Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dan sekaten pun berlalu ...

Sekatenan, tradisi dalam peringatan maulid nabi muhammad saw, diadakan oleh keraton. pasangan gamelan sekati dan gunungan makanan hasil bumi tak pernah ketinggalan. orang berebut mendapatkan makanan tsb.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA pada duduk dan menggeletak di emperan gerbang masjid besar di alun-alun itu. Mereka adalah Pak Ngalibasah Sontorejo, Mbok Ngali (sering juga dipanggil Mbok Sonto), anak-anak mereka: Bimo (7 tahun), Putri Balkis (5« tahun), Seto (4 tahun), Suharto (2« tahun), dan Siti Rabingu (1 tahun kurang 1 bulan), dan embah. Pak Ngali duduk bersandar pada tembok emperan yang kukuh itu sebentar-sebentar menyedot rokok Djarum dan mengibaskan koran bekas pada anggota keluarganya yang pada bergeletakan di lantai hanya dialas dengan kertas-kertas koran yang sudah pada robek. Lalat, suara orang yang lalu-lalang dan comberan yang terletak tidak terlalu jauh dari mereka agaknya tidak mengganggu kenikmatan mereka tidur berdesakan. Hanya embah yang duduk, tak kunjung berhenti mengunyah sirih Sekaten matanya menatap ke arah pendopo masjid. Sebentar-sebentar Pak Ngali memandangi anak-anak dan istrinya yang dalam kelelapan tidur mereka tidak mempedulikan lagi mainan kodok, ular, wayang kardus dan telur-telur merah yang berantakan di sela mereka. Kadang-kadang saja pandangannya bertatapan sebentar dengan ibunya, si embah, yang meskipun terus-menerus mengunyah sirih Sekaten (yang konon sanggup bikin awet muda), malam itu kelihatan sangatlah abadi tuanya . . . Pasangan gamelan sekati baru saja sejam sebelumnya diangkat kembali masuk ke dalam keraton. Para priyagung diiring prajurit keraton dengan tombak, bedil, tambur, trompet dan seruling telah menjemput sepasang gamelan itu dan mengiringnya masuk kembali ke keraton lewat alun-alun. Alangkah agung dan khidmat dan hebat, pikir Pak Ngali. Ia merasa beruntung tahun ini dapat turun ke kota membawa seluruh keluarganya menyaksikan semuanya itu. Tahun yang lalu dia sial panennya tidak menjadi, utangnya menumpuk mana Pak Lurah terus saja memperingatkannya. Tahun ini meskipun utang itu masih banyak, sudah dapat diangsurnya dan panen jauh lebih baik daripada tahun yang lalu. Kebetulan pula ada kemenakan tetangganya yang dapat mengompreng truk kabupaten untuk dipakai beramai-ramai patungan lima keluarga turun ke kota. Yah, kalau sedang rezeki, ada saja jalannya, pikir Pak Ngali. Tahun yang lalu siapa yang menyana siapa mengimpi bisa rame-rame sekeluarga turun ke kota nonton Sekaten. Dan besok seluruh keluarga akan dikerahkannya ikut mengerumuni gunungan-makanan yang turun dari keraton Ngalap berkah, merebut berkah dari ngarso dalem kanjeng Sultan. Embah sudah wanti-wanti berpesan sebelum meninggal minta diberi kesempatan untuk sekali lagi bisa ngalap berkah itu. Sekarang mereka sekeluarga itu berkumpul di emperan gerbang masjid itu. *** Ada berapa Pak Ngali, Mbok Ngali, embah dan anak-anaknya yang turun ke kota untuk menonton Sekaten sekali setahun begitu? Beratus, beribu, berpuluh-ribu. Mereka yang turun digiring oleh tradisi yang mereka terima dan warisi dari orang tua mereka yang pada gilirannya mewarisinya pula dari orang tuanya. Tidak seorang pun tahu secara pasti hingga berapa generasi ke belakang "skenario" tradisi itu mula-mula diciptakn. Skenario tradisi? Adakah itu? Skenario yang seutuh film konvensional Hollywood tahun empat-puluhan? Tidak. Saya kira tradisi tidak pernah berjalan menurut jalur skenario yang demikian. Ia, skenario itu, saya duga berjalan lebih menurut gaya skenario "urakan" a la neo-realisme Italia dari Rosselini dan Vittorio de Sicca dulu. Yakni skenario yang mengambil bentuk sambil berjalan begitu. Seperti konon waktu de Sicca membuat filmnya yang mashur Pencuri Sepeda itu. Film itu dibikin hanya berdasar satu plot yang garis besar dan lentur sekali. Kemudian film itu "membentuk sendiri" menurut sikon yang ditemui de Sicca sebagai sutradara dan penulis skenario. Tradisi Sekaten bagaimana? Siapa yang menulis skenario Sekaten sebagai dakwah Islam a la Sunan Kalijogo? Siapa pula yang kemudian menggabungkannya dan membumbuinya dengan tradisi ngalap berkah gunungan makanan dari raja-raja Jawa itu? Tetapi siapa pula yang dapat menceritakan secara pasti bahwa gunungan makanan yang terdiri dari aneka rupa makanan hasil bumi itu ditempelkan kemudian bersama dengan dakwah Maulid Nabi Muhammad S.A.W. menurut gaya Sunan Kalijogo. Apakah bukan sebaliknya, di mana upacara gunungan makanan itu justru kelanjutan dari upacara masyarakat pertanian dahulu kala yang mengalami hogere optrekking ke tingkat keraton yang kemudian disesuaikan dengan datangnya Islam di Jawa'? Jika begitu skenario Sekaten itu adalah skenario hersama antara raja dan ulama dalam rangka menjaga ekuilibrium baru sesudah Islam masuk? Wallahuallam bissawab . . . Apa pun itu Sekaten masih hidup dengan ramai dan sehatnya. Orang masih terus berjubel datang memenuhi alun-alun memenuhl halaman dan emperan gerbang masjid. Orang-orang dan anak-anak masih tetap lalu-lalang, jajan, mengunyah sirih dan berhenti sejenak mendengarkan suara gamelan kiai dan Nyai Sekati yang pelan dan khidmat iramanya itu. Sementara di serambi masjid bergantian orang berkhotbah tentang hikmah hari lahir Nabi. Seperti pertunjukan wayang kulit di desa mereka, orang-orang itu menghayati semua itu dalam satu keseluruhan jagad. Mungkin bukanlah satu kebctulan pula bila seorang Ngalibasah Sontorejo yang beranak Bimo, Putri Balkis dan sebagainya itu bernama demikian "sinkretis" dan merupakan pendukung yang taat dan gembira dari budaya yang demikian. Sementara di desanya sendiri jagad itu telah berbau pestisida, insektisida, urea, Kredit Bimas, KUD, BUUD, KB, dan yang terakhir koran masuk desa . . . *** Keesokan harinya gunungan makanan itu diperebutkan di halaman masjid. Pak Ngali -- untuk kesekian kali -- merasa beruntung dapat merebut beberapa potong makanan dari gunungan itu. Seorang turis bule -- yang jelas bukan urusannya -- maunya ikut-ikutan ngalap berkah dengan menyodok Mbok Ngali. Karuan saja Pak Ngali gusar. Dengan sekali sodok, tangan dan bahu petaninya yang kukuh itu menghalau sang turis bule. Secuwil terong dan kacang panjang jatuh di tangan Pak Ngali yang berseri-seri mukanya penuh kebahagiaan. Dalam perjalanan pulang, di atas truk, di antara keluarganya dan tetangga-tetangganya yang terkantuk-kantuk di bawah sinar matahari yang terik, transistor salah seorang penumpang itu mengeluarkan lagu gending ciptaan K(anjeng) R(aden) T(umenggung) Wasitodipuro: modernisasi desa, modernisasi desa-a-aaa . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus