Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kesaksian Sayuti

Sayuti melik, tokoh yang mengetik naskah proklamasi memberikan kesaksian sekitar teks proklamasi. menentang pengangkatan bung karno sebagai presiden seumur hidup. dianggap tidak sesuai uud 45. (nas)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Sayuti Melik berani menentang pengangkatan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup? Mengapa naskah Proklamasi sampai jatuh ke tangan D.N. Aidit? Itulah antara lain pertanyaan penting yang dilontarkan dalam buku Wawancara dengan Sayuti Melik, yang terbit pekan lalu. Buku itu memang diterbitkan oleh CSIS bertepatan dengan ulang tahun ke-78 Sayuti Melik. Lahir di Desa Kalidobo, Sleman, Yogya, 25 November 1908, Sayuti kini tergolong tokoh langka, yang telah menyaksikan banyak peristiwa penting dalam sejarah kontemporer Indonesia. Adalah Sayuti Melik, misalnya, yang mengetik naskah Proklamasi, dari konsep yang ditulis tangan oleh Bung Karno. Ia mengetiknya hanya selembar, tanpa tembusan. Sayuti, yang sudah dikenal sebagai wartawan itu, atas inisiatifnya sendiri lantas mengubah kata-kata "Wakil-wakil Bangsa Indonesia", menjadi "Atas nama Bangsa Indinesia". Lalu kata "tempoh" diubah menjadi "tempo". Mengapa Melik berani mengubah naskah bersejarah itu? "Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru," kata Sayuti Melik dalam buku ini. "Soal bahasa Indonesia, saya lebih mengerti dari Bung Karno," ucapnya pula pada Syatriya Utama dari TEMPO. Dalam buku setebal 382 kaca, hasil interviu staf CSIS Arief Priyadi itu, Sayuti Melik menuturkan banyak hal. Misalnya kesaksian bahwa meski naskah Proklamasi disusun di rumah seorang perwira tinggi Jepang, Laksamana Maeda, tak seorang Jepang pun yang hadir dalam rapat itu. "Laksamana Madya Maeda hanya menyediakan tempat untuk mengadakan rapat," katanya. Konsep teks Proklamasi, menurut Sayuti, boleh dikata hanya disusun oleh tiga orang: Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo. "Sedang yang duduk di meja perundingan ada lima orang, jadi tiga orang tadi ditambah Sukarni dan saya," kata Sayuti. "Di sini kami berdua hanya menganggukkan kepala saja jika ditanya." Yang banyak berbicara dalam menyusun teks proklamasi itu adalah Bung Hatta dan Achmad Subardjo. Adapun Bung Karno yang menuliskannya. Setelah selesai disusun, konsep yang ditulis tangan oleh Bung Karno itulah yang kemudian dibacakan di hadapan yang hadir di rumah Maeda itu. Reaksi datang dari tokoh muda Chaerul Saleh. Ia menyatakan protes, dengan suara lantang. Isinya: Kalangan pemuda, katanya, tak setuju menandatangani naskah itu bersama orang-orang Jepang. Menurut Sayuti, yang dimaksud dengan "orang-orang Jepang" ini ialah para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang diangkat oleh pemerintah Jepang. "Di sini Chaerul Saleh tampaknya masih salah paham," kata Sayuti. Maka, Sayuti dan Sukarni pun lantas turun tangan. Keduanya melakukan lobbying Tlmbullah gagasan di benak Sayuti, untuk mengusulkan agar naskah Proklamasi ditandatangani hanya oleh Bung Karno dan Bung Hatta berdua-atas nama Bangsa Indonesia. "Pemikiran saya ini lalu saya tawarkan kepada semua pihak dan ternyata bisa diterima," ujar Sayuti. Yang aneh ialah pada 1960, naskah Proklamasi hasil ketikan Sayuti itu tiba-tiba ada di tangan D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Diduga, Aidit mendapat naskah itu dari Sekretaris Akoma (Angkatan Komunis Muda). Tapi bagaimana naskah itu sampai jatuh ke tangan Sekretaris Akoma, "Sampai sekarang saya tidak mengetahui ceritanya," kata Sayuti. Tapi untunglah Aidit menyerahkan kembali naskah itu kepada Bung Karno, dan untunglah pula Bung Karno tak mengabulkan permintaan Aidit, untuk membakarnya. Tapi mengapa Sayuti Melik dulu bersikeras menolak pengangkatan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup (1963)? "Sayalah satu-satunya anggota MPRS yang berani menentang hal itu," ucap Sayuti Melik. Pertama, tidak sesuai dengan UUD 45 yang berlaku secara formal waktu itu. Kedua, itu taktik PKI untuk membawa RI menjadi negara komunis. Dan kini ? Di tengah ramainya pencalonan kembali Jenderal (purnawirawan) Soeharto menjadi presiden, "Saya tetap menentang kalau terjadi lagi seperti Bung Karno dulu," katanya. "Kalau mati, siapa yang menggantinya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus