Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

8 Calon Kepala Daerah Kena OTT, ICW: Darurat Integritas Pilkada

Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2010-2018, terdapat 242 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi.

3 Maret 2018 | 09.12 WIB

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Donal  Fariz(kiri) dan Peneliti Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina(tengah) memaparkan hasil  evaluasi kerja Pansus Angket DPR untuk KPK di Sekretariat ICW, Jakarta,  27 Agustus 2017. Tempo/ Hendartyo Hanggi
Perbesar
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz(kiri) dan Peneliti Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina(tengah) memaparkan hasil evaluasi kerja Pansus Angket DPR untuk KPK di Sekretariat ICW, Jakarta, 27 Agustus 2017. Tempo/ Hendartyo Hanggi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan pemilihan kepala daerah serentak 2018 tidak sesuai dengan realitas yang dibayangkan. Sebab, banyak penyelenggara dan calon kepala daerah dalam pilkada tertangkap tangan melakukan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Sudah bisa disebut darurat integritas pilkada. Sebab, baik penyelenggara maupun calon banyak yang tertangkap karena korupsi," kata Donal dalam diskusi bertema “Darurat Integritas Pilkada” di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Maret 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Donal berujar, dalam dua bulan terakhir, ada delapan calon kepala daerah yang diciduk karena korupsi. Bahkan, dari yang diciduk tersebut, empat di antaranya masih aktif sebagai kepala daerah di tempatnya mencalonkan.

Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2010-2018, terdapat 242 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Sedangkan pada 2010-2017, ada 72 penyelenggara pemilu yang ditangkap karena menerima suap.

Menurut Donal, perilaku korup yang dilakukan penyelenggara dan calon kepala daerah terjadi karena kontestasi pilkada yang memerlukan biaya mahal. Ditambah lagi, sebagian partai meminta uang kepada kandidat yang ingin maju dalam pilkada. "Ada satu kursi partai nilainya ratusan sampai miliaran rupiah. Itu akan dikonversi menjadi suara," ucap Donal.

Di sisi lain, Donal menuturkan pengeluaran tertinggi dalam pilkada serentak ada pada pengeluaran ilegal, seperti mahar politik, jual-beli suara, dan suap penyelenggara. "Serta biaya yang tidak urgen, seperti pendanaan saksi," katanya.

Kalaupun proses pemilihan kepala daerah tidak dilakukan lewat pilkada serentak, Donal menilai biaya yang dibutuhkan calon tetap akan mahal. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

"Justru akan memakan biaya lebih besar lagi. Sebab, akan membeli kursi yang pasti. Kalau pilkada langsung membeli ke partai, tetap masyarakat yang menentukan kemenangan," ujar Donal. "Kalau beli ke DPRD, akan lebih mahal, karena membeli yang langsung jadi, tinggal beli suara plus satu."

Imam Hamdi

Bergabung dengan Tempo sejak 2017, setelah dua tahun sebelumnya menjadi kontributor Tempo di Depok, Jawa Barat. Lulusan UPN Veteran Jakarta ini lama ditugaskan di Balai Kota DKI Jakarta dan mendalami isu-isu human interest.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus