LIMA orang petani dari Desa Patimuan (Kecamatan Gedungreja)
Kabupaten Cilacap datang ke DPR di Jakarta Selasa akhir Oktober.
Senin 6 Nopember, Jumri AS, seorang di antaranya datang lagi
dengan ditemani 3 orang anggota DPRD Cilacap termasuk Wakil
Ketua Djuwari. Kepada fraksi PDI di DPR Pusat mereka minta
tolong, "agar keresahan yang menimpa 5000 kepala keluara petani
di desa itu diatasi," sebagaimana dikatakan Djuwari kepada Aris
Amiris dari TEMPO.
Ceritanya, lima ribu keluarga petani itu sudah menempati seluas
kira-kira 6.000 hektar tanah negara sejak zaman pendudukan
Jepang. Di antaranya 4.500 hektar diolah sebagai sumber nafkah,
sisanya jadi perkampungan dan sebagian masih berupa rawa.
Bertahun-tahun tak ada persoalan. Tahun 1960, Pemda memungut
luran Pembangunan Daerah (Ipeda) atas tanah itu. Mereka bukan
saja memenuhi, bahkan gembira. Dengan dipungutnya Ipeda, hak
penggarapan tanah itu terlindungi fikir mereka.
Mendadak, tahun 1972 Perhutani mengaku punya hak pemilikan atas
tanah tadi. Petani mengadu kepada DPRD setempat. DPRD Cilacap
melaporkannya ke DPRD Jawa Tenah. Tak jelas betul instansi mana
yang kemudian bertindak. Pokoknya tahun 1973 tanah menjadi milik
Perhutani. Petani tak sepenuhnya ditinggalkan. Dengan syarat
menyetor 8 kwintal hasil panen setiap musim, mereka boleh
menggarap tanah itu terus.
Saya Berjanji
Ketimbang luput petani menerima. Tapi mereka terus berikhtiar
agar tanah itu menjadi milik masing-masing. Sampailah kemudian
dua tahun lalu, Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya waktu itu
ditemani Gubernur Ja-Teng Supardjo, datang ke Desa Patimuan
dengan helikopter. Di depan 30 ribu penduduk desa berkata Thoyib
"Saya berjanji masalah tanah ini segera akan diselesaikan."
Tapi persoalan tak kunjung selesai. Sampai Thoyib sendiri tak
tercantum namanya dalam susunan Kabinet Pembangunan III
sekarang. Karena itu sampailah para petani dan anggota DPRD
setempat di Senayan Jakarta. "Mereka berangkat tanpa
sepengetahuan saya maupun Camat," kata Lurah U. Suryono kepada
TEMPO.
Yang pergi tanpa sepengetahuan Lurah adalah 5 petani Jumri AS,
Majardi, Japawira, Sanwikrama dan Sanduri. Lurah tidak
mengatakan apakah salah kalau rakyat mengadu kepada wakilnya di
Jakarta.
Sebelum para petani itu sampai di Jakarta, sepucuk surat sudah
dilayangkannya lebih dulu 5 Oktober 1978 kepada fraksi PDI di
DPR. Entah tersangkut di mana fraksi PDI tidak menerimanya. Maka
petani datang langsung.
"Kasus serupa pernah terjadi di Sukabumi. Masalahnya mungkin
akibat perluasan perkebunan," ucap Sabam Sirait dari fraksi PDI
di DPR Pusat. "Kalau anggaran yang ada dipakai membuka tanah
baru, mungkin habis. Untuk itu rupanya lebih baik menekan si
Polan yang tanahnya sudah dikerjakan dengan mengeksploitir
kelemahan hukum yang terdapat pada rakyat," Sabam menambahkan.
Kepada petani dan anggota DPRD Cilacap Sabam akhirnya bilang,
DPR akan mempermasalahkan soal tanah dengan Pemerintah. Selain
kasus Cilacap disebutnya juga kasus Halim 'Perdanakusuma',
'Cengkareng' dan 'Indramayu'.
Sementara itu menurut sumber TEMPO di Perhutani, sejak dahulu
instansi ini sudah memiliki peta-peta hutan di Pulau Jawa.
Termasuk di antaranya kawasan Desa Patimuan itu. Tapi di zaman
Jepang, rakyat di sekitar sana diberi izin oleh pemerintah
pendudukan Jepang untuk menebang kayu yang ada. Kayu-kayu ini
selain dipakai untuk bahan bakar juga waktu itu diekspor ke
Jepang. Sebagai balas jasa bagi rakyat penebang (karena mereka
tidak diupah), pemerintah pendudukan Jepang memperkenankan
rakyat disana untuk menanami hutan yang telah diambil kayunya
tadi dengan padi atau tanaman perkebunan lainnya.
Jika 1972 pihak Perhutani mengingatkan lagi bahwa tanah desa itu
milik instansi ini, demikian sumber TEMPO, adalah dalam rangka
memperbanyak areal hutan di Pulau Jawa. Sebab sebagaimana
diketahui areal hutan di pulau ini hanya tinggal sekitar 22%
dari luas seluruhnya. Padahal -- malahan Presiden Soeharto
sendiri baru-baru ini mengajurkan -- seharusnya areal hutan itu
paling sedikit 30%. "Karena Perhutani merasa kawasan desa itu
miliknya, maka wilayah itulah yang diincer untuk dihutankan"
ucap sumber tadi.
Tapi diakui sumber itu pula bahwa hingga saat ini sebenarnya
masih diteliti wilayah-wilayah mana tanah Perhutani yang boleh
dihutankan kembali atau dibiarkan sebagai tanah pertanian.
"Barangkali saja dari hasil penelitian itu nanti Desa Patimuan
dinilai sudah cocok untuk pertanian" kata sumber itu lagi. Yang
pasti disebutkan, jikapun pada akhirnya kawasan itu akan
dihutankan oleh Perhutani, maka warga desa yang 5.000 KK itu tak
akan ditelantarkan. "Paling tidak mereka akan ditransmigrasikan"
tutur sumber tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini