Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan pemilihan kepala daerah serentak 2018 tidak sesuai dengan realitas yang dibayangkan. Sebab, banyak penyelenggara dan calon kepala daerah dalam pilkada tertangkap tangan melakukan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sudah bisa disebut darurat integritas pilkada. Sebab, baik penyelenggara maupun calon banyak yang tertangkap karena korupsi," kata Donal dalam diskusi bertema “Darurat Integritas Pilkada” di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Donal berujar, dalam dua bulan terakhir, ada delapan calon kepala daerah yang diciduk karena korupsi. Bahkan, dari yang diciduk tersebut, empat di antaranya masih aktif sebagai kepala daerah di tempatnya mencalonkan.
Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2010-2018, terdapat 242 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Sedangkan pada 2010-2017, ada 72 penyelenggara pemilu yang ditangkap karena menerima suap.
Menurut Donal, perilaku korup yang dilakukan penyelenggara dan calon kepala daerah terjadi karena kontestasi pilkada yang memerlukan biaya mahal. Ditambah lagi, sebagian partai meminta uang kepada kandidat yang ingin maju dalam pilkada. "Ada satu kursi partai nilainya ratusan sampai miliaran rupiah. Itu akan dikonversi menjadi suara," ucap Donal.
Di sisi lain, Donal menuturkan pengeluaran tertinggi dalam pilkada serentak ada pada pengeluaran ilegal, seperti mahar politik, jual-beli suara, dan suap penyelenggara. "Serta biaya yang tidak urgen, seperti pendanaan saksi," katanya.
Kalaupun proses pemilihan kepala daerah tidak dilakukan lewat pilkada serentak, Donal menilai biaya yang dibutuhkan calon tetap akan mahal. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
"Justru akan memakan biaya lebih besar lagi. Sebab, akan membeli kursi yang pasti. Kalau pilkada langsung membeli ke partai, tetap masyarakat yang menentukan kemenangan," ujar Donal. "Kalau beli ke DPRD, akan lebih mahal, karena membeli yang langsung jadi, tinggal beli suara plus satu."