Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bela Harga Diri Sampai Mati, Ini 5 Penyebab Carok di Madura Menurut Penelitian

Pada Jumat malam, 12 Januari 2024 lalu, empat orang tewas setelah terlibat carok di Bangkalan, Madura. Berikut beberapa penyebab carok. Apa saja?

23 Januari 2024 | 19.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada Jumat malam, 12 Januari 2024 lalu, empat orang tewas setelah terlibat carok di Bangkalan, Jawa Timur. Mereka adalah Matterdam, Mattanjar, Najehri, dan Hafid warga Desa Larangan Timur. Nyawa para korban melayang setelah melawan Hasan Busri dan Mochamad Wardi dalam gelut maut tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dua tersangka adalah kakak-adik warga Desa Bumianyar,” kata Kepala Kepolisian Resor Bangkalan Ajun Komisaris Besar Febri Isman Jaya, kepada media, Senin, 15 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membahas soal carok, apa sebenarnya penyebab gelut maut yang menjadi tradisi di Madura ini?

Disadur dari buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2006), oleh A. Latief Wiyata, carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, ecacca erok-orok yang berarti dibantai atau mutilasi. Secara definitif, carok merupakan tradisi menyabung nyawa dalam menyelesaikan suatu konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat suku Madura.

Penyebab terjadinya carok biasanya dikarenakan harga diri tercoreng, perebutan takhta di keraton, perselingkuhan, hingga sengketa tanah. Masyarakat Madura memang menjunjung tinggi harga diri. Sebab mereka berpegang teguh pada peribahasa “katembheng pote mata ango’a poteya tolang”, artinya “daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah”.

Peribahasa ini melekat pada tiap insan masyarakat Madura yang menandakan tingginya upaya mempertahankan harga diri dari tiap individu masyarakat Madura. Tradisi carok dianggap sebagai salah satu cara menyelesaikan suatu perkara yang menyangkut harkat dan martabat. Pada praktiknya, carok dilakukan baik antar perseorangan, kelompok, bahkan antar keluarga.

Penyebab terjadinya carok menurut penelitian

Berikut penyebab terjadinya carok, menurut penelitian dalam jurnal Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura (2015) oleh Rokhyanto dan Marsuki dari IKIP Budi Utomo Malang dalam El Harakah Vol.17 No.1 Tahun 2015:

1. Perempuan atau istri

Salah satu motif carok bisa terjadi karena persoalan perempuan atau istri. Hal ini pernah berlaku pada 1985 di Desa Pandian Sumenep antara Ismail dan Abdul Rapik. Motifnya adalah istri Ismail digoda oleh Abd Rapik yang pada akhirnya keduanya saling mencintai. Ismail yang tidak terima lalu menantang Abdul Rapik untuk carok. Beruntung keduanya tidak sampai meninggal dunia dan hanya mengalami luka.

2. Kesalahpahaman

Carok juga bisa terjadi karena kesalahpahaman. Kasusnya pernah terjadi pada Ahad malam, 1 November 2009 silam di Desa Bulangan Timur Kecamatan Pegantenan Pamekasan, Madura. Bukan perorangan, carok tersebut terjadi massal antara dua kelompok yang dipimpin oleh Ustadz Ruslan warga desa Tebul Timur yang berprofesi sebagai guru madrasah dengan Rusdi warga Desa Bulangan Timur Kecamatan Pegantenan Pamekasan.

Motif peristiwa carok ini adalah kesalahpahaman yang bermula dari pemukulan keponakan ustadz Ruslan yang bernama Muzakki oleh Rusdi pada 30 Oktober 2009, satu hari sebelum kejadian. Carok ini menyebab satu orang meninggal dunia dan 3 orang luka-luka.

3. Rebutan tanah atau warisan

Carok juga disebabkan oleh persoalan warisan dan tanah. Salah satu kasus motif ini terjadi pada Rabu 12 Juli 2007. Kala itu terjadi carok massal di Desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar Kabupaten Pamekasan yang melibatkan dua kubu antara Kepala Desa Bujur tengah, Mursyidin dengan mantan Kepala Desa Bujur Tengah, Baidlowi.

Peristiwa carok massal ini bermula dari sengketa lahan tembakau seluas 5,8 hektare yang dikenal sebagai tanah bengkok. Masyarakat desa percaya, tanah itu adalah peninggalan Kerajaan Majapahit yang kemudian menjadi aset desa atau percaton. Akibat dari perselisihan ini, terjadilah carok massal yang pada akhirnya menewaskan sedikitnya delapan warga Desa Bujur Tengah Batu Marmar, Pamekasan, Madura, termasuk Mursyidin dan ibunya.

4. Agama atau keyakinan

Carok di pulau Madura kadang kala bisa terjadi disebabkan oleh persoalan agama atau keyakinan. Menurut Rokhyanto dan Marsuki, persoalan agama dianggap sesuatu yang sangat vital dalam masyarakat Madura, khususnya agama Islam. Bahkan perbedaan paham bagi sebagian orang Madura yang mengarah pada pelecehan atau penghinaan agama dapat menyebabkan konflik horizontal yang menyulut terjadinya carok.

Mengambil hak orang lain atau mencuri menjadi salah satu pemicu dan motif terjadinya carok di Madura. Salah satu kasus carok karena motif ini pernah terjadi di Desa Batuan Sumenep di 1960. Peristiwa ini bermula dari dua orang yang bernama Tajir dan Ismail. Pada suatu ketika, Tajir yang bekerja di luar kota menitipkan uang, pakaian, dan barang-barang kebutuhan lainnya untuk istri dan keluarga di Sumenep kepada Ismail yang ingin pulang kampung.

Pada suatu ketika Tajir menanyakan kepada keluarganya tentang uang dan barang titipan yang dikirimkan melalui Ismail tersebut. Tetapi sang istri menjawab bahwa tak ada satu pun kiriman itu yang ia terima.

Mendengar masalah ini, Tajir segera mendatangi Ismail dan menanyakan perihal kiriman tersebut. Karena sudah terlanjur malu, Ismail langsung menantang Tajir bercarok. Dalam duel carok ini, Ismail tewas sedangkan Tajir dihukum dan mendekam di Nusa Kambangan.

Penyebab terbanyak terjadinya carok menurut penelitian

Menurut penelitian Rokhyanto dan Marsuki tersebut, dari kelima motif ini, persoalan perselingkuhan memicu paling banyak terjadinya carok di Madura. Menurut hasil wawancara peneliti dengan beberapa tokoh masyarakat Madura, persoalan perempuan kebanyakan memicu terjadinya carok.

Kasus perselingkuhan disebut sebagai ebacco atau tidak bisa dicuci. Sedangkan motif lainnya masih bisa dilakukan pertimbangkan.

Kesimpulan tersebut serupa dengan penelitian sebelumnya oleh A. Latief Wiyata yang dituangkan dalam buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2006). Studi Wiyata menunjukkan bahwa persoalan perempuan merupakan motif yang sangat rawan mengundang terjadinya carok, hingga 60,4 persen. Diikuti kesalahpahaman 16,9 persen, dan motif hutang piutang dan tanah warisan masing-masing menunjukkan 9,2 persen dan 6,7 persen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus