Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

'Mujahiddin' dari Bukit Roke?

Aparat menggerebek lokasi yang konon dijadikan tempat latihan militer gerakan sempalan. Mereka dituding menggarong BCA dan mengebom Plaza Hayam Wuruk

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah titik penting, mendadak sontak, mulai ditelusuri aparat keamanan. Dari sini diharapkan bisa terungkap tabir perampokan kantor Bank BCA Cabang Tamansari, yang waktunya hampir bersamaan dengan pengeboman di Plaza Hayam Wuruk, Jakarta, dua pekan lalu. Nama gerombolan ini?seperti dibilang polisi?Kompi F, bagian dari sebuah gerakan bernama AMIN (Angkatan Mujahiddin Islam Nusantara). Mereka menghuni sebuah kawasan terpencil di Kampung Maseng, Desa Warungmenteng, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Jarak tempuhnya sekitar 80 kilometer dari Jakarta. Celah masuknya melewati jalan kecamatan beraspal tipis. Kendaraan umum yang biasa dipakai penduduk berupa ojek motor. Sebab, angkutan pedesaan hanya lewat sesekali dalam satu jam. Sekitar 4 kilometer masuk jalan ini, ada rel kereta api yang memotong jalan raya. Di sanalah terletak Stasiun Maseng, yang sepi mamrih. Stasiun ini hanya dilewati kereta api enam kali sehari, yang bolak-balik dari Bogor ke Sukabumi. Kampung ini berpenduduk sekitar 2.500 jiwa. Mereka mendiami 315 umpi (rumah). Dalam satu rumah berdiam tak hanya satu keluarga. Kampung Maseng terdiri atas tiga rukun tetangga (RT). Jarak antar-RT biasanya tidak terpisah tegas. Ada sebuah RT yang hanya terpisahkan oleh rel kereta. Di sinilah komunitas yang disebut AMIN itu berada. Mata pencarian penduduknya, seperti umumnya di kampung lain di Parahyangan, sebagian besar bertani padi, palawija, dan sayur. Ada pula yang menjadi pedagang keliling atau asongan di Terminal Bogor. Barang dagangan yang mereka jual terutama berbagai hasil olahan buah pala, seperti manisan dan pala kering manis. Di beberapa rumah, pohon buah khas Ambon itu tampak berdiri meneduhi halaman. Ada juga yang menjadi pegawai negeri atau swasta. Penduduk Maseng cukup religius. Menurut Ustad Imam Abi Dzar, pengasuh Pesantren Ummul Quro, umumnya mereka penganut ahlusunah dan banyak mewarisi tradisi NU dalam beribadah. Di kampung ini berdiri sebuah masjid jami yang mampu menampung sekitar 500 jemaah. Selain itu, di setiap RT terdapat setidaknya satu musala dan satu madrasah. Selain dipakai untuk tempat anak-anak belajar agama, madrasah dijadikan tempat pengajian setiap Jumat. Biasanya pengikutnya ibu-ibu. Religiositas di Kampung Maseng?dengan sebuah masjid jami, tiga musala, tiga madrasah, serta satu pesantren, yang baru berdiri 2 tahun lalu?agaknya berpengaruh pada pilihan politik warga. Dalam Pemilu 1997 lalu, tak seperti umumnya di kampung lain di Jawa Barat, partai yang unggul di kampung ini bukan Golkar. Justru PPP yang menjadi pilihan setidaknya 60 persen warga kampung (satu tempat pemungutan suara). Dari sekitar 1.000 warga yang memiliki hak pilih di Kampung Maseng, sekitar 600 orang memilih PPP. Sedangkan Golkar dipilih oleh sekitar 300 orang, dan hanya 70-an yang memilih PDI. Menjumpai komunitas yang kini disebut bagian dari AMIN itu tidaklah sulit. Dari arah stasiun, kita hanya perlu menyusuri rel kereta api ke arah utara. Rel itu mengikuti alur ceruk di antara dua tebing memanjang. Sekitar 200 meter dari stasiun itu, tampak sebuah komunitas yang terdiri atas tujuh rumah. Luasnya seukuran rumah BTN tipe 21 dan 36. Hanya ada satu rumah yang setara dengan tipe 45. Itulah rumah terbesar yang sering dipakai sebagai tempat para ibu dari komunitas ini ngrumpi. Tembok semua rumah itu tersusun dari batako, yang banyak dihasilkan di desa-desa sekitar. Semuanya tanpa ditutup plester, apalagi diperhalus dengan semen. Kayu yang dipakai tak banyak diserut untuk mempercantik bangunan. Pada beberapa rumah, atapnya bukan dari genting, melainkan dari asbes atau campuran semacam itu. Bangunannya memang dibikin apa adanya. Tak ada yang dipercantik. Kalaupun ada kaca jendela, itu hanya berupa kaca nako dari jenis yang murah. Sedikit di ujung, sebuah bangunan seluas kurang lebih 3 x 6 meter persegi berdiri. Inilah yang disebut sebagai Musala Al Muhajirin, yang dipakai untuk pengajian rutin saban Minggu. Di sampingnya, berdiri sebuah pondok kayu terbuka berisi tungku. Ini mereka pakai untuk menggoreng keripik ubi dan pisang, yang dijual sebagai tambahan penghasilan suami. Mereka hidup bergotong-royong, termasuk saat membangun rumah. "Semua mereka kerjakan sendiri, dari menggotong kayu, mengambil pasir di sungai, sampai menembok," ujar Sutisna, warga Maseng. Mereka datang pertama kali sekitar empat tahun lalu. Setelah itu, secara beruntun muncul banyak pendatang lain ke tanah yang asalnya milik Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) tersebut. Tapi tahun 1996 adalah saat pertama kali mereka membangun komunitas AMIN itu, yang ditandai dengan mulainya pengajian bersama. "Awalnya kami melihat bahwa kami memiliki persamaan, sama-sama berjilbab panjang," kata Nani Nurhasanah, istri Naiman, salah seorang tersangka perampokan BCA Tamansari. Sejak saat itulah kemudian digelar acara pengajian setiap hari Minggu pagi. "Dari pada kami ngrumpi enggak keruan," ujar salah seorang warga. Pengajian itu, menurut pengakuan para istri tersangka ini, membahas masalah-masalah seputar Quran dan sunah. Juga fiqhunnisa atau kajian fikih tentang perempuan. Pengajarnya? Dari kalangan mereka sendiri secara bergiliran. Kadang kala, kalau suami mereka berhalangan, salah seorang dari para istri itulah yang memimpin pengajian. "Pokoknya, siapa yang ingin bertausiyah (bernasihat), maka dia yang ngomong," papar Melly, 26 tahun, istri tersangka Ichwan alias Iwan yang kini ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Untuk mengundang ustad dari luar, mereka tak sanggup memberi honor. Menurut Sukri, ketua rukun warga (RW) yang pensiunan pegawai administrasi Institut Pertanian Bogor, sebenarnya tak ada warga yang merasa terganggu dengan hadirnya kelompok ini. Mereka biasa berinteraksi meskipun jarang. Anak-anak mereka juga disekolahkan di SD yang ada di Maseng dan taman kanak-kanak Islam yang dikelola warga. Biasanya, karena banyak anak, para istri dari komunitas tersebut datang saat ada kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu) di RW. Di sinilah interaksi terjadi. "Mereka baik. Hanya, pakaiannya memang tak sama dengan kami," kata seorang ibu pemilik warung. Para istri memang berjilbab panjang, dengan kaus kaki yang menutup sampai ibu jari. "Kami biasa heureuy (berseloroh) saat mereka belanja," ujar tetangga lainnya. Apakah mereka tahu aktivitas suami masing-masing di luar rumah? Tak ada seorang pun yang mau berbicara terbuka. Mereka menggelengkan kepala. Yang jelas, mereka yakin bahwa sang suami bekerja dan pulang pergi Maseng-Jakarta, seperti Naiman dan Ichwan. Tapi ada juga yang pulangnya tak tentu karena kerja yang serabutan, semisal Edi Taufik dan Suhendi. Keduanya terkadang berjualan batu akik, terkadang menjadi buruh bangunan atau menarik becak. Yang disebut markas sekaligus tempat latihan kemiliteran anggota AMIN ini berjarak sekitar satu kilometer menyusur rel ke arah barat laut. Letaknya di atas Bukit Roke, yang terhampar seluas 1.500 meter persegi. Ini lahan milik Perumka yang dibiarkan tak terurus hingga banyak ditumbuhi ilalang dan semak. Di bawah bukit itu mengalir arus Sungai Cisadane, yang sekaligus membatasinya dengan bukit lain, Bukit Tenggek. Di bawah sisi barat bukit, rel kereta Bogor-Subang berkelok membentang di sepanjang ceruk antara Bukit Roke dan dataran tinggi lain, Desa Bojongmenteng. Pada lahan yang agak rata di Bukit Roke itulah sebuah bangunan terbuka berdiri. Bentuknya berupa bangunan bertiang empat, dengan tembok setinggi lutut orang dewasa. Di situ terdapat sebuah ceruk serupa tempat imam pada setiap musala. Anehnya, bangunan itu menghadap ke arah selatan, bukan ke barat seperti lazimnya. Pada dinding bagian selatan itulah ada tulisan dalam aksara Arab dengan cat putih yang berbunyi "Allahu Akbar", "Muhammad", dan "Mushola Al Muhajirin"?yang ditulis dengan khat (pola) kurang rapi. Tak jauh dari situ, sebuah tanah lapang seluas 100 meter persegi terhampar. Menurut Yopie Sofyanto, 26 tahun, warga Maseng, di tanah lapang itulah setiap hari Minggu para anggota AMIN yang datang dari luar kota berlatih bela diri. Sebentuk bangunan yang tersusun dari batang-batang pohon yang ditanam berdiri setinggi 2,5 meter, kabarnya, dibuat untuk latihan fisik dan lempar pisau. Pendeknya, ala latihan militerlah. Tapi tak ada satu lubang pun tampak di batang-batang kayu itu jika memang kerap dipakai untuk ajang latihan. Demikian juga dengan sebuah lereng landai yang dikatakan sebagai tempat berlatih meluncur. Tak ada segurat pun tersisa bekas tambang di batang pohon di dekatnya. Menurut Yopie, setiap Minggu beberapa mobil berisi puluhan orang datang ke Maseng, yang diparkir di dekat stasiun. Bangunan ini, menurut warga, memang dibuat oleh para lelaki dari komunitas tersebut. Mereka, sebagaimana halnya saat membuat rumah, tidak melibatkan warga. Walhasil, apa pun yang mereka lakukan, tak banyak warga yang tahu. Apalagi posisi Bukit Roke ini terhalang kelokan, dan letaknya terpencil. Ibaratnya, pencari rumput pun enggan mendatangi, apalagi para istri mereka?yang tabu jika mengadakan kontak dengan tetamu. Mereka mengaku tak tahu-menahu ihwal kegiatan mingguan di Bukit Roke. "Saya tahu setelah lihat TV dan baca koran," kata mereka. Ironisnya, ketidakjelasan ini lantas begitu mudah dijadikan alasan untuk membikin stigma baru. Wahyu Muryadi, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus