AWAL Juli lalu Pangdam I/Iskandarmuda Brigjen R.A. Saleh
memerintahkan "tangkap hidup atau mati 9 tokoh gerombolan Hasan
Tiro." Dalam seruan yang dicetak offset di lembaran kertas
kwarto, tertera pula foto 9 tokoh tersebut. Seruan itu
lengkapnya: "Jika saudara ingin agar daerah aman dan tenteram,
cari dan tangkap hidup atau mati tokoh-tokoh pengacau liar Hasan
Tiro, terdiri dari Hasan Tiro, Dr. Muchtar Hasbi, Daud Paneuk,
ir Asnawi, Ilyas Leube, dr Zaini, dr Husaini, Amir Ishak dan dr
Zubir Mahmud. Barangkali mereka berada di kampung
saudara/berjumpa dengan saudara, serahkan mereka kepada pos-pos
TNI terdekat".
Sulitkah mereka ditangkap? Menurut Pangkowilhan I Letjen G.H.
Mantik Kamis lalu, "mereka sudah terpencar-pencar dalam kelompok
kecil". Untuk menangkap, kata Mantik, "kini dilakukan operasi
mengejar mereka". Kata Mantik pula, "tokoh terkenalnya hanya 9
orang itu". Sebagai "panglima" memang Hasan Tiro yang konon
memang masih sembunyi di hutan Aceh.
Sebuah sumber di Kowilhan I mengatakan, "sebenarnya mereka sudah
diberi waktu untuk menyerah secara baik-baik". Rupanya seruan
ini tak digubris. Batas waktu turun dari hutan itu kabarnya
sampai 20 Pebruari lalu. Tapi karena tidak mendapat tanggapan,
akhirnya Pangdam I menyebarkan pamflet tersebut sampai ke
kampung-kampung.
Sekitar Juni 1976, Hasan Tiro yang sudah warga negara Amerika
Serikat, kembali sebentar ke Aceh. Katanya sambil melihat
kampung halamannya kabarnya memang atas usaha seorang pejabat
penting dan tidak membayangkan kalau Hasan punya niat lain.
Ketika di lapangan terbang Polonia, Medan, menuju Banda Aceh,
Hasan juga bilang: "Saya ingin menanam modal dan ambil bagian
untuk membangun Aceh". Kemudian dia kembali ke AS dan tak
terdengar lagi apa kegiatannya.
Tapi pada 4 Desember 1976, atas nama Keutuha Angkatan Atjeh
Meurdehka (Pimpinan Angkatan Aceh Merdeka) Hasan Tiro
"memproklamirkan " gerakannya. "Proklamasi" itu selain ditulis
dalam bahasa Inggris juga ada terjemahannya dalam bahasa Aceh,
ditujukan kepada "keu bangsa-bangsa donja" alias seluruh
bangsa-bangsa di dunia.
Jauh sebelum itu ia sudah mengarang buku Atjeh Bak Mata Donja
(Aceh Di Mata Dunia yang antara lain menyebutkan, Aceh tak
pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda -- tidak seperti
daerah-daerah lain. Sehingga "berhak berdiri sendiri sebagai
suatu negara". Dan pada tahun 1973 dia juga menyalin pidatonya
ke dalam bahasa Aceh untuk memperingati "Perang 100 Tahun Aceh
Melawan Belanda", yang dimulai 23 April 1873, diterbitkan oleh
apa yang disebutnya "Institut Aeeh Di Amerika", dan secara
diam-diam ia sebarkan ke Aceh.
Mungkin termakan isi brosur-brosur yang ditulis Hasan Tiro itu
maka menjelang akhir tahun lalu di Aceh terdengar ada
gerakannya. Dan yang membuat orang kaget di Aceh, justru
"adanya gerakan" itu sehabis membaca harian Waspada Medan yang
menyebut pusat gerakan itu berada di Paru, Aceh idie. Kemudian
meledak lagi, setelah terjadi penembakan terhadap dua warga AS
di proyek LNG Arun di Aceh Utara. Salah seorang di antara korban
tadi meninggal. Setelah kejadian 6 bulan lalu itu, sejumlah
anggota RPKAD diterjunkan ke sana. Beberapa daerah di Aceh Pidie
dan Aceh Utara pun dinyatakan "rawan". Apalagi di beberapa
tempat, orang-orang Hasan Tiro itu berhasil pula mengibarkan
bendera gerakannya -- siang hari pula.
Bedil Tua
Tapi adakah di beberapa tempat di sana masih "rawan"? Ternyata
gerakan itu tidak mendapat tanggapan luas. Semula memang
mempunyai sejumlah pengikut, apalagi setelah Hasan berjanji akan
memberikan "gaji dan senjata yang tak berbunyi." Juga
didengungkan tentang Gaddafi dari Libia yang bakal mengirimkan
bantuan uang dan senjata. Ternyata janji itu, kata salah seorang
pengikut Hasan Tiro yang sudah lama menyerah, "nihil". Sementara
itu sekitar 3 bulan lalu, Ayah Sabi -- salah seorang anggota
gerakan Hasan Tiro di Panton Labu berikut pengikutnya menyerah
dan kembali disumpah di Lhokseumawe. Menurut Pangkowilhan I
Kamis lalu pengikut-pengikut Hasan Tiro itu "disinyalir
jumlahnya beberapa puluh orang lagi." Dan persenjataan mereka,
kata Mantik, "hanya 4 pucuk". Kabarnya bedil-bedil tua itu pun
bekas peninggalan Perang Dunia.
Sejalan dengan penjelasan Mantik dan adanya selebaran Pangdam I
itu, situasi di Aceh sendiri sebenarnya tak segawat yang
dibayangkan orang. Tiga bulan lalu memang ada sebuah bus Liberty
nomor 64 yang dibakar di daerah pegunungan Seulawah ketika dari
Medan menuju Banda Aceh. Tapi tidak berhasil mempengaruhi
keadaan. Hari-hari ini bus umum dari Medan-Banda Aceh tetap
membuka trayeknya 24 jam, nonstop. Penduduk di kampung-kampung
pun tak perduli akan adanya sisa gerakan separatis itu. Tapi,
ada 12 orang yang baru-baru ini ditangkap di daerah Sesirah,
perbatasan Sumatera Utara-Aceh, karena tak melapor, dan
dinyatakan ikut gerakan tersebut.
Kini mereka ditahan di Jl. Gandhi, Medan, sebagian di rumah
tahanan Sukamulia. Menurut sebuah sumber, "padahal mereka
sebenarnya mau menyerah setelah mendengar seruan agar turun dari
hutan." Sementara itu ada orang sudah 6 tahun di Belawan
ditangkap pula. Ia kini ditahan di Sukamulia, setelah diperiksa
Teperda. "Padahal kasusnya adalah kriminil dan dituduh merompak
pukat harimau di laut. Tapi karena dia berasal dari Aceh,
akhirnya mendekam di Sukamulia bersama anggota eks PKI," kata
sumber itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini