Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Kita Saksikan Suatu Reaksi "

Wawancara Tempo dengan Soedjatmoko mengenai tulisannya yang berjudul National Policy Implication Of The Needs model. (nas)

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEDJATMOKO, bekas Dubes RI untuk AS dan kini penasihat Bappenas, dipilih oleh Yayasan Hadiah Ramon Magsaysay untuk menerima hadiah terkemuka dari Filipina itu pekan lalu. Tulisan-tulisannya -- terutama yang ia kemukakan dalam tulisan National Policy Implications of the Basic Needs Model- - dianggap sebagai "sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni: bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40% rakyat di Asia Tenggara dan Selatan yang merupakan lapisan paling miskin. Soedjatmoko (dipanggil Intim, "Koko") sendiri melihat pilihan Yayasan Magsaysay atas dirinya "bukan karena saya, tapi karena perhatian mereka yang kini sedang ke arah masalah kemiskinan." "Kebetulan saya yang dipilih," katanya. Ia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang hadiah yang sekitar Rp 8 juta itu. "Saya sendiri belum pernah memiliki uang yang sebanyak itu," katanya setelah terdiam. Umurnya kini 56 tahun. Ia merupakan orang Indonesia ke-7 yang mendapatkan penghargaan ini. Yang pertama Koesna Poeradiredja, tokoh perburuhan PBSI (Persatuan Buruh Seluruh Indonesia) di tahun 1950-an, kini tinggal di Bandung, lalu Dr Kodyat, ahli penyakit Patek, Mochtar Lubis, kemudian Ali Sadikin, Benyamin Galstaun (Direktur Kebun Binatang Ragunan, Jakarta), dan Hans Westenberg (Petani di Sumatera Utara). Di antara kesibukannya menerima tamu dan ucapan selamat (antara lain satu karangan bunga dari Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef), Koko meluangkan satu jam waktunya buat wawancara dengan TEMPO seperti di bawah ini: Apa sebenarnya hal yang baru, yang anda kemukakan dalam tulisan 'National Policy Implications of the Basic Needs Model " itu? Bagian pertama tulisan saya itu tidak baru. Dia hanya mengumpulkan bahan-bahan tentang program dan eksperimen yang sudah ada dan sudah dijalankan di berbagai bidang dan di berbagai tempat di Asia, Amerika Selatan dan di Afrika, termasuk di Indonesia, tapi yang hingga kini masih berserakan di dalam macam-macam laporan dan studi. Di dalam bagian kedua, saya mencoba menempatkan pendekatan kebutuhan pokok itu di dalam kerangka kebijaksanaan-kebijaksanaan makro pada tingkat nasional, dan mencoba menguraikan implikasi-implikasi ekonomi, politik dan ideologis-nya, termasuk juga kaitan dengan peruhahan-perubahan strukturil di negara industri yang perlu dilakukan bersamaan dengan pendekatan kebutuhan pokok manusia, agar masaalah kemiskinan di Dunia ke Tiga dapat ditangani dengan berhasil. Hal-hal ini saya kira, adalah sesuatu yang belum dilakukan sebelumnya, dan dapat dianggap baru. Dalam naskah anda, disehutkan bahwa matriks agama dan kebudayaan itu bisa membangkitkan aktivitas sosial, untuk membatasi pola hidup yang konsumptif. Bi..akah anda menjelaskan lebih jauh? Perilaku setiap manusia atau kelompok manusia ditentukan oleh jawaban yang dia berikan atas masalah-masalah pokok yang dihadapinya di dalam hidup manusia, seperti maut, kewajiban dan kesetiaan, hutang budi, kasih dan tragedi. Kebudayaan, dan lebih lagi agama, dapat dilihat sebagai pola jawaban terhadap masalah-masalah itu. Kepastian jawaban itu merupakan syarat bagi suatu bangsa dalam dia menangani usaha-usaha besar. Dengan perkataan lain, suatu bangsa tidak dapat menangani suatu usaha yang besar, kecuali kalau dia melihat dengan terang makna moril usaha itu. Kalau moralitas tujuan dan sarana usaha itu jelas, maka terbukalah sumber motivasi yang maha besar yang dapat mendinamisasikan suatu masyarakat. Setelah Dunia ke tiga bereksperimentasi lebih dari 20 tahun dalam usaha-usaha pembangunan yang dilihat secara materiil dan sekuler semata-mata, maka sekarang mulai tampak usaha-usaha untuk menempatkan usaha pembangunan dalam perspektif moril dan sakral. Kita dapat melihat pencairan ke arah itu sedikit banyaknya di Bangladesh, tapi juga di dalam berbagai proyek swasta yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi agama Hindu, Buddha, atau organisasi seperti Sarwadhaya di bidang pembangunan desa di India dan Sri Lanka. Sebelum desa-desa yang bersangkutan itu mulai usaha pembangunannya, maka seluruh desa melakukan suatu upacara pensucian untuk mempertandakan komitmen-nya pada usaha pembangunan tadi. Pembangunan di Bangladesh, suatu negara yang mayoritasnya beragama Islam, diusahakan sebagai sesuatu yang hayati oleh suatu konsepsi Islam tentang manusia. Membicarakan hal ini dengan seorang Menteri di Dacca, dia mengingatkan kita bahwa Tuhan menciptakan manusia dan memberi kepadanya pikiran dan perasaan. Manusia diciptakan juga untuk menjadi Kalifah Allah di atas bumi. Maka kata Menteri tadi, kalau demikian maksud Ilahi dalam menciptakan manusia, mengapa kita miskin. Usaha untuk mengatasi kemiskinan, yaitu usaha pembangunan adalah untuk memenuhi salah satu maksud Tuhan dalam menciptakan manusia. Waktu saya mendengar uraian ini, termenung dan terharu saya karena, biarpun saya mengenal kedua ayat yang bersangkutan, saya tidak pernah sebelumnya menggabungkannya dengan usaha pembangunan ini. Apakah dalam agama-agama di Indonesia ada sumber inspirasi semacam itu? Bukan di Indonesia saja, tapi boleh dikatakan di seluruh Dunia ke Tiga kita saksikan suatu reaksi terhadap materialisme, komersialisme dan kerakusan yang sepertinya selalu menyertai usaha pembangunan. Reaksi itu adalah reaksi moril dan religius. Yang kita sekarang lihat adalah gejala manusia mencari pegangan atau jangkar moril supaya dia tidak terhanyut sebagai manusia yang berahlak dalam arus pembangunan. Maka banyak orang Islam, baik tua maupun muda, berusaha untuk lebih sungguh-sungguh menghayati agamanya, begitupun orang Kristen dan orang aliran kejawen. Dan memang agama-agama besar mau pun aliran kepercayaan semua diminta penafsiran ketentuan agama dan kepercayaan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan moril masa kini. Apakah menurut anda penafsiran yang menganjurkan etik Islam sebagai ethos entrepreneurial masih cocok dengan kebutuhan yang ada sekarang? Saya kira bahwa yang terpenting dalam hubungan ini ialah bukan etika Islam-nya, melainkan pengamatan sehari-hari bahwa orang yang beriman biasanya lebih besar keberanian hidupnya. Apa pun kelemahan pesantren dan madrasah di bidang pengetahuan modern, kenyataannya ialah bahwa lembaga-lembaga ini sepanjang masa hidupnya telah menghasilkan manusia-manusia yang sanggup berdiri di atas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri. Maka harus disayangkan bahwa usaha untuk menyamakan madrasah dengan sekolah-sekolah modern di beberapa tempat telah mengakibatkan lebih banyak murid cenderung menjadi pegawai negeri. Seolah-olah mulai hilang sifat unik itu di dalam madrasah yang disamakan itu. Persoalan sekarang ialah, bagaimana penyamaan itu dapat dilakukan tanpa mengurangi kesanggupan untuk berdlri sendiri. Adapun ethos entrepreneurial, berkembangnya pengusaha kecil Islam dari berbagai suku bangsa di Indonesia, menunjukkan pada pentingnya ketika Islam sebagai motivasi di dunia usaha. Kesulitan yang dihadapi para pengusaha kecil ini untuk menjadi perusahaan besar yang modern menurut anggapan saya tidak terletak pada etika itu sendiri. Dalam hal ini berlainan pendapat saya dengan Clifford Geert di dalam bukunya Peddlers and Princes. Kesulitan bagi usaha kecil tradisionil untuk meloncat ke tingkat usaha swasta modern tidak hanya dialami oleh pengusaha Islam. Kesulitan itu juga dialami oleh usaha-usaha-keluarga tradisionil Cina di Singapura yang bidang usahanya sekarang sering terancam oleh pengusaha Cina modern, yang berpendidikan dalam bahasa Inggeris dan telah mempelajari ilmu management modern. Tampaknya kemampuan management untuk memegang perusahaan besar bergandengan dengan pendidikan dan pengalaman dalam birokrasi-birokrasi modern yang besar, dan hal itu tidak ada urusannya dngan etika Islam. Sebaliknya saya yakin antara entrepreneurial spirit -- jiwa kewiraswastaan dan etika Islam ada suatu kaitan positif. Perlu ditambahkan bahwa bukan saja dengan etika agama Islam kaitan itu bersifat positif. Juga dengan etik berbagai agama lain. Apakah sikap itu bisa menunjukkan suatu ethos yang menahan diri, ataukah bisa menjelma jadi sebaliknya? Di dalam Islam kan ada ketentuan untuk tidak hidup berlebih-lebihan umat Islam disebut sebagai umatan wasatan, atau Bangsa Tengah, yang harus mencoba mengimbangi kehidupan materiil dan non-materiil. Maka seharusnya agama Islam memberi suatu sense of proportion kepada penganutnya dalam gaya hidup dan pola konsumsinya. Namun meskipun demikian, kalau kita melihat kepada sejarah kerajaan-kerajaan jaman dahulu seperti Mogul di India, mewah hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sejarah suatu agama, bahkan semua agama, wajah budaya yang ditampilkan dalam masa sejarah tertentu bisa berbeda-beda. Maka di dalam sejarah senantiasa terdapat ketegangan antara penjelmaan kebudayaan yang berakar pada ketentuan-ketentuan agama, dan yang sering mencerminkan kecenderungan manusia untuk hanyut dalam kehidupan duniawi, dan panggilan dari agama untuk kembali kepada jalan yang lurus. Apakah peranan lembaga politik di perlukan dalam hal ini? Setiap agama menganjurkan untuk beramal. Membantu orang miskin adalah kewajiban dalam perilaku pribadi manusia. Kesadaran sekarang di hampir seluruh dunia bahwa kemiskinan itu bukan sekedar nasib malang seseorang yang dapat ditampung dengan amal orang lain, melainkan bahwa kemiskinan untuk sebagian besar strukturil sifatnya, merupakan tantangan baru bagi semua agama. Kemampuan untuk mengadakan perubahan strukturil adalah pada lembaga politik. Masalah yang sekarang dihadapi oleh setiap agama ialah bagaimana menunaikan tanggung jawab moril untuk mengatasi kemiskinan itu tanpa mencampur-baurkan dalam cara-cara penunaian tanggung jawab itu, bidang kehidupan rohani dan bidang kehidupan politik dan sejarah. Dalam keterbatasan sumber dan waktu, apakah soal hak asasi jadi relevan untuk dipersoalkan? Ada banyak yang beranggapan tidak relevan, karena urgensinya untuk memenuhi keperluan-keperluan jasmaniah. Tapi kalau jalan itu ditempuh, kita sampai kepada Kebon Binatang, di mana semua kebutuhan pokok lahiriah dipenuhi. Maka kebebasan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia tersendiri, yang sama tingkatnya dengan kebutuhan pokok jasmaniah. Di samping itu, sekarang ternyata bahwa usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia tidak dapat berhasil tanpa partisipasi aktif, sukarela dan terus menerus dari golongan miskin sendiri. Dinamik sosial dan gairah swadaya golongan miskin di desa maupun di kota itu hanya bisa berkembang di dalam suatu lingkungan di mana hak-hak asasi dihormati. Demikian koperasi tidak akan berkembang sebagai wadah swadaya masyarakat tanpa adanya kebebasan anggota-anggotanya untuk memilih pemimpinnya sendiri dan tanpa kesempatan -- di dalam batas-batas hukum -- untuk membuat kesalahan sebagai uang pelajaran. Karena itu, bukan saja hak-hak asasi relevan untuk pembangunan, dia tidak bisa dipisahkan dari pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus