SECARIK surat dilambai-lambaikan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono kepada wartawan di kantor Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis pekan lalu. Pengirimnya Martin Griffiths, Ketua Henry Dunant Center (HDC)—lembaga internasional yang menjembatani perundingan damai antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Griffiths membawa kabar tak sedap. Seorang utusan yang ia kirim khusus untuk bertemu dengan pemimpin GAM di Stockholm, Swedia, ternyata pulang dengan tangan hampa. Sejak saat itu, ia memastikan, GAM tak akan menghadiri perundingan Joint Council untuk membahas perkembangan persetujuan damai di Aceh. Joint Council sedianya beranggotakan perwakilan Indonesia, GAM, dan HDC.
Surat Griffiths menjadi perkara penting. Menteri Susilo langsung saja menyimpulkan bahwa GAM memang tak punya iktikad baik untuk mencari solusi damai di Aceh. Karena itu, ”Pemerintah tengah menyiapkan operasi militer dalam skala besar untuk menyelesaikan konflik separatis di Aceh,” katanya tegas. Jelas ini berita buruk bagi mereka yang mencari perdamaian di Tanah Rencong: Jakarta sudah bulat tekad akan menyerbu Aceh.
Sebelumnya, militer telah memberi isyarat lampu kuning. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu berkeras bahwa tindakan GAM tak bisa didiamkan. Ia berkali-kali mengkritik Joint Security Committee (JSC) atau Komite Keamanan Bersama yang tak mampu mengatasi situasi di lapangan, termasuk mendiamkan pelbagai pelanggaran akibat ulah gerakan bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Aceh itu. JSC dibentuk berisikan wakil kedua pihak dan HDC, yang mengawasi proses perdamaian.
Kini Jakarta kompak seia sekata. ”Kami telah menyiapkan plan B jika mereka terus berkhianat,” kata Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Presiden Megawati memberikan restu. Wakil Presiden Hamzah Haz dan Ketua MPR Amien Rais pun ikut memberikan dukungan. Pekan ini, sebuah rapat kabinet terbatas rencananya akan digelar di Istana Negara. Dalam rapat itu, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto akan memaparkan rencana tentara menyerbu Aceh.
Para petinggi di Pejambon juga berteriak. Kantor Departemen Luar Negeri—pihak yang selama ini optimistis dengan perundingan damai—ikut-ikutan angkat tangan. Mereka menganalisis, kecil kemungkinan perjanjian itu bisa dilaksanakan kembali. ”Operasi militer di Aceh memang jalan terbaik untuk penyelesaian masalah Aceh,” kata juru runding utama Indonesia dalam pertemuan Jenewa, Wiryono Sastrohandojo.
Sikap Markas Besar TNI juga bulat. Cilangkap tampaknya sudah tak tahan lagi dengan sikap GAM. Di mata tentara, dosa mereka sudah bertumpuk. Gerakan yang menghendaki kemerdekaan Aceh itu dituding memeras warga dengan dalih menarik pajak negara (lihat Pajak di Sana, Upeti di Sini). Setelah perundingan ”penghentian permusuhan” diteken pada 9 Desember 2002 lalu, GAM dianggap curang. Mereka menolak menggudangkan senjata dan malah tetap mengkampanyekan kemerdekaan Aceh. Mereka juga dituding terus menambah pasukan ketika masa damai tengah berlangsung.
Sejatinya ini polemik yang tak berkesudahan. Ada juga kendala teknis. Soal penggudangan senjata, misalnya. GAM menilai perlucutan senjata hanya akan dilakukan bersamaan dengan relokasi tentara oleh TNI dan Polri. Proses demiliterisasi itu menurut jadwal mestinya sudah dilakukan pada 9 Februari lalu. Tapi, menurut Ketua Komite Keamanan Bersama Mayor Jenderal Thanongsuk Tuvinun, kedua pihak masih saling menunggu. ”Tenggatnya adalah 9 Juli 2003. Saya berharap, sebelum batas waktu itu, semuanya sudah selesai,” kata perwira militer asal Thailand itu. Saat ini relokasi TNI baru dalam tahap presentasi.
Isi perundingan damai tak bulat dipahami. Kedua pihak bersilang tafsir tentang butir-butir dokumen Jenewa. GAM menghendaki akhir perundingan damai berujung pada kemerdekaan Aceh. Sebaliknya, Jakarta menghendaki otonomi khusus. Padahal, dalam traktat Jenewa, tak sedikit pun disinggung soal ke ujung proses damai ini. Artinya, kedua pihak berhak untuk tetap dalam pandangannya sendiri-sendiri.
Belum lagi tindakan saling tuding. GAM menganggap TNI-lah yang justru tak terius menjaga perdamaian. Demonstrasi massa menentang JSC, misalnya, ditengarai GAM disetir oleh tentara Indonesia. Tujuannya agar komite itu segera enyah dari Aceh. ”Kami peringatkan agar aparat RI tidak memaksa para kepala kampung untuk menghimpun massa,” kata juru bicara GAM Sofyan Daud. Tudingan ini dibantah Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI M. Djali Yusuf. ”Suruh saja GAM mengecek, ada tidak TNI yang terlibat di situ.”
Ada indikasi ganjil di lapangan. Ambil contoh aksi pembakaran kantor JSC di Langsa, Aceh Timur, dua pekan lalu. Pelakunya segerombolan orang yang menumpang truk tanpa pelat polisi. ”Ada yang sengaja dicopot dan ada juga yang ditutup,” kata Muhammad Daan, 23 tahun, seorang saksi mata. Mereka datang dari Peureulak, kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari lokasi. Sepanjang perjalanan itu, tak ada polisi yang menghalangi rombongan. ”Biasanya, kalau ada massa yang mau aksi, ditanya surat izinnya. Tapi rombongan itu tidak,” kata Daan.
Ihwal merundingkan kemelut di lapangan juga belum putus. GAM minta agar persoalan ini dibahas di tingkat JSC saja. Tapi RI menghendaki forum Joint Council, yang skalanya lebih luas. Kalaupun mereka mau, GAM memasang ”tarif” tinggi. Mereka menghendaki acara itu digelar di Stockholm. Tapi pemerintah hanya menyiapkan Bali sebagai tempat rapat. Traktat Jenewa tak mengatur problem perbedaan pendapat semacam ini. Repot.
Di tengah semua kebuntuan ini, akankah Aceh segera menjadi lautan api? Tampaknya begitu. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, pasukan TNI akan menggunakan operasi antiperang gerilya untuk menghantam GAM.
Pasukan sudah disiagakan. Selain pasukan yang tengah bertugas, akan dikirim 1.700 tentara tambahan ke Serambi Mekah secara bertahap. Mereka berasal dari Pasukan Khas Angkatan Udara, Marinir, Komando Pasukan Khusus, dan Kostrad. Pasukan elite itu telah berlatih sebulan di Batujajar, Jawa Barat.
Tapi Kepala Dinas Penerangan Umum Mabes TNI, Kolonel D.J. Nachrowi, membantah pasukan tambahan itu untuk menyerang Aceh. ”Mereka dikirim untuk rotasi dan penyegaran,” katanya kepada wartawan Tempo News Room D.A. Candraningrum. Tampaknya, Aceh akan dikepung dari darat, udara, dan laut.
Dari perairan, siap meluncur 11 kapal dan 1 bantuan tempur personel (BTP) Marinir. Jumlah personelnya lumayan gede, 3.200 orang. Selain dari Marinir, mereka berasal dari satuan tempur Amfibi, satuan elite Angkatan Laut Detasemen Jala Mangkara, kavaleri, dan infanteri. ”Hari ini kita disuruh berangkat, ya, kita berangkat,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh.
Padahal jalan militer belum tentu ampuh. Sepanjang Aceh dijadikan daerah operasi militer (1989-1998), GAM tak benar-benar bisa punah, meski gerakan itu terjepit. Tapi ekses pelanggaran hak asasi manusia sungguh memilukan. Dalam kasus Rumah Geudong, misalnya. Terungkap ada personel tentara yang menyekap dan memerkosa wanita Aceh di sebuah rumah adat dengan alasan mencari anggota GAM. Korban pemerkosaan itu ditemukan hamil, sedangkan sebagian lainnya mengalami trauma dan gila. Dalam kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, tentara membantai puluhan santri di sebuah pesantren ketika mencari ulama yang dituding menjadi anggota GAM.
Tapi operasi penyerangan sudah diputuskan. Tinggal menunggu waktu untuk menyerbu. Targetnya tunggal: melumpuhkan kelompok bersenjata GAM. ”Mungkin sudah takdir Aceh tak bisa tenang. Mungkin hanya di akhirat kami bisa tenteram,” kata seorang pria asal Pidie dalam bus malam jurusan Medan-Lhokseumawe yang ditumpanginya bersama TEMPO. Perang besar tampaknya akan pecah dan darah lagi-lagi harus tersimbah. Sebuah ongkos yang mahalnya tak terkira.
Arif Zulkifli, Edy Budiyarso, Cahyo Djunaidi (Jakarta), Zainal Bakri (Lhokseumawe), Yuswardi Suud (Banda Aceh)
Empat Bulan Setelah Perundingan itu...
9 Desember 2002
Pemerintah Indonesia dan wakil dari Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan untuk tak bermusuhan di Jenewa, Swiss.
16 Januari 2003
Satu prajurit TNI dari Batalion 521 Brawijaya ditembak GAM di Krueng Teunong, Lamno, Aceh Barat.
2 Februari 2003
Pemerintah Indonesia menyalurkan dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
3 Februari 2003
Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI M. Djali Yusuf, mengancam akan mengerahkan seluruh kekuatan bila GAM tidak bersedia melakukan penggudangan senjata.
9 Februari 2003
GAM berjanji akan menempatkan senjatanya di 32 lokasi dan akan dilakukan secara bertahap.
10 Februari 2003
JSC atau Komite Keamanan Bersama (KKB) menetapkan enam zona damai.
11 Februari 2003
Menteri Koordinator Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono, menilai GAM telah keluar dari konsep dasar Perjanjian Jenewa karena menganggap proses ini sebagai jalan menuju kemerdekaan.
16 Februari 2003
Pratu Sujari, anggota TNI Kompi B Yonif 113/Jaya Sakti, ditemukan tewas di kawasan Desa Lhok Mon Puteh, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara.
17 Februari 2003
TNI menembak mati satu anggota GAM dalam bentrokan di Desa Krueng Luas, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan.
3 Maret 2003
Tiga anggota tim pemantau penghentian permusuhan di bawah JSC cedera diamuk massa di Takengon, Aceh Tengah. Massa menuding JSC tidak netral.
8 Maret 2003
JSC meresmikan empat zona damai.
27 Maret 2003
Sekitar 500 warga Kabupaten Pidie berdemonstrasi di halaman Markas Kodim Pidie. Mereka menuntut penambahan pos-pos TNI di daerah pedesaan Pidie.
1 April 2003
40 lembaga swadaya masyarakat dan kelompok organisasi masyarakat sipil mendatangi sekretariat JSC, meminta kesepakatan perjanjian damai dipertahankan.
3 April 2003
Tiga anggota GAM tertembak di Desa Lueng Sago, Kecamatan Mutiara Barat, Pidie.
6 April 2003
Sekelompok massa di Kota Langsa, Aceh Timur, melakukan unjuk rasa dan membakar kantor JSC di Aceh Timur. Kantor JSC Aceh Tengah juga dibakar massa tiga hari sebelumnya.
7 April 2003
Dua polisi ditembak di kawasan Desa Lamtamot, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar.
8 April 2003
Sembilan orang yang diduga anggota GAM tewas dalam kontak senjata di sejumlah kawasan di Kabupaten Pidie. Ny. Nurjannah binti Usman, istri Ketua DPD Golkar Aceh Utara, tewas tertembak.
9 April 2003
Henry Dunant Center berharap pemerintah Indonesia dan GAM tetap melanjutkan proses perdamaian.
10 April 2003
Menteri Koordinator Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah saat ini sedang menyiapkan operasi militer dalam skala besar untuk menyelesaikan konflik di Aceh.
Perjanjian yang Jadi Sengketa
Pasal
Gawat Perjanjian Jenewa |
Masalah
yang Diakibatkannya |
Pasal 2 (a)
Kedua pihak menjamin bahwa mereka sepenuhnya dapat mengendalikan masing-masing pasukan TNI/Polri dan GAM di lapangan. |
Di lapangan, baik pimpinan GAM maupun TNI/Polri tak bisa mengendalikan pasukannya. |
Pasal 2 (b)
Kedua pihak segera menginforma-sikan secara menyeluruh isi kesepakatan dan menginstruksikan agar segera menghentikan permusuhan. |
Sosialisasi tak terjadi. TNI
menghendaki GAM disikat, GAM menjawab dengan mengatakan siap melawan serangan TNI. |
Pasal 3
KKB bertugas mengawasi pelaksanaan perdamaian dan melakukan investigasi jika terjadi pelanggaran. |
KKB sulit bergerak karena tak
punya hak menjatuhkan sanksi. |
Pasal 9
- Apabila salah satu pihak bermaksud mengakhiri kesepakatan ini secara sepihak, mereka wajib membawa masalah tersebut kepada Dewan Bersama.
- Apabila Dewan Bersama tidak berhasil mengatasi masalah, salah satu pihak berhak secara sepihak menarik diri dari kesepakatan.
|
- Pasal ini tidak mengatur bagaimana jika salah satu pihak menolak berunding dalam Dewan Bersama.
- Klausul ini menyebabkan kesepakatan damai tak berarti jika salah satu pihak tak menerima hasil keputusan Dewan bersama.
|
Lain-Lain
Perundingan Jenewa tak mengatur ke mana arah perundingan penghentian permusuhan ini: apakah kemerdekaan Aceh atau status otonomi khusus. |
Pemerintah Indonesia berkeras agar GAM mau menerima status otonomi khusus. GAM ngotot untuk merdeka. |