Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo membentuk 100 batalion teritorial pembangunan untuk mendukung swasembada pangan.
Ironi di tengah pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga negara sipil.
Masyarakat sipil menilai program ini akan mencederai profesionalisme TNI.
PANGLIMA TNI Jenderal Agus Subiyanto tidak henti-hentinya menjura kepada Presiden Prabowo Subianto di halaman Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 7 Februari 2025. Agus berkali-kali menyatakan terima kasih karena Prabowo membentuk batalion teritorial pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Bapak dalam penutupan batalion teritorial pembangunan dan penambahan batalion,” kata Agus saat memberikan laporan kegiatan pengarahan Presiden Prabowo kepada komandan satuan TNI di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat, 7 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan Prabowo dan 1.004 prajurit, Agus mengatakan TNI berkomitmen melaksanakan program prioritas nasional. TNI, kata dia, juga akan mendorong terwujudnya ketahanan pangan dengan memanfaatkan lahan tidur yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Darat (AD) saat ini sedang mewujudkan rencana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan. Rencana ini sempat diungkapkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 25 November 2024.
Kala itu, Sjafrie mengatakan pemerintah menargetkan pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan mulai berjalan pada 2025. Batalion ini bertujuan menciptakan stabilitas keamanan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat. Batalion ini nantinya dilengkapi dengan kompi peternakan, perikanan, pertanian, dan kesehatan.
Pada 4 Februari 2025, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatakan rencana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan merupakan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Batalion itu akan berfokus mendukung pembangunan dan pertanian. Saat ini, kata dia, TNI AD sedang menyurvei daerah strategis untuk penempatan batalion tersebut. "Kami sedang terus survei daerah-daerah yang mempunyai tempat yang cukup strategis," kata Maruli Simanjuntak dalam rapat bersama Komisi I DPR pada Selasa, 4 Februari 2025.
Presiden Prabowo Subianto memberikan pengarahan kepada para komandan satuan TNI di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, 7 Februari 2025. ANTARA/Galih Pradipta
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana menjelaskan, batalion itu dibangun untuk mendukung target swasembada pangan pada 2025. Pembentukan batalion ini, kata Wahyu, juga akan menambah fungsi TNI menjadi fungsi pertahanan dan keamanan.
Penambahan fungsi ini supaya bisa terlibat dalam urusan pangan. “Untuk mendukung swasembada pangan, sehingga perlu restrukturisasi,” kata Wahyu saat dihubungi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Wahyu mengatakan pembentukan batalion ini akan diawasi oleh setiap panglima komando utama. Batalion ini akan berbeda dengan batalion yang sudah ada. Batalion saat ini hanya terdiri atas satu markas batalion, satu kompi markas, satu kompi bantuan, dan tiga kompi senapan.
Sedangkan 100 batalion akan didukung satu kompi pertanian, satu kompi peternakan, satu kompi kesehatan, dan satu kompi konstruksi. “Setiap satuan akan dibekali perlengkapan dan material modern sesuai dengan fungsinya,” kata Wahyu.
TNI juga akan menambah personel untuk mengisi batalion tersebut. Penambahan dilakukan dengan membuka seleksi. Seleksi dilakukan dengan standar prajurit TNI. Dalam bayangan Wahyu, satu kompi akan diisi oleh 100 personel. "Dari situ saya memperkirakan satu batalion membutuhkan 700-1.000 personel," kata Wahyu.
Mengenai anggaran, Wahyu mengatakan, hal itu merupakan urusan Kementerian Pertahanan. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin belum merespons konfirmasi Tempo.
TNI AD sejauh ini sudah mulai melakukan tahapan pembangunan batalion secara simultan. TNI AD, kata Wahyu, mulai melakukan rekrutmen personel dan survei lokasi batalion secara bersama-sama.
Mengenai lokasi, Wahyu mengatakan, belum bisa menyampaikan hal itu. Namun Jenderal Maruli Simanjuntak sebelumnya mengatakan salah satu lokasi batalion ini berada di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. "Salah satunya di Kalimantan," kata Maruli saat jumpa pers di Jakarta pada Ahad, 15 Desember 2024.
Wahyu membenarkan bahwa pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan tidak akan jauh berbeda dengan lima batalion infanteri teritorial pembangunan di Papua yang dibentuk pada 2 Oktober 2024. Batalion infanteri, yang merupakan satuan tempur TNI AD, mempunyai spesifikasi khusus produksi, di antaranya produksi pangan.
Adapun lima batalion infanteri teritorial pembangunan di Papua adalah:
- Yonif 801/Ksatria Yuddha Kentswuri yang bermarkas di Kabupaten Keerom, Papua;
- Yonif 802/Wimane Mambe Jaya yang bermarkas di Kabupaten Sarmi, Papua;
- Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha yang bermarkas di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan;
- Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha yang bermarkas di Kabupaten Merauke, Papua Selatan; dan
- Yonif 805/Ksatria Satya Waninggap yang bermarkas di Sorong, Papua Barat Daya.
Kelimanya itu dibentuk untuk mengawal program ketahanan pangan. Salah satu tugas batalion infanteri ini adalah membuka lahan sawah baru di Papua.
Anggota Komisi I DPR TB. Hasanuddin mengatakan pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan itu merupakan gagasan lama. Karena itu, Komisi I DPR belum mendapatkan informasi soal ini. "Belum ada informasi,” kata dia saat dihubungi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Rencana pembentukan batalion baru ini mendapat kritik dari masyarakat sipil. Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan rencana membentuk 100 batalion teritorial pembangunan justru melanggar instruksi presiden mengenai pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga.
Satu batalion biasanya memiliki 500-1.000 prajurit. Bila ada 100 batalion, anggaran bisa membengkak. “Kalau menambah pasukan, justru akan menambah jumlah anggaran pertahanan,” kata Hussein saat dihubungi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Rencana ini, kata Hussein, juga gagasan yang tidak sesuai dengan fungsi pertahanan. Mengurus pangan seperti pertanian merupakan urusan sipil. Seharusnya Kementerian Pertanian yang mengurusnya. “Kita juga punya sarjana-sarjana pertanian kan untuk mengurusi. Mereka sebetulnya bisa diikutsertakan oleh pemerintah,” kata Hussein.
Menurut Hussein, program ini akan mencederai profesionalisme TNI. Program ini justru membuat militer masuk ke ranah sipil. TNI seharusnya berfokus dalam urusan pertahanan.
Apalagi perang modern tidak lagi membutuhkan banyak jumlah prajurit, melainkan penguasaan teknologi. “Perang membutuhkan spesialisasi. Kalau tentara sibuk menanam singkong, kapan bisa profesional di bidang siber?” ujar Hussein.
Keterlibatan militer pada ranah sipil sebetulnya diperbolehkan, tapi sifatnya tugas perbantuan. Militer harus mendapatkan permintaan dari institusi sipil. Masalahnya, kata dia, militer sering seenaknya ikut dalam urusan sipil.
Prajurit TNI membawa logistik untuk program makan bergizi gratis perdana di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, 20 Januari 2025. ANTARA/Martinus Eguay
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Dimas Bagus Arya mengatakan rencana pembentukan 100 batalion ini berpotensi melenceng dari fungsi TNI yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam aturan itu, fungsi TNI dibagi dua, yaitu operasi perang dan operasi militer selain perang. Pada era Presiden Joko Widodo, gagasan operasi militer selain perang selalu menjadi alat justifikasi keterlibatan militer dalam menjaga obyek vital nasional dan proyek strategis nasional.
Menurut Dimas, keterlibatan TNI dalam menjaga obyek vital dan program strategis nasional itu melangkahi kewenangan norma Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Sebab, operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan bila mendapatkan persetujuan DPR. “Selama ini militer tidak pernah tahu apakah mendapatkan persetujuan dari DPR atau tidak,” ujarnya.
Selain itu, pembentukan 100 batalion akan mendorong TNI kembali berbisnis. Ia mengatakan pembentukan 100 batalion membutuhkan dana yang besar. Menurut Dimas, program ini seharusnya tidak masuk anggaran TNI dan Kemenhan karena di luar tugas TNI.
Akibatnya, TNI pasti akan mencari pendanaan-pendanaan nonbujeter. Pendanaan itu didapatkan dari pihak lain. Dalam keadaan itu, orientasi TNI bisa bergeser. TNI harus mencari sumber dana sehingga membuat TNI berbisnis. “Bisnis yang paling mungkin adalah bisnis pengamanan dan bisnis keamanan,” kata Dimas.
Dimas juga khawatir keterlibatan TNI akan menutup ruang dialog dalam konteks konflik agraria. TNI justru akan mengedepankan kultur kekerasan. Kekhawatiran ini berkaca pada implementasi proyek strategis nasional dua sampai tiga tahun belakangan. “Contohnya kasus pengembangan Rempang Eco-City pada 2023. Aparat dengan alutsista mengusir masyarakat Rempang. Masyarakat menjadi terintimidasi,” kata Dimas.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama mengatakan program ini merupakan ironi di tengah pemotongan anggaran kementerian sipil. Menurut Virdika, tindakan ini mengindikasikan prioritas politik rezim yang lebih memilih militer sebagai ujung tombak kebijakan publik.
Prabowo, kata Virdika, melihat TNI sebagai institusi yang efisien, disiplin, dan bebas dari birokrasi yang berbelit. Namun, di balik narasi efisiensi itu, terselip agenda yang lebih gelap, yaitu militerisasi kebijakan publik.
Menurut Virdika, dengan menempatkan TNI di sektor pangan yang menyentuh hidup rakyat langsung, Prabowo tidak hanya membangun ketergantungan masyarakat pada institusi militer, tapi juga menciptakan infrastruktur politik baru.
“Sebab, batalion teritorial bisa menjadi mata dan telinga rezim di perdesaan, memantau sekaligus mengarahkan dinamika sosial-politik,” kata penulis buku Menjerat Gus Dur ini saat dihubungi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Di masa depan, kata Virdika, jaringan ini bisa dikonversi menjadi mesin mobilisasi dukungan elektoral, seperti yang terjadi dalam Pemilu 2024. Kala itu, TNI/Polri dituding sebagai alat politik praktis.
Jaringan teritorial TNI ini pula bisa menjadi benteng pertahanan politik Prabowo, baik untuk meredam oposisi maupun memastikan kekuasaannya tetap stabil.
Virdika juga menilai keterlibatan TNI dalam program pangan berpotensi mengaburkan batas antara kepentingan nasional dan ambisi politik Prabowo. Prabowo mungkin sedang menyiapkan panggung untuk lima tahun ke depan.
Dengan menempatkan TNI sebagai aktor kunci dalam ketahanan pangan, Prabowo sedang membangun citra sebagai pemimpin yang tegas dan prorakyat. “Sekaligus mengamankan basis dukungan di tubuh militer,” kata Virdika.
Namun hal ini berisiko mengembalikan Indonesia ke era militerisme soft, ketika institusi sipil makin lemah dan militer mendominasi kebijakan strategis. Sebab, bila menguasai sektor pangan, TNI akan memiliki leverage politik yang besar. Masyarakat yang bergantung pada program TNI akan sulit mengkritik rezim. “Karena kritik bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap upaya ketahanan pangan,” katanya.
Virdika mengingatkan bahwa militerisasi kebijakan publik ini berpotensi melanggengkan patronase dan korupsi. Proyek pertanian atau peternakan yang dijalankan TNI mungkin tidak melalui mekanisme pengawasan yang ketat seperti anggaran kementerian sipil.
Ia mengatakan dana yang digelontorkan ke batalion teritorial bisa menjadi celah bagi mark-up proyek, alokasi lahan yang tidak transparan, atau bahkan penguasaan sumber daya alam oleh oknum tertentu. “Pada tingkat makro, ini bisa memperparah ketimpangan agraria karena TNI berpotensi menjadi aktor baru dalam konflik agraria,” kata Virdika.
Menanggapi kritik tersebut, Kadispenad Brigadir Jenderal Wahyu mengatakan pelibatan TNI dalam urusan pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Di situ dijelaskan bahwa militer memiliki tugas operasi militer selain perang. Salah satu tugasnya membantu pemerintah. “Sekarang program pemerintah mencapai swasembada pangan. Jadi kami dukung,” kata Wahyu.
Wahyu menuturkan TNI hanya membantu kementerian dan lembaga. TNI bukan dalam ranah mengambil alih peran mereka. Pembentukan batalion teritorial pembangunan sekadar membantu program pemerintah. TNI tetap memiliki fungsi utama, yaitu fungsi teritorial.
“Jadi, tidak ada istilah kami mengambil alih peran sipil, karena perannya tetap sesuai dengan kementerian terkait,” ucap Wahyu. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo