Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

4 Orang Tewas Terlibat Carok di Bangkalan, Ini Tradisi Bela Harga Diri Masyarakat Madura

Empat orang tewas setelah terlibat carok di Bangkalan, Madura, Jawa Timur pada Jumat malam, 12 Januari 2024 lalu. Apa itu Carok?

23 Januari 2024 | 12.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Empat orang tewas setelah terlibat carok di Bangkalan, Jawa Timur pada Jumat malam, 12 Januari 2024 lalu. Korban adalah Matterdam, Mattanjar, Najehri, dan Hafid warga Desa Larangan Timur. Nyawa mereka melayang setelah melawan Hasan Busri dan Mochamad Wardi dalam gelut maut tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dua tersangka adalah kakak-adik warga Desa Bumianyar,” kata Kepala Kepolisian Resor Bangkalan Ajun Komisaris Besar Febri Isman Jaya, kepada media, Senin, 15 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa itu Carok?

Disadur dari buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002), oleh A. Latief Wiyata, carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, ecacca erok-orok yang berarti dibantai atau mutilasi. Secara definitif, carok adalah sebuah tradisi menyabung nyawa dalam menyelesaikan suatu konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat suku Madura.

Masyarakat Madura memegang teguh peribahasa “katembheng pote mata ango’a poteya tolang” yang memiliki arti “daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah”. Peribahasa ini melekat pada tiap insan masyarakat Madura yang menandakan upaya mempertahankan harga diri dari tiap individu masyarakat Madura sangatlah tinggi.

Tradisi carok dianggap sebagai salah satu cara menyelesaikan suatu perkara yang menyangkut harkat dan martabat. Pada praktiknya, carok dilakukan baik antar perseorangan, kelompok, bahkan antar keluarga. Penyebab terjadinya carok biasanya dikarenakan harga diri, perebutan takhta di keraton, perselingkuhan, hingga sengketa tanah.

Pada umumnya, carok dilakukan antar laki-laki yang dianggap telah melakukan suatu pelecehan harga diri yang memalukan. Biasanya masyarakat Madura menggunakan senjata tradisional khas suku Madura, yaitu “Celurit”. Celurit yang dipakai untuk carok sendiri berupa senjata tajam berbentuk melengkung yang awalnya digunakan untuk menyabit rumput.

Sebenarnya, carok dilakukan masyarakat Madura tidak dengan secara asal tebas. Ada peraturan dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sebelum seseorang ingin melakukan carok sebagai penyelesaian perkara. Pemicu utama dari budaya carok adalah ketika harga diri dan martabat seseorang terlukai, tercemar, ataupun terinjak-injak.

Dalam tradisi carok sendiri memang terdapat suatu pelanggaran hukum, yakni pembunuhan. Akan tetapi, pembunuhan dalam carok tidak mudah disebut sebagai pembunuhan karena dalam carok itu sendiri terkandung nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat adat Madura.

Sejarah carok

Dinukil dari studi Budaya Carok Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat (2017) oleh Syamsul Arifin dari STAIN Kudus, meskipun telah dilakukan secara turun temurun, istilah carok belum muncul baik pada abad 12 M, masa di mana kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat hingga pada abad 17 M, masa pemerintahan Penembahan Semolo.

Istilah carok mulai muncul di masa kolonial Belanda sekitar abad ke-17 M. Pada masa itu, Belanda menduduki Nusantara termasuk wilayah pulau Madura tanpa terkecuali. Banyak peristiwa dengan kekerasan yang menyasar kepada masyarakat Madura. Terutama ketika kongsi dagang VOC menginjakkan kaki di Madura untuk pertama kalinya.

Sejarah carok dapat ditelusuri melalui cerita rakyat Madura yang berkembang. Carok bermula ketika terjadi perkelahian antara Sakera yang merupakan mandor tebu di pabrik gula milik Belanda dengan Brodin, Markasan dan Carik Rembang yang merupakan antek-antek Belanda. Carik Rembang pada saat itu diperintahkan oleh Belanda untuk mencarikan lahan guna ekspansi pabrik gula.

Carik Rembang pun melakukan cara licik. Dia melakukan teror kepada pemilik tanah guna mendapatkan harga murah. Cara kekerasan hingga iming-iming kekayaan juga digunakan untuk membujuk pemilik tanah untuk menjual tanahnya. Melihat kejadian tersebut, Sakera terketuk hatinya untuk membela masyarakat kecil. Sakera mengupayakan berbagai hal untuk menggagalkan usaha Carik Rembang.

Hingga pada suatu ketika Carik Rembang melaporkan Sakera kepada pihak Belanda. Mengetahui ada pihak yang mengganggu upayanya, Belanda pun ingin membunuh Sakera dengan menyuruh Markasan. Markasan pun menemui Sakera pada jam istirahat di pabrik tebu untuk mengajak Sakera ecacca erok-orok. Adu kekuatan inilah yang kemudian hari berkembang menjadi carok.

Konon di wilayah Madura pedalaman, tradisi carok ini sampai turun temurun. Keluarga korban carok akan menyimpan baju mendiang di rumah tetangganya, yang kelak akan diperlihatkan pada anak korban setelah dewasa. Anak yang bersangkutan akan menuntut balas dengan mencari dan membunuh pembunuh ayahnya, dan begitu seterusnya sampai keturunan selanjutnya.

Carok di mata masyarakat Madura

Dikutip dari studi Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura (2015) dalam jurnal El Harakah, carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu) atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak 1970-an terdapat pergeseran, carok kadang kala dilakukan secara nyelep.

Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep, etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutali dan egois. Tradisi carok sendiri telah membawa konotasi negatif terhadap masyarakat Madura. Orang Madura acap dikaitkan dengan perilaku yang kasar dan arogan, bahkan menakutkan. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, memberikan citra buruk pada masyarakat Madura.

Meski masyarakat Madura dikonotasikan negatif, studi pada 2015 tersebut menunjukkan hasil sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan empat sikap individu terhadap carok meliputi: 75 persen tidak senang memiliki tradisi carok, 60 persen tidak melakukan carok, 77,38 persen, menyelesaikan persoalan secara bijak tanpa carok, dan 77,40 persen tidak melakukan carok karena taat terhadap hukum negara dan agama.

Penelitian juga mengategorikan lima sikap kelompok orang Madura terhadap carok meliputi: 64,16 persen menerima carok bukanlah budaya orang Madura, 81,11 persen menyatakan masyarakat Madura cinta damai, 86,11 persen menyatakan carok tidak mewakili orang Madura, 82,44 persen menerima carok merupakan perbuatan keji dan melanggar hukum, dan 76,11 persen menyatakan akan menyelesaikan persoalan secara bijak tanpa carok.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus