BANYAK bekas Menteri yang ternyata masih "dipakai". Seperti
tampak Kamis pagi pekan lalu di Istana Negara. Ada bekas Menteri
Agama Mukti Ali, bekas Menteri Kesehatan GA Siwabessy, bekas
Menteri P dan K Sjarif Thajeb, bekas Menteri Kesra Soenawar
Soekowati, bekas Menteri Pertanian Thojib Hadiwidjaja. Pagi itu
mereka dilantik sebagai anggota DPA yang baru. Pengambilan
sumpah dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji.
Bekas Menteri PUTL Sutami berhalangan hadir, juga anggota DPA
lama yang diangkat kembali, Achmad Sukarmadidjaja. Yang juga
diangkat kembali adalah Harsono Tjokroaminoto, Letjen M.M.R.
Kartakusumah, Dr. H. Koesnadi, Rusli Halil, Brigjen Purn.
Sutoko.
Selain 6 bekas Menteri dan 6 bekas anggota DPA lama, ada 21
orang lagi yang diangkat hingga semuanya meliputi 33 orang -- 6
orang lebih banyak dari jumlah keanggotaan DPA lama yang 27
orang. Di antaranya terdapat bekas Ketua dan Wakil Ketua DPR-MPR
Idham Chalid dan John Naro. Juga ada Alexander Wenas dan R.G.
Doeriat, keduanya dari PDI, yang tampaknya dianggap lebih
mewakili unsur Kristen dan Katolik.
Dari unsur alim-ulama Islam tampak K.H. Badaruddin dari
Pesantren Kalimantan Selatan dan K.H. Muhmmad Sowwam dari
Semarang. Wakil ABRI tampaknya bisa diwakili oleh lima orang
perwira tinggi purnawirawan: Majen Andi Mattalatta (yang selama
ini diperbantukan di Kowilhan III), Majen Bambang Utojo, bekas
KASAD yang kini salah seorang pengurus Legiun Veteran, Majen dr.
Soejono yang masih bertugas di Pusat Pembinaan Mental ABRI,
Marsdya Sri Bimo Ariotedjo, bekas Dubes RI di Manila dan Letjen
G.P.H. Djatikusumo, ketua Pepabri.
Berbeda dari DPA lama yang beranggotakan seorang wanita, Ny.
Artati Sudirdjo, dalam DPA baru ini ada Ny. Rusiah Sardjono,
yang selama ini sebagai Sekjen Departemen Sosial dan Ny. Salyo
SH, tokoh pergerakan wanita. Ada pula cendekiawan: Prof. dr.
Ismarun seorang dosen dari Yogya dan seorang tokoh CSIS, Harry
Tjan Silalahi SH, 44 tahun.
Ada lagi Moh. Hasan, bekas Kapolri dan terakhir Dubes RI di
Malaysia, bekas Gubernur Jawa Barat Mashudi, bekas Wakil
Gubernur DKI A. Wiriadinata dan bekas Walikota Jakarta Raya,
Sudiro. Dua tokoh masyarakat lainnya: Ki Mohammad Said yang
lebih dikenal sebagai sesepuh Perguruan Taman Siswa dan R.M.
Soehando Sastrosadarpo, pegawai teras Departemen Pertanian.
Dalam kata sambutannya Presiden Soeharto antara lain menyatakan
kepercayaannya bahwa dengan jumlah dan komposisi yang mencakup
unsur-unsur masyarakat, dengan personalia "yang memiliki latar
belakang pengetahuan dan pengalaman yang luas," DPA akan sangat
membantu Presiden, "menyampaikan usul, saran dan pertimbangan,
baik diminta atau tidak." Sebelumnya, Presiden mengakui "masih
banyak kekurangan-kekurangan" dan menyadari tugas-tugasnya yang
semakin tidak ringan.
Beberapa anggota belum lagi tahu apa yang bakal mereka perbuat.
Seperti Rusiah Sardjono yang baru diberi tahu tentang
pengangkatannya sebagai anggota DPA dengan sekonyong-konyong
"Baru kemarin malam," ujarnya.
Bagi Mohamad Said sudah jelas. "Bidang saya adalah pendidikan.
Itulah nanti yang akan saya berikan saran-sarannya," katanya.
Soenawar Soekowati merasa masih ada beberapa hal yang belum
tergarap pada saat menjabat Menteri Kesra. Sedang menurut Letjen
MMR Kartakusumah, dalam DPA sekarang "semakin banyak kepala,
makin banyak pergeseran pendapat untuk mencapai kebenaran."
Beberapa saat kemudian mercka berapat di gedung DPA jalan
Merdeka Utara, menentukan sidang hari pertama untuk memilih
pimpinan. Dan Jum'at esok harinya, setelah berapat satu jam
persis -- dipimpin oleh anggota tertua Harsono Tjokroaminoto, 65
tahun -- dengan aklamasi mereka memilih Idham Chalid, yang 27
Agustus nanti tepat 56 tahun, sebagai ketua. Segera setelah
pemilihan Ketua, empat Wakil Ketua yang dianggap bisa bekerja
sama dengan Ketul, terpilih pula: Majen dr. Soedjono, 65 tahun
Soenawar Soekowati, 55 tahun, Letjen MMR Kartakusumah, 58 tahun
Johny Nato, 49 tahun.
Menurut Harry Tjan, DPA yang sekarang tidak bakal seperti dulu.
Pasal 11 UU No. 3/1967 tentang DPA (lama) dulu disebutkan, "atas
permintaan DPA, Presiden dapat memimpin rapat DPA." Bahkan
dalam penjelasannya disebut: "jalannya pembicaraan dapat
diarahkan sedemikian rupa hingga memudahkan DPA merumuskan
keputusan sesuai dengan jiwa persoalan yang diajukan." Pasal 11
dan penjelasan tersebut, dalam UU No. 4/1978 tentang DPA yang
batu telah dihapus.
"Itu membuktikan adanya otonomi DPA," ujar Tjan.
Lumayan
Tapi bagi Wilopo SH, 69 tahun, bekas Ketua DPA "otonomi dan
wibawa DPA tak bisa diukur orang per orang. Yang penting,
jangan mengambil kebijaksanaan untuk menyenangkan pemerintah,
kemudian akibatnya merugikan masyarakat."
Sepuluh tahun memimpin Lembaga Tinggi Negara itu, selama dua
periode, Wilopo merasa puas karena ada beberapa sarannya yang
dipakai oleh Pemerintah. "Yah, lumayan," katanya. "Misalnya
langkah-langkah post Vietnam dari Pemerintah, pernah dirumuskan
oleh DPA dua bulan sebelum Phnom Penh jatuh."
Selain itu, menurut Wilopo, UU yang menyangkut Pertamina
sekarang sebagian besar sama seperti yang disusun oleh DPA
ketika ia ditunjuk menjadi Ketua Komisi IV untuk membereskan
Pertamina. "Bahkan cara kerja Pertamina sesudah mengalami
krisis, mirip dengan pertimbangan-pertimbangan yang dirancang
oleh DPA," katanya. "Begitu pula dengan Timor Timur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini