H.R. DHARSONO akhirnya "kena" hukuman 10 tahun penjara. Dalam sidang yang gaduh dan penuh sorak-sorai serta teriakan pengunjung Rabu pekan lalu, keputusan setebal 182 halaman terhadap bekas Pangdam Siliwangi itu dibacakan bergilir oleh majelis hakim. Sekitar 150 orang hadir di ruang sidang gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sedang di pelataran lebih dari 500 orang bertahan di bawah hujan gerimis untuk mengikuti jalannya sidang. Dharsono, 60, yang mengenakan baju pendek biru, berdasi, dan celana kuning gading, pada awalnya mendengarkan pembacaan keputusan hakim. Tapi, duduk di kursi putarnya, terdakwa, yang dituntut 15 tahun penjara itu, kemudian sering berputar ke kiri-kanan, bahkan membelakangi hakim untuk menghadap ke arah pengunjung. Ia bahkan sering ikut tertawa bila para pengunjung mencemooh hakim. Suasana dalam sidang memang agak panas. Setiap kali ada ucapan hakim yang dianggap kurang pas, pengunjung langsung saja berteriak. Dan majelis hakim yang diketuai Soedijono tampaknya tidak berdaya., Misalnya tatkala hakim mengatakan, pendapat atau kritik hendaknya disalurkan melalui DPR, kontan sebagian besar hadirin berseru "Woooo". Sebuah "insiden" nyaris terjadi. Itu terjadi sekitar pukul setengah satu, ketika Hakim Anggota Achmad Intan membaca halaman 119. "Bahwa pihak penasihat hukum yang berkesimpulan bahwa pihak pemerintah ikut mematangkan situasi. Dan seakan-akan peristiwa Tanjung Priok ini telah direncanakan sebelumnya. Rupanya tim penasihat hukum terlalu pagi menarik konklusi tanpa didukung oleh bukti-bukti yang cukup kuat. Konklusi ini sangat berbahaya, sebab dapat menimbulkan image yang jelek dari rakyat terhadap pemerintah. Ini merupakan suatu tindakan yang tidak pantas dan tidak etis". Mendengar itu, Adnan Buyung Nasution lalu berdiri dan berteriak. "Saya tidak mau dikatakan tidak etis. Kalau perlu kepala polisi dan intel itu dibawa kemari. Hadapkan ke muka sidang. Siapa kepala polisi itu, saya minta dibawa ke sini," seru pembela itu sambil berkacak pinggang. Majelis hakim hanya terdiam. Sedang pengunjung pada berteriak dan berdiri di kursi. Suasana gaduh. Yang dimaksud Buyung adalah Letkol Ismet, bekas Kapolres Jakarta Utara yang tak dapat dihadapkan ke sidang meski sudah dipanggil berkali-kali. Melihat itu, seorang perwira pertama polisi masuk ruang sidang untuk menenangkan hadirin. Tapi Buyung langsung menuding polisi itu. "Ini ruangan wewenang hakim, bukan polisi. Polisi, keluar!" teriaknya. Sang polisi keluar, dan majelis hakim akhirnya berhasil menenangkan hadirin. Menjelang pukul dua, vonis dibacakan. Dharsono dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana, delict politik, tindak pidana subversi seperti yang dituduhkan. Meski Ton - nama panggilan Dharsono - diakui sebagai prajurit pejuang yang berjasa dan ikut membidani lahirnya Orde Baru, kontrol sosial yang diperbuatnya dinilai dilakukan dengan cara yang salah. Menurut majelis hakim, cara mengungkapkan kontrol sosial tersebut "didasari oleh cara-cara berpikir dan perbuatan menurut gaya budaya demokrasi liberal, yang secara diametral tidak sejalan dengan jiwa dan hakikat Demokrasi Pancasila, yang menitikberatkan asas musyawarah dengan hikmat kebijaksanaan untuk menuju mufakat dengan ciri kekeluargaan dan gotong royong dalam menyelesaikan perbedaan pendapat tentang berbagai masalah politik kenegaraan". Kritik sosial yang dilakukan Ton dinilai "tidak disalurkan dengan cara-cara konstitusional, menurut tata cara demokrasi Pancasila yaitu membawa masalahnya ke DPR dan MPR untuk dimusyawarahkan atas dasar asas kekeluargaan". Juga diakui, perbuatan Ton tidak ditujukan untuk menggulingkan atau mengganti pemerintah sekarang, tapi hanya untuk koreksi. Namun, perbuatan itu dianggap akan membawa dampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa, serta dapat menimbulkan situasi yang rawan dalam masyarakat, yang akhirnya dapat merusakkan stabllitas nasional. Perbuatan itu juga dinilai dapat merongrong wibawa kekuasaan pemerintah, telah meremehkan cara-cara konstitusional, hingga dianggap mempengaruhi beratnya pidana. Dharsono tersenyum mendengar hukuman 10 tahun potong masa tahanan itu. Lalu ia berkata pada hakim. Suaranya biasa, "Karena sejak semula saya bertitik tolak tidak menyesal sedikit pun, dan tanpa beban dalam menghadapi pengadilan ini -- karena saya tidak merasa bersalah - tanpa menunggu seminggu saya menyatakan banding hari ini." Lalu sambungnya, "seperti saya katakan dalam pleidoi saya, majelis hakim bisa menanggalkan jabatan dan pangkat dan memberikan kebebasan kepada saya. Atau menghukum saya seberat apa yang telah diputuskan, kalau hakim memang yakin bahwa perbuatan saya betul-betul merugikan rakyat. Dan rakyat akan membuktikan apakah perbuatan saya itu merugikan mereka atau tidak." Tepuk riuh dan teriakan "Hidup" bergemuruh menyambut ucapan itu. Tim pembela yang diwakili Ny. Amartiwi Saleh juga menyatakan banding. Ketika ditanya hakim, Jaksa Bob Nasution mengatakan, "Saya banding terhadap keputusan ini." Begitu sidang ditutup, Ton diserbu, disalami dan dipeluk hadirin. Bekas Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang pertama kali menyalaminya. Dengan emosional Ali berteriak, "Hidup Dharsono! Hidup Orde Baru! Hidup Pancasila." Ketika akan masuk ke mobil tahanan yang akan membawanya, Ton malah maju ke depan mobil. Ia melambaikan tangan pada massa di luar pagar gedung pengadilan. Ton kemudian naik ke atas mobil. Ia sempat dilarang oleh petugas Laksusda dan polisi. Tapi Ton marah dan mendorong para petugas itu. "Apa-apaan kamu ini 'kan hak asasi saya." Di atas mobil, Ton menyanyi lagu Halo-Halo Bandung diikuti massa. Seorang polisi, yang mau menarik kakinya, ditendangnya. Polisi tersebut, seorang mayor, ternyata tidak marah. "Orang lagi nggak sadar, ya susah diingatkan," katanya. Susanto Pujdomartono Laporan Agus Basri & A Luqman (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini