Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak usah jadi Golkar

Korpri memasuki usia ke-15 dengan anggota 3,3 juta korpri diharapkan lebih pintar mawas diri, berani membuat neraca diri secara lebih obyektif. anggota korpri tak selalu harus menjadi golkar. (nas)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORPS Pegawai Republik Indonesia (Korpri), mulai pekan ini, memasuki usia ke-15. Dengan anggota sebanyak 3,3 juta tak disangsikan lagi, korps ini telah semakin bangkit sebagai sebuah kelompok yang memiliki kekuatan sangat besar, baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai penggerak kelompok politik. Namun, toh masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam tubuh organisasi pegawai negeri ini. Tak kurang Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam sendiri, selaku Ketua Dewan Pembina Korpri, dalam kata sambutan menyongsong hari jadi organisasi itu, akhir pekan lalu, perlu mengingatkan agar Korpri lebih pintar mawas diri. Dan berani membuat neraca diri secara lebih obyektif. Apa pula maksudnya? "Korpri harus berani membuat penilaian yang lebih obyektif mengenai apa yang telah dicapai selama ini," ujar Soepardjo Rustam kepada Riya Sesana dari TEMPO. Sesepuh Korpri itu mengakui, sering organisasi ini membuat neraca penilaian yang miring. "Cenderung melebih-lebihkan nilai dan prestasi," kata Soepardjo dalam sambutannya. Dengan membuat neraca yang lebih obyektif, menurut Mendagri, kelemahan-kelemahan yang ada akan lebih mudah dikenali dan dibenahi. Memang, masih banyak hal yang perlu diperjuangan Korpri. Soal kesejahteraan pegawai negeri, umpamanya. Anggota yang lurus, yang melulu mengutamakan pengabdian, sering menjumpai problem ekonomi di saat menjelang usia pensiun. Sebab, perolehan materi dari pengabdian itu tak memadai untuk bekal selama memapaki masa purnabakti. "Kesenjangan itu yang ingin diatasi Korpri," kata Soepardjo. Yang tak mau ambil risiko sulit setelah pensiun, adakalanya, menjadi nakal. Maka, diterapkannya aji mumpung: mumpung jadi pimpinan proyek, mumpung memegang posisi penentu, mumpung ini, mumpung itu. Akibatnya, sering pula terdengar suara sumbang: bahwa aparat pemerintah itu suka lamban, kelewat birokratis, dan korup. Soal suara sumbang itu tak dibantah oleh A.E. Manihuruk, Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), yang menjabat Sekjen Korpri. "Kasus-kasus seperti itu memang tak bisa disangkal," tuturnya. Tapi, "Jangan lantaran ada satu-dua tikus dalam rumah, kita bilang rumah itu tak bagus," tambahnya, sambil terkekeh. Dan yang penting, Korpri terus mencoba meningkatkan diri. "Termasuk dalam soal kontrol," tuturnya lagi. Guna meningkatkan diri itu, barangkali sejak dua bulan lalu iuran wajib anggota Korpri dilipatgandakan. Kenaikannya minimal sekitar dua puluh kali lipat, dari Rp 5 menjadi Rp 100, per kepala per bulan untuk golongan I. Sedangkan golongan II Rp 200, golongan III Rp 300, dan golongan IV Rp 500. Ini penyesuaian, memang. "Lima perak apalah artinya sekarang," kata Manihuruk, terkekeh lagi. Tarif Rp 5 itu, menurut Ketua BAKN ini, tak pernah disesuaikan sejak hampir lima belas tahun lampau. Ternyata, tak banyak dana dari iuran anggota yang dikelola pengurus pusat. "Pusat hanya kebagian lima persen," tutur Manihuruk. Sebagian terbesar, 70 persen, dikelola secara sektoral pada unit Korpri daerah tingkat dua. Dua puluh lima persen lainnya dikelola oleh pengurus Korpri daerah tingkat satu. Dana itu, tentu, untuk macam-macam kegiatan. Untuk rapat, olah raga, umpamanya, atau biaya perhelatan menyambut hari-hari bersejarah. Juga untuk sumbangan sosial. "Korpri ikut menyumbang korban bencana banjir di Lampung bulan lalu," kata Manihuruk. Adakah pos dana Korpri untuk menyumbang kampanye Golkar pada pemilu depan? "Tidak, tak ada itu dana Korpri untuk kampanye-kampanyean," sanggah Sekjen Korpri ini. Dana Pemilu sudah cukup. "Pokoknya, tak perlu ada tambahan dana lain," ujar Soepardjo Rustam. Sampai usia ke-15 kini, Korpri tetap bukan Golkar. Bahwa pegawai negeri otomatis jadi Korpri memang ya. "Keanggotaan Korpri sifatnya memang pasif," ujar Manihuruk. Jadi, pegawai negeri tak otomatis jadi Golkar. "Keanggotaan di Golkar sifatnya aktif," tambah Sekjen Korpri ini. Maka, untuk menjadi Golkar orang perlu mendaftar segala. Warga Korpri, kata Manihuruk, tentu saja, boleh dipilih menjadi anggota DPR wakil non-Golkar. "Tak ada peraturan yang melarang," tuturnya. "Tapi, soal orangnya mau atau 'ndak, itu urusan lain," ujarnya sambil terkekeh lagi. Memang, hingga kini masih soal ihwal status pegawai negeri yang menyalurkan aspirasinya ke non-Golkar. Ini memang menyangkut hak politik warga negara, yang mesti berhadapan dengan "kewajiban" bermonoloyalitas. Putut Tri Husodo, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus