MPR menjaring lagi suara masyarakat. Lembaga tertinggi negara itu diam-diam menyebarkan ratusan kuesioner. Berisi 91 pertanyaan, kuesioner itu dibukukan dengan rapi setebal 36 halaman. Dengan cara inilah, MPR mencoba menggali masukan bagi penyusunan konsep GBHN 1988-1993. Kuesioner itu diedarkan pada berbagai instansl pemerintah, perguruan tinggi, serta berbagai kekuatan sosial-politik. Dari 229 kuesioner yang disebarkan sejak Juli 1985, sampai pekan lalu 195 kuesioner atau 85% yang kembali. Penyebaran kuesioner itu memang bukan yang pertama. Lima tahun lalu, MPR juga menyebarkan angket dengan tujuan yang sama. Menurut Wakil Ketua MPR, G.H. Mantik, ini merupakan upaya MPR untuk mengikuti perkembangan dinamik masyarakat. "Adalah tugas MPR untuk mengikuti dan memantau aspirasi masyarakat," katanya. Lewat angket itulah, MPR 1983-1988 mencari masukan untuk menyusun konsep berbagai Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR hasil pemilu mendatang. Dan terutama, masukan bagi penyusunan konsep GBHN. "Dengan begitu, kami meringankan beban Badan Pekerja MPR," tambah Mantik. Memang, sesuai dengan peraturan tata tertib MPR, adalah tugas Badan Pekerja MPR, antara lain, mempersiapkan Rancangan Acara dan Rancangan Putusan-Putusan Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR. Untuk menyusun pertanyaan dan mengolah hasil kuesioner itu, MPR membentuk sebuah tim, dengan Ketua Sekjen MPR Wang Suwandi. Inilah tim yang terdiri dari berbagai unsur, yakni MPR, Departemen Penerangan, Departemen Dalam Negeri, serta Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. "Hanya dua departemen yang terlibat, agar mudah koordinasi dengan daerah-daerah," kata suatu sumber. Responden pengumpulan pendapat ini dipilih hanya instansi yang berbobot. Yakni, "Instansi-instansi yang banyak pengetahuan dan pengalaman," kata Mantik. Menurut suatu sumber, tak ada responden perorangan. Tim bekerja dengan anggapan bahwa setiap tokoh masyarakat pada dasarnya telah bergabung dengan suatu organisasi. "Responden yang dipilih sifatnya lebih institusional. Kalau perorangan, 'kan sulit kategorinya," kata sumber TEMPO. "Namun, tim tetap akan menerima jika, misalnya, ada perorangan yang mengirimkan sumbangan pikirannya." Pertanyaan dalam kuesioner MPR ini disusun berdasarkan pengelompokan 4 bidang pembangunan. Pertama, yang menyangkut masalah Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin). Salah satu pertanyaan di bidang ini, misalnya: Industri kecil dan industri rumah tangga serta perdagangan kecil mempunyai arti yang sangat penting bagi perekonomian negara. Menurut Saudara, faktor-faktor apakah yang diperlukan untuk mendorong pengembangan industri kecil? Bagaimana peranan koperasi dalam hal ini? Dalam hal tenaga kerja, muncul pertanyaan: Bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas tenaga kerja Indonesia? Apakah sistem pendidikan sudah sejalan dengan penyiapan tenaga yang dibutuhkan dan bagaimanaa pemecahan masalah tersebut? Dalam penjelasannya, MPR mengakui baha adalah soal sulit merencanakan ketenagakerjaan yang menyeluruh dan terpadu. Tapi, meski sulit, "harus mulai disiapkan". Dengan perencanaan yang menyeluruh dan terpadu itulah, "lembaga-lembaga pendidikan kita dapat mcncetak tenaga yang siap pakai saesuai dengan tuntutan pembangunan". Kedua, pertanyaan di bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan Sosial Budaya (Asosbud). Responden di sini diminta menjawab: Bagaimana menumbuhkan dan memupuk kesetiakawanan nasional supaya terhindar dari pertentangan golongan baik agama, ras, maupun antara si kaya dan si miskin? Ada juga pertanyaan: Berhubung dengan mobilitas penduduk yang makin tinggi, bagaimanakah cara menghindari keluarnya tenaga-tenaga produktif dari suatu daerah? Bagaimana gagasan Saudara untuk menggunakan sistem adat untuk pengembangan koperasi? Ketiga, kelompok pertanyaan untuk bidang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum Penerangan, dan Hubungan Luar Negeri. Dalam hal politik, responden dihadapkan dengan pertanyaan: Pendidikan politik yang bagaimanakah yang dapat melahirkan kesadaran politik rakyat yang bertanggung jawab terutama di pedesaan? Yang menarik ialah pertanyaan yang menyangkut aparatur pemerintah. Bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk meningkatkan kemampuan, kejujuran, dan pengabdian aparatur pemerintah? Seperti disebut dalam penjelasan tentang latar belakang pertanyaan ini, MPR rupanya menyadari bahwa peranan pemerintah yang begitu besar di semua bidang pembangunan mengakibatkan membesarnya aparat birokrasi. Diakui pula adanya kecenderungan untuk selalu menambah jumlah pegawai negeri. Padahal, "Lebih baik menggaji tinggi sejumlah kecil aparatur pemerintah yang efektif dan efisien daripada menggaji rendah sejumlah besar aparatur yang tidak efektif dan tidak efisien," begitu bunyi penjelasan atas pertanyaan ini. Pertanyaan lain menyangkut aparatur pemerintah ialah bagaimana mencegah Sisa Anggaran Pembangunan (Siap). Sebab, hampir tiap tahun anggaran, Siap ini masih dipersoalkan baik oleh DPR maupun media masa. Selama Pelita III, demikian bunyi penjelasan itu, Siap untuk proyek-proyek daerah, misalnya, hanya berklsar di bawah 4%. Tapi, Siap proyek-proyek sektoral pusat berkisar antara 20% dan 30%. "Siap sering diasosiasikan dengan kekurangmampuan aparatur pemerintah," tulis penjelasan dalam lampiran kuesioner ini. "Dalam manajemen, Siap berarti deviasi antara perencanaan dan pelaksanaan atau tidak sinkronnya pelaksanaan dan perencanaan." Kelompok keempat adalah pertanyaan yang berkaitan dengan masalah Ketahanan Nasional dan Pertahanan Keamanan. Hanya ada dua pertanyaan, antara lain Bagaimana cara memantapkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat? Begitulah 91 pertanyaan yang diajukan, bersifat terbuka, dan umum sekali. Responden diberi kesempatan menjawab pertanyaan sesuai dengan bidangnya dan sesuai dengan sudut pandang masing-masing. "Tidak semua pertanyaan harus dijawab," kata Sekjen MPR, yang juga Ketua Tim, Wang Suwandi. "Yang menjawab hampir semua pertanyaan adalah perguruan tinggi," kata sumber TEMPO. Kuesioner yang masuk memang belum diolah. MPR optimistis bahwa jawaban masih akan mengalir. "Kami mengharapkan akhir tahun ini sudah terkumpul semua," ujar Mantik. Semua jawaban yang masuk, tambah Mantik, tidak akan "dikoreksi". Semuanya akan ditampung, lantas dihimpun, dan dicetak dengan sistematika yang sudah ada. "Kemudian Badan Pekerja MPR-lah yang membahasnya." Tapi ada yang menyangsikan hasil kuesioner inl akan banyak dipakai dalam penyusunan GBHN mendatang. Pendapat ini, misalnya, diungkapkan Dr. Nazaruddin Sjamsuddin. Sekitar tiga bulan silam, Kepala Jurusan Ilmu Politik FISIP UI ini termasuk responden yang mengisi kuesioner MPR ini, yang secara resmi disampaikan melalui universitas. Bahkan FISIP UI, katanya, sudah sejak 1978 diminta memberi masukan bagi penyusunan konsep GBHN. "Melihat pengalaman yang lalu," kata Nazaruddin, "saya selalu skeptis dengan kuesioner itu, apakah nanti hasilnya muncul dalam GBHN." Memang, seperti diketahui, GBHN yang dikukuhkan oleh MPR tahun 1983, misalnya, adalah konsep GBHN yang disusun Tim Sebelas yang diketuai Mensesneg Sudharmono. Di tangan Badan Pekerja MPR, dan kemudian disahkan sebagai Ketetapan MPR, boleh dikata, titik komanya pun tak berubah. Memang, berbeda dengan sebelumnya, Badan Pekerja MPR hasil Pemilu 1981 ini mampu menyelesaikan tugasnya dengan lancar dan mulus. BP MPR berhasil menyelesaikan tugasnya tanpa menggunakan voting seperti yang pernah teradi di tahun 1973 dan SU MPR 1978. Padahal, kala inilah dibahas masalah asas tunggal Pancasila. Karena itu, Nazaruddin berpendapat bahwa melibat universitas untuk menyusun GBHN, "Hanya semacam verbalisasi saja, agar orang tahu ini produksi yang hebat." Atau untuk membuktikan bahwa MPR punya kerja. Saur Hutabarat, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini