Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

2 Cerita Dari Paya Mabar

Petani menemui bupati tenteng ginting, tapi gagal. ada pt paja pinang yang membiayai tim inventarisasi.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Bupati Deli Serdang yang terletak di Kota Medan, ramai lagi pagi itu. Serombongan petani Paya Mabar, Kecamatan Tebing Tinggi (80 km dari Medan) untuk ketiga kalinya menemui Bupati Tenteng Ginting. Tapi Rabu 20 Februari itu mereka gagal. Bupati Sedang bertugas ke luar kota. Bersama anak-anak dan 4 bayi, 15 lelaki dan 25 perempuan itu bertahan di halaman kantor bupati sampai sore. Ada yang tiduran atau menyantap bekal makanan. Tapi polisi mengusir mereka. Dan mereka pun pergi. Malamnya mereka menginap di beberapa gubuk sepanjang rel kereta api di belakang kantor bupati. Dan esoknya, sekali lagi mereka berusaha menemui bupati, tapi hari itu Tenteng Ginting tidak masuk kantor. Apa boleh buat, siang itu juga mereka harus pulang dengan tangan hampa. Padahal kepada bupati mereka ingin mengajukan permohonan- agar para petani yang ditahan sejak 11 Januari 1980 dibebaskan dan para pelaku pembabatan tanaman mereka di Paya Mabar pada 7 Februari ditindak. Keresahan para petani itu bersumber dari dua macam sengketa. (TEMPO, 5 Mei 1979). Sengketa pertama antara 100 kk yang merasa menjadi ahli waris dari pemilik tanah seluas 200 ha yang dirampas 1967, melawan penggarap tanah rampasan tersebut. Petani yang belakangan ini membeli tanah dari beberapa oknum ABRI. Sengketa itu, 11 Januari 1980 berbuntut perkelahian. Beberapa orang luka 12 orang ditangkap -- 11 dari petani yang merasa sebagai pewaris, seorang lagi dari petani penggarap (lihat box). Dengan kejadian itu, tentu saja bupati sangat prihatin. Tak cukup mengirim surat, Ginting juga merasa perlu mengirim utusan ke Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi agar petani yang ditangkap ditahan luar. "Kita harus mengayomi penduduk," kata Ginting. Tapi jawaban kejaksaan, "pemeriksaan belum selesai." Sengketa kedua antara ratusan petani lain -- termasuk di dalamnya 100 kk tadi -- dengan P.T. Paya Pinang. Tanaman pisang dan sayuran di atas areal 4 ha milik petani, pada 7 Februari dibabat orang. Para petani mengadu. "Tapi karena tak ada saksi mata, kita mau menuduh siapa," kata bupati. Meski begitu bupati melaporkannya kepada polisi, "dan sekarang sedang diusut." Sejak 1956, ada 2.000 ha tanah perkebunan tak terurus dengan P.T. Dahris & Coy sebagai pemegang konsesi. Sekitar 200 ha di antaranya berisi kebun karet, itu pun sudah tua-renta. Perusahaan ini baru mendapatkan hak guna usaha (HGU) pada 1961. Tapi sejak 22 Austus 1979 konsesi perusahaan tadi -- sekaligus HGU-nya dicabut, karena ia menyewakan, bahkan menjual sebagian arealnya kepada para petani dan swasta lainnya. Mendengar pencabutan HGU itu, ratusan petani penyewa berjingkrak gembira. Mereka berharap agar tanah yang telah mereka sewa sepenuhnya diserahkan kepada mereka. Apalagi setelah Abdullah Eteng -- anggota Fraksi PDI di DPR-RI yang getol mempersoalkan sengketa tanah di Sum-Ut -- menyatakan P.T. Dahris tak berhak menjual-belikan areal konsesitiya. Dibabat "Kami berharap tanah itu akan dibagikan kepada para petani," kata Banjir Prawoto, yang menjadi juru bicara petani. Dengan begitu, Banjir berharap petani bisa menjadi small holder dengan kredit dari pemerintah, seperti di Aek Nabara (Kabupaten Labuhan Batu, Sum-Ut) dengan kredit Bank Dunia. Tapi harapan Banjir dkk. tiba-tiba lenyap. Sebab ternyata Pemda Sum-Ut menyerahkan pengelolaan areal 2.000 ha itu kepada sebuah tim dari Ditjen Agraria, Kanwil Tenaga Kerja dan Dinas Perkebunan Sum-Ut yang kemudian menyerahkannya kepada sebuah perusahaan perkebunan P.T. Paya Pinang, dalam sebuah upacara meriah, 5 November 1979. Dengan rekomendasi Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan, Paya Pinang diizinkan menggarap 700 sampai 1.000 ha dari areal 2.000 ha itu. Petani penyewa tak puas dan bertekad mempertahankan tanah garapan mereka. Karena itu ketika traktor-traktor Paya Pinang bergerak, petani pun segera menanami tanah garapan mereka. Ketegangan timbul. Tak ayal, Tenteng Ginting turun tangan. Berdialog di Paya Mabar 4 Februari lalu, para petani memeluk bupatinya dengan air mata sambil meminta agar areal itu dibagikan kepada mereka. Bupati bermaksud hanya menyediakan 622 ha saja untuk Paya Pinang. Tapi ternyata areal 622 ha itu juga sudah digarap petani. Bupati lantas memberi kesempatan petani memelihara tanaman sampai panen, sementara sebuah tim agraria diturunkan untuk menginventarisir tanah yang 622 ha itu. Tahu-tahu, begitu bupati pulang, tanaman petani di lokasi 4 ha dalam areal 622 ha itu dibabat orang. PT Paya Pinang mengusahakan perkebunan karet di Paya Pinang dan kelapa sawit di Mendaris, keduanya dekat Tebing Tinggi. Sejak HGU P.T. Dahris dicabut, Paya Pinang mengajukan permohonan HGU kepada Pemda Sum-Ut. Dan Oktober 1979 Gubernur Sum-Ut mengabulkannya. Tapi sejak petani resah, Paya Pinang menghentikan kegiatannya. "Saya tak mau berhadapan dengan petani," kata Abdul Manaf Nasution, Direksi P.T. Paya Pinang. "Dan berapa areal yang nanti masih tersisa, itulah yang akan saya terima. Saya masih menunggu hasil kerja tim inventarisasi," tambah Nasution. Anehnya adalah Paya Pinang pula yang kabarnya membiayai kerja tim tersebut. Itulah sebabnya 25 Februari lalu Ghazali MS, anggota Fraksi PDI di DPRD Sum-Ut meragukan hasil kerja tim itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus