Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat itu, sebagian besar wilayah Aceh ingin dikuasai oleh Belanda yang sedang menanti kesempatan dan mewujudkan niat jahatnya itu. Namun, niat jahat Belanda ini dengan cepat diketahui oleh Sultan Ibrahim Mansyursyah (1838-1870), Sultan Aceh terbesar di abad ke-19. Akibatnya, Sultan pun meminta bantuan kepada seluruh warga Aceh, mulai dari orang biasa sampai para petinggi. Salah satunya adalah Panglima Teuku Nyak Makam.
Setelah Sultan melihat prestasi yang berhasil dicapai dalam berpolitik, cerdik memikirkan strategi militer, dan memiliki kepemimpinan yang bagus, barulah Teuku Nyak Makam diangkat menjadi Mudabbiru syarqiah, yaitu penegak kedaulatan Aceh di bagian timur dan sebagai Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur dengan wakilnya Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Dengan pengangkatan dan kemampuan cerdiknya dalam berperang, membuat Belanda memiliki rasa ketakutan yang hebat terhadap Teuku Nyak Makam. Belanda menilai bahwa setiap orang Aceh sama dengan 100 orang tentara Belanda. Namun untuk Teuku Nyak Makam, Belanda menilai 10 kali lipat lagi dari setiap orang Aceh dan ini bernilai sama dengan 1.000 orang Belanda. Penilaian ini sesuai dengan fakta sejarah seperti yang dikutip dari buku Panglima Teuku Nyak Makam. Dengan kekuatan sedemikian, membuat Belanda selalu mencari cara untuk bisa mengalahkan Teuku Nyak Makam.
Kematian Tragis Teuku Nyak Makam
Akhirnya pada 21 Juli 1896, tentara Belanda mendapatkan kabar bahwa Teuku Nyak Makam sedang berada dalam keadaan lemah. Beliau sedang mengalami sakit berat di Lamnga dan jika Belanda menyerangnya, pasti dapat dihancurkan dengan cepat. Setelah mendengar kabar tersebut, Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel G.F. Soeters segera menuju Lamnga, tepat pada 21 Juli menjelang 22 Juli 1896.
Pasukan Belanda datang dengan strategi mengepuk dan berkombinasi bersama satu detasemen dari batalion yang ditempatkan di Kuala Gigieng. Pasukan ini berjumlah kurang lebih 2.000 orang tentara. Dengan kekuatan dan jumlah pasukan yang banyak ini, Belanda baru sanggup menghadapi seorang Panglima Aceh, Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah.
Mengutip dari jurnal yang berjudul Teuku Panglima Polem’s Purse, serangan Belanda yang secara tiba-tiba ini membuat desa Lamnga tidak mempersiapkan strategi perang karena tidak ada yang memberitakan sebelumnya. Saat itu, rata-rata penduduk desa Lamnga adalah perempuan, kakek-kakek yang sudah rentan, dan anak-anak kecil. Keadaan ini juga tidak dapat membendung ribuan tentara Belanda secara tiba-tiba untuk menyerang Teuku Nyak Makam yang berbaring lemah tak berdaya di atas tempat peristirahatannya.
Dengan kebengisannya, Belanda menangkap Panglima Teuku Nyak Makam kemudian diangkat dan dibawa dengan tandu. Kemudian, istri dan penghuni lainnya yang berada di kediaman Nyak Makam juga digiring oleh para tentara dengan pisau tajam ke arah badan mereka. Teuku Nyak Makam dan sang istri dibawa menuju kampung Gigieng, tempat Letnan Kolonel Soeters sedang menunggunya.
Meskipun wajah pucat pasi, badan kurus hanya tinggal kulit pembalut tulang, tetapi itu semua tidak menghentikan Kolonel Soeters untuk menyerang Teuku Nyak Makam. Soeters memancung kepala Teuku Nyak Makam dalam keadaan yang terikat dan terbaring di atas tandunya. Setelah itu, tubuh Nyak Makam dicincang sampai hancur secara bergantian oleh para 2.000 tentara Belanda lainnya dengan penuh semangat. Kematian Teuku Nyak Makam disaksikan secara langsung oleh istri dan anaknya. Selain itu, penduduk Lamnga pun digiring oleh pasukan Belanda untuk menyaksikan kematian Teuku Nyak Makam di Kuala Gigieng, Aceh.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca: Perang Aceh 118 Tahun Lalu Ekspedisi Belanda ke Tanah Gayo Alas dan Batak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini