Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa pengeboman di Gedung McDonald House di Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965 berujung vonis hukuman mati terhadap dua Marinir Indonesia. Keduanya adalah Kopral Dua Harun Tohir bin Mandar dan Sersan Dua Usman Janatin Bin Hj Mohd Ali, prajurit Korps Komando Operasi (KKO). Usman dan Harun dihukum gantung Pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968, kejadian itu membuat hubungan Indonesia dan Singapura merenggang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman dan Harun terbukti bertindak sebagai pelaku pengeboman yang menewaskan tiga nyawa dan puluhan lainnya luka-luka tersebut. Kala kejadian, The Hongkong and Shanghai Bank yang terdapat di gedung tersebut sebenarnya sudah tutup 7 menit sebelumnya. Namun, tak kurang dari 150 karyawan masih melakukan pencatatan transaksi saat itu. Dua orang tewas di tempat sementara satu korban lagi tewas setelah koma beberapa hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman dan Harun meletakkan bahan peledak di tangga lantai mezzanine dekat area lift. Setelah memasang pengatur waktu, keduanya meninggalkan bangunan sekitar pukul 15.00 menggunakan bus. Ledakan bom membuat bangunan rusak parah. Kantor Komisi Tinggi Australia yang juga ada di dalam bangunan turut berantakan. Bahkan kaca jendela bangunan lain berjarak 100 meter pun juga hancur. Pemeriksaan pada bangunan menunjukkan, sembilan hingga 11 kilogram bahan peledak nitrogliserin digunakan dalam pemboman.
Tindakan Usman dan Harun dipandang Singapura sebagai terorisme, namun bagi Indonesia, keduanya adalah pahlawan. Upaya pengeboman itu Usman dan Harun lakukan atas nama tugas negara. Kala itu, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia. Kemudian pada 20 Oktober 1965, divonis bersalah dan dihukum mati.
Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, ziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 1973. Pada kunjungan tersebut, Lee Kuan Yew menaburkan bunga ke makam Usman dan Harun. Dok. TEMPO/Syahrir Wahab
Soeharto Minta Lee Kuan Yew Tabur Bunga
Melalui hubungan diplomatik, Soeharto kemudian menunjuk Kepala Perwakilan RI di Singapura, cikal bakal Kedutaan Besar RI di Singapura, Letnan Kolonel Angkatan Darat Abdul Rachman Ramly untuk meminta Singapura agar tidak menghukum mati Usman dan Harun.
Namun Pemerintah Singapura bersikukuh menghukum mati keduanya. Upaya Pemerintah Indonesia agar Usman dan Harun tak dihukum mati terus dilakukan. Bahkan Soeharto secara terbuka meminta kepada Pemerintah Singapura untuk mengubah keputusan tersebut.
Namun, kendati Pemerintah Singapura mengatakan akan mempertimbangkan permintaan tersebut, sepuluh hari berselang setelah diterimanya surat Soeharto, Singapura mengabarkan tetap akan meneruskan hukuman mati Usman dan Harun.
Peristiwa tersebut membuat hubungan kedua negara menjadi tak harmonis. Bahkan, menjelang hukuman gantung, Pemerintah Indonesia menarik seluruh staf kedutaan Indonesia. Kapal-kapal milik Indonesia pun pulang membawa warga negara Indonesia dari Singapura.
Pun di dalam negeri, mahasiswa tengah bersiap menduduki kantor perwakilan Singapura di Indonesia. Namun, upaya perdamaian dua negara bertetangga ini tetap dilakukan. Dua tahun setelah pemberian hukuman mati kepada Usman dan Harun, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia.
Menurut Ramly, Presiden Soeharto lalu mengajukan syarat jika Singapura ingin memperbaiki hubungan. Salah satunya, Perdana Menteri Lee Kuan Yew harus berziarah ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan.
Soeharto meminta Lee Kuan Yew menabur bunga di makam kedua prajurit marinir tersebut. Bukan meletakkan karangan bunga di kaki tugu makam, seperti layaknya tamu negara lain yang datang ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Ini syarat yang tak lazim. Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee Kuan Yew setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun,” kata Ramly dalam pernyataan tertulisnya di buku Pak Soeharto The Untold Story. Setelah kejadian tersebut, menurut Ramly, hubungan Indonesia dan Singapura pun berangsur membaik.
Selanjutnya: Singapura Protes Penamaan KRI Usman Harun
KRI Usman Harun
Namun, pada 2014 hubungan Indonesia dan Singapura kembali runyam. Pemerintah Singapura mengkritik keputusan Pemerintah Indonesia penamaan pada salah satu kapal perang milik TNI AL. Fregat yang baru dibeli dari Inggris itu dinamai KRI Usman Harun.
Singapura keberatan lantaran Usman dan Harun dianggap sebagai teroris yang meledakkan gedung di Singapura dan dihukum mati atas perbuatannya. Menurut Menteri Luar Negeri Singapura, K Shanmugam, penamaan ini akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban dalam peristiwa pengeboman.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Luhut Binsar Pandjaitan saat itu menilai penamaan KRI Usman Harun adalah hak Indonesia. Luhut menilai wajar keputusan Indonesia sebagai negara yang memberikan penghargaan bagi pahlawannya. “Mereka mengebom karena tugas negara. Perlu digarisbawahi, saat itu konteksnya kita sedang perang,” kata Luhut kepada Tempo, Sabtu, 8 Februari 2014.
Menurut Luhut, penamaan KRI Usman Harun tak akan mengganggu hubungan Indonesia dan Singapura. Dia menilai masyarakat kedua negara tak lagi mempersoalkan pengeboman di gedung Shanghai dan Hongkong Bank pada 1965 tersebut. Luhut kala itu juga menyatakan penamaan KRI 359 dengan nama KRI Usman Harun juga tak layak dipergunjingkan karena berada di wilayah kedaulatan Indonesia. “Singapura sangat berlebihan,” kata Dubes Singapura 1999 hingga 2000 ini.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.