KANTOR Bupati Deli Serdang yang terletak di Kota Medan, ramai
lagi pagi itu. Serombongan petani Paya Mabar, Kecamatan Tebing
Tinggi (80 km dari Medan) untuk ketiga kalinya menemui Bupati
Tenteng Ginting. Tapi Rabu 20 Februari itu mereka gagal. Bupati
Sedang bertugas ke luar kota.
Bersama anak-anak dan 4 bayi, 15 lelaki dan 25 perempuan itu
bertahan di halaman kantor bupati sampai sore. Ada yang tiduran
atau menyantap bekal makanan. Tapi polisi mengusir mereka. Dan
mereka pun pergi. Malamnya mereka menginap di beberapa gubuk
sepanjang rel kereta api di belakang kantor bupati.
Dan esoknya, sekali lagi mereka berusaha menemui bupati, tapi
hari itu Tenteng Ginting tidak masuk kantor. Apa boleh buat,
siang itu juga mereka harus pulang dengan tangan hampa. Padahal
kepada bupati mereka ingin mengajukan permohonan- agar para
petani yang ditahan sejak 11 Januari 1980 dibebaskan dan para
pelaku pembabatan tanaman mereka di Paya Mabar pada 7 Februari
ditindak. Keresahan para petani itu bersumber dari dua macam
sengketa. (TEMPO, 5 Mei 1979).
Sengketa pertama antara 100 kk yang merasa menjadi ahli waris
dari pemilik tanah seluas 200 ha yang dirampas 1967, melawan
penggarap tanah rampasan tersebut. Petani yang belakangan ini
membeli tanah dari beberapa oknum ABRI. Sengketa itu, 11 Januari
1980 berbuntut perkelahian. Beberapa orang luka 12 orang
ditangkap -- 11 dari petani yang merasa sebagai pewaris, seorang
lagi dari petani penggarap (lihat box).
Dengan kejadian itu, tentu saja bupati sangat prihatin. Tak
cukup mengirim surat, Ginting juga merasa perlu mengirim utusan
ke Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi agar petani yang ditangkap
ditahan luar. "Kita harus mengayomi penduduk," kata Ginting.
Tapi jawaban kejaksaan, "pemeriksaan belum selesai."
Sengketa kedua antara ratusan petani lain -- termasuk di
dalamnya 100 kk tadi -- dengan P.T. Paya Pinang. Tanaman pisang
dan sayuran di atas areal 4 ha milik petani, pada 7 Februari
dibabat orang. Para petani mengadu. "Tapi karena tak ada saksi
mata, kita mau menuduh siapa," kata bupati. Meski begitu bupati
melaporkannya kepada polisi, "dan sekarang sedang diusut."
Sejak 1956, ada 2.000 ha tanah perkebunan tak terurus dengan
P.T. Dahris & Coy sebagai pemegang konsesi. Sekitar 200 ha di
antaranya berisi kebun karet, itu pun sudah tua-renta.
Perusahaan ini baru mendapatkan hak guna usaha (HGU) pada 1961.
Tapi sejak 22 Austus 1979 konsesi perusahaan tadi -- sekaligus
HGU-nya dicabut, karena ia menyewakan, bahkan menjual sebagian
arealnya kepada para petani dan swasta lainnya.
Mendengar pencabutan HGU itu, ratusan petani penyewa berjingkrak
gembira. Mereka berharap agar tanah yang telah mereka sewa
sepenuhnya diserahkan kepada mereka. Apalagi setelah Abdullah
Eteng -- anggota Fraksi PDI di DPR-RI yang getol mempersoalkan
sengketa tanah di Sum-Ut -- menyatakan P.T. Dahris tak berhak
menjual-belikan areal konsesitiya.
Dibabat
"Kami berharap tanah itu akan dibagikan kepada para petani,"
kata Banjir Prawoto, yang menjadi juru bicara petani. Dengan
begitu, Banjir berharap petani bisa menjadi small holder dengan
kredit dari pemerintah, seperti di Aek Nabara (Kabupaten Labuhan
Batu, Sum-Ut) dengan kredit Bank Dunia. Tapi harapan Banjir dkk.
tiba-tiba lenyap.
Sebab ternyata Pemda Sum-Ut menyerahkan pengelolaan areal 2.000
ha itu kepada sebuah tim dari Ditjen Agraria, Kanwil Tenaga
Kerja dan Dinas Perkebunan Sum-Ut yang kemudian menyerahkannya
kepada sebuah perusahaan perkebunan P.T. Paya Pinang, dalam
sebuah upacara meriah, 5 November 1979. Dengan rekomendasi
Gubernur Sum-Ut EWP Tambunan, Paya Pinang diizinkan menggarap
700 sampai 1.000 ha dari areal 2.000 ha itu. Petani penyewa tak
puas dan bertekad mempertahankan tanah garapan mereka.
Karena itu ketika traktor-traktor Paya Pinang bergerak, petani
pun segera menanami tanah garapan mereka. Ketegangan timbul.
Tak ayal, Tenteng Ginting turun tangan. Berdialog di Paya Mabar
4 Februari lalu, para petani memeluk bupatinya dengan air mata
sambil meminta agar areal itu dibagikan kepada mereka.
Bupati bermaksud hanya menyediakan 622 ha saja untuk Paya
Pinang. Tapi ternyata areal 622 ha itu juga sudah digarap
petani. Bupati lantas memberi kesempatan petani memelihara
tanaman sampai panen, sementara sebuah tim agraria diturunkan
untuk menginventarisir tanah yang 622 ha itu. Tahu-tahu, begitu
bupati pulang, tanaman petani di lokasi 4 ha dalam areal 622 ha
itu dibabat orang.
PT Paya Pinang mengusahakan perkebunan karet di Paya Pinang dan
kelapa sawit di Mendaris, keduanya dekat Tebing Tinggi. Sejak
HGU P.T. Dahris dicabut, Paya Pinang mengajukan permohonan HGU
kepada Pemda Sum-Ut. Dan Oktober 1979 Gubernur Sum-Ut
mengabulkannya. Tapi sejak petani resah, Paya Pinang
menghentikan kegiatannya.
"Saya tak mau berhadapan dengan petani," kata Abdul Manaf
Nasution, Direksi P.T. Paya Pinang. "Dan berapa areal yang nanti
masih tersisa, itulah yang akan saya terima. Saya masih menunggu
hasil kerja tim inventarisasi," tambah Nasution. Anehnya adalah
Paya Pinang pula yang kabarnya membiayai kerja tim tersebut.
Itulah sebabnya 25 Februari lalu Ghazali MS, anggota Fraksi PDI
di DPRD Sum-Ut meragukan hasil kerja tim itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini