakukan bersamaan
dengan pendekatan kebutuhan pokok manusia, agar masaalah
kemiskinan di Dunia ke Tiga dapat ditangani dengan berhasil.
Hal-hal ini saya kira, adalah sesuatu yang belum dilakukan
sebelumnya, dan dapat dianggap baru.
Dalam naskah anda, disehutkan bahwa matriks agama dan kebudayaan
itu bisa membangkitkan aktivitas sosial, untuk membatasi pola
hidup yang konsumptif. Bi..akah anda menjelaskan lebih jauh?
Perilaku setiap manusia atau kelompok manusia ditentukan oleh
jawaban yang dia berikan atas masalah-masalah pokok yang
dihadapinya di dalam hidup manusia, seperti maut, kewajiban dan
kesetiaan, hutang budi, kasih dan tragedi. Kebudayaan, dan
lebih lagi agama, dapat dilihat sebagai pola jawaban terhadap
masalah-masalah itu.
Kepastian jawaban itu merupakan syarat bagi suatu bangsa dalam
dia menangani usaha-usaha besar. Dengan perkataan lain, suatu
bangsa tidak dapat menangani suatu usaha yang besar, kecuali
kalau dia melihat dengan terang makna moril usaha itu. Kalau
moralitas tujuan dan sarana usaha itu jelas, maka terbukalah
sumber motivasi yang maha besar yang dapat mendinamisasikan
suatu masyarakat.
Setelah Dunia ke tiga bereksperimentasi lebih dari 20 tahun
dalam usaha-usaha pembangunan yang dilihat secara materiil dan
sekuler semata-mata, maka sekarang mulai tampak usaha-usaha
untuk menempatkan usaha pembangunan dalam perspektif moril dan
sakral. Kita dapat melihat pencairan ke arah itu sedikit
banyaknya di Bangladesh, tapi juga di dalam berbagai proyek
swasta yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi agama
Hindu, Buddha, atau organisasi seperti Sarwadhaya di bidang
pembangunan desa di India dan Sri Lanka. Sebelum desa-desa yang
bersangkutan itu mulai usaha pembangunannya, maka seluruh desa
melakukan suatu upacara pensucian untuk mempertandakan
komitmen-nya pada usaha pembangunan tadi.
Pembangunan di Bangladesh, suatu negara yang mayoritasnya
beragama Islam, diusahakan sebagai sesuatu yang hayati oleh
suatu konsepsi Islam tentang manusia. Membicarakan hal ini
dengan seorang Menteri di Dacca, dia mengingatkan kita bahwa
Tuhan menciptakan manusia dan memberi kepadanya pikiran dan
perasaan. Manusia diciptakan juga untuk menjadi Kalifah Allah di
atas bumi. Maka kata Menteri tadi, kalau demikian maksud Ilahi
dalam menciptakan manusia, mengapa kita miskin. Usaha untuk
mengatasi kemiskinan, yaitu usaha pembangunan adalah untuk
memenuhi salah satu maksud Tuhan dalam menciptakan manusia.
Waktu saya mendengar uraian ini, termenung dan terharu saya
karena, biarpun saya mengenal kedua ayat yang bersangkutan,
saya tidak pernah sebelumnya menggabungkannya dengan usaha
pembangunan ini.
Apakah dalam agama-agama di Indonesia ada sumber inspirasi
semacam itu?
Bukan di Indonesia saja, tapi boleh dikatakan di seluruh Dunia
ke Tiga kita saksikan suatu reaksi terhadap materialisme,
komersialisme dan kerakusan yang sepertinya selalu menyertai
usaha pembangunan. Reaksi itu adalah reaksi moril dan religius.
Yang kita sekarang lihat adalah gejala manusia mencari pegangan
atau jangkar moril supaya dia tidak terhanyut sebagai manusia
yang berahlak dalam arus pembangunan. Maka banyak orang Islam,
baik tua maupun muda, berusaha untuk lebih sungguh-sungguh
menghayati agamanya, begitupun orang Kristen dan orang aliran
kejawen.
Dan memang agama-agama besar mau pun aliran kepercayaan semua
diminta penafsiran ketentuan agama dan kepercayaan yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan moril masa kini.
Apakah menurut anda penafsiran yang menganjurkan etik Islam
sebagai ethos entrepreneurial masih cocok dengan kebutuhan yang
ada sekarang?
Saya kira bahwa yang terpenting dalam hubungan ini ialah bukan
etika Islam-nya, melainkan pengamatan sehari-hari bahwa orang
yang beriman biasanya lebih besar keberanian hidupnya. Apa pun
kelemahan pesantren dan madrasah di bidang pengetahuan modern,
kenyataannya ialah bahwa lembaga-lembaga ini sepanjang masa
hidupnya telah menghasilkan manusia-manusia yang sanggup berdiri
di atas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri.
Maka harus disayangkan bahwa usaha untuk menyamakan madrasah
dengan sekolah-sekolah modern di beberapa tempat telah
mengakibatkan lebih banyak murid cenderung menjadi pegawai
negeri. Seolah-olah mulai hilang sifat unik itu di dalam
madrasah yang disamakan itu. Persoalan sekarang ialah, bagaimana
penyamaan itu dapat dilakukan tanpa mengurangi kesanggupan untuk
berdlri sendiri.
Adapun ethos entrepreneurial, berkembangnya pengusaha kecil
Islam dari berbagai suku bangsa di Indonesia, menunjukkan pada
pentingnya ketika Islam sebagai motivasi di dunia usaha.
Kesulitan yang dihadapi para pengusaha kecil ini untuk menjadi
perusahaan besar yang modern menurut anggapan saya tidak
terletak pada etika itu sendiri.
Dalam hal ini berlainan pendapat saya dengan Clifford Geert di
dalam bukunya Peddlers and Princes. Kesulitan bagi usaha
kecil tradisionil untuk meloncat ke tingkat usaha swasta modern
tidak hanya dialami oleh pengusaha Islam. Kesulitan itu juga
dialami oleh usaha-usaha-keluarga tradisionil Cina di Singapura
yang bidang usahanya sekarang sering terancam oleh pengusaha
Cina modern, yang berpendidikan dalam bahasa Inggeris dan telah
mempelajari ilmu management modern.
Tampaknya kemampuan management untuk memegang perusahaan besar
bergandengan dengan pendidikan dan pengalaman dalam
birokrasi-birokrasi modern yang besar, dan hal itu tidak ada
urusannya dngan etika Islam.
Sebaliknya saya yakin antara entrepreneurial spirit -- jiwa
kewiraswastaan dan etika Islam ada suatu kaitan positif. Perlu
ditambahkan bahwa bukan saja dengan etika agama Islam kaitan itu
bersifat positif. Juga dengan etik berbagai agama lain.
Apakah sikap itu bisa menunjukkan suatu ethos yang menahan diri,
ataukah bisa menjelma jadi sebaliknya?
Di dalam Islam kan ada ketentuan untuk tidak hidup
berlebih-lebihan umat Islam disebut sebagai umatan wasatan,
atau Bangsa Tengah, yang harus mencoba mengimbangi kehidupan
materiil dan non-materiil. Maka seharusnya agama Islam memberi
suatu sense of proportion kepada penganutnya dalam gaya hidup
dan pola konsumsinya.
Namun meskipun demikian, kalau kita melihat kepada sejarah
kerajaan-kerajaan jaman dahulu seperti Mogul di India, mewah
hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sejarah suatu
agama, bahkan semua agama, wajah budaya yang ditampilkan dalam
masa sejarah tertentu bisa berbeda-beda.
Maka di dalam sejarah senantiasa terdapat ketegangan antara
penjelmaan kebudayaan yang berakar pada ketentuan-ketentuan
agama, dan yang sering mencerminkan kecenderungan manusia untuk
hanyut dalam kehidupan duniawi, dan panggilan dari agama untuk
kembali kepada jalan yang lurus.
Apakah peranan lembaga politik di perlukan dalam hal ini?
Setiap agama menganjurkan untuk beramal. Membantu orang miskin
adalah kewajiban dalam perilaku pribadi manusia. Kesadaran
sekarang di hampir seluruh dunia bahwa kemiskinan itu bukan
sekedar nasib malang seseorang yang dapat ditampung dengan amal
orang lain, melainkan bahwa kemiskinan untuk sebagian besar
strukturil sifatnya, merupakan tantangan baru bagi semua agama.
Kemampuan untuk mengadakan perubahan strukturil adalah pada
lembaga politik.
Masalah yang sekarang dihadapi oleh setiap agama ialah bagaimana
menunaikan tanggung jawab moril untuk mengatasi kemiskinan itu
tanpa mencampur-baurkan dalam cara-cara penunaian tanggung jawab
itu, bidang kehidupan rohani dan bidang kehidupan politik dan
sejarah.
Dalam keterbatasan sumber dan waktu, apakah soal hak asasi jadi
relevan untuk dipersoalkan?
Ada banyak yang beranggapan tidak relevan, karena urgensinya
untuk memenuhi keperluan-keperluan jasmaniah. Tapi kalau jalan
itu ditempuh, kita sampai kepada Kebon Binatang, di mana semua
kebutuhan pokok lahiriah dipenuhi. Maka kebebasan merupakan
suatu kebutuhan pokok manusia tersendiri, yang sama tingkatnya
dengan kebutuhan pokok jasmaniah.
Di samping itu, sekarang ternyata bahwa usaha untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia tidak dapat berhasil tanpa partisipasi
aktif, sukarela dan terus menerus dari golongan miskin sendiri.
Dinamik sosial dan gairah swadaya golongan miskin di desa maupun
di kota itu hanya bisa berkembang di dalam suatu lingkungan di
mana hak-hak asasi dihormati.
Demikian koperasi tidak akan berkembang sebagai wadah swadaya
masyarakat tanpa adanya kebebasan anggota-anggotanya untuk
memilih pemimpinnya sendiri dan tanpa kesempatan -- di dalam
batas-batas hukum -- untuk membuat kesalahan sebagai uang
pelajaran. Karena itu, bukan saja hak-hak asasi relevan untuk
pembangunan, dia tidak bisa dipisahkan dari pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini