Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATAPAN matanya kosong. Perempuan berkerudung kumal itu kelihatan sulit menahan tumpahan air matanya. Wajah perempuan asal Pidie itu pun suram, membuatnya tampak jauh lebih tua dari usianya yang 45 tahun. Zainabon binti Ismail, nama samaran, selalu saja terisak-isak tatkala orang datang menanyakan mengapa ia harus mengungsi ke Banda Aceh.
Ya, mengapa? Ia tak mampu menjawab. Ia juga tak mampu menjawab ketika orang bertanya di mana suaminya. Muhammad, sang suami, yang juga asal Pidie, sekarang tidak jelas mati atau hidupnya. Pemilik beberapa petak sawah itu, di suatu malam jahanam yang dingin, digelandang lima lelaki bertopeng yang memanggul senapan. Tubuh lelaki kurus itu gemetar ketakutan, tapi tak seorang pun mampu menahan gerombolan bertopeng tadi.
Zainabon sempat menjerit, tapi selebihnya ia hanya memandangi peristiwa itu dengan hati yang teriris-iris. Para tetangganya melongok dari balik jendela, sebelum kemudian menutup pintu lebih rapat. Lolongan Zainabon hanya sebentar memecah malam, kemudian sunyi dan takut datang menyergap.
Kejadian di awal bulan Maret itu bukan tanpa sebab. Sebulan sebelumnya, rumah keluarga Muhammad didatangi sejumlah lelaki berbadan tegap: minta sumbangan dana ”perjuangan” sebesar dua juta rupiah. Tabungan suami-istri itu sedang benar-benar kosong. Permintaan ditampik. Dan si penagih—kemudian diduga anggota Gerakan Aceh Merdeka—berlalu begitu saja. Tapi rupanya nama Muhammad masuk daftar untuk diculik.
Inilah salah satu pelanggaran ketika Pidie hampir melalui fase damai dan memasuki fase tanpa senjata atau demiliterisasi. Fase damai itu datang tatkala perjanjian penghentian permusuhan ditandatangani pihak RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss.
Tapi damai rupanya barang mahal di Aceh.
Teror merajalela. Zainabon tidak sendirian lari ke Banda Aceh. Ia bersama 2.000 orang yang lain. Mereka terusir dan menjadi pengungsi di buminya sendiri. ”Pengungsi lokal” itu tinggal di dalam area Stadion Lampineung—yang letaknya hanya lima menit berjalan kaki dari kantor gubernur di tengah Kota Banda Aceh.
Hidup di pengungsian selalu sulit. Nurlela, teman sepengungsian Zainabon, kini harus mengemis di bundaran Simpang Lima Banda Aceh. Sebelum akhirnya ditempatkan di lokasi pengungsian yang disediakan Pemerintah Daerah Aceh Nanggroe Darussalam, Nurlela berpindah-pindah dari satu barak ke barak yang lain. Perempuan malang itu adalah korban pungutan liar juga. Rumahnya di Kecamatan Timang Gajah dibakar orang pada pertengahan 2001 lalu karena soal upeti rakyat yang tidak lancar.
Pihak Gerakan Aceh Merdeka mengakui adanya pungutan itu. Menurut juru bicara GAM Wilayah Pidie, Teungku Alwe Dea Murtyla, Pemerintahan Negara Sumatera Aceh Merdeka—sebutan pihak GAM untuk negara yang diimpikannya—mewajibkan pembayaran pajak nanggroe. ”Tapi masyarakat ikhlas,” katanya. Menurut Alwe, karena rakyat ikhlas, pihaknya tak perlu sampai harus menculik orang untuk memungut pajak itu.
Pernyataan Alwe patut dipertanyakan. Namun, terlepas dari soal rakyat ikhlas atau tidak memberikan upeti, kutipan ini membuat repot Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee), yang bertugas mengawal perdamaian Aceh. Komite itu beranggotakan wakil-wakil dari TNI, GAM, dan Henry Dunant Center—lembaga independen yang bermarkas di Jenewa. Bahkan tokoh senior GAM di Komite, Sofyan Ibrahim Tiba, mengakui pajak nanggroe itu sebagai salah satu pelanggaran yang dilakukan pihaknya. Sofyan mengaku sudah memberikan sanksi kepada anggotanya yang nakal. Tapi soal pajak itu di matanya adalah hal yang ”terlalu dibesar-besarkan untuk memotong mata rantai finansial dan logistik GAM.”
Pajak ini jumlahnya sukar diterka secara tepat. Berdasarkan pengamatan TEMPO, GAM mematok tarif bervariasi, dari Rp 3.000 sampai Rp 20.000 per bulan. Itu untuk rakyat kebanyakan. Pajak untuk pengusaha atau pegawai yang bergaji tetap bisa berlipat-lipat bilangannya dari angka itu. Seorang pengusaha yang sedang mengerjakan proyek pemerintah mengaku terpaksa membayar 2,5 persen dari nilai total proyek yang dia kerjakan.
Tarif ini tak bisa ditawar-tawar. Umumnya pengusaha dan juga rakyat tak punya pilihan selain membayar. Tak membayar bisa berarti nyawa melayang. Para pengusaha yang dihubungi TEMPO, yang biasanya berbicara lepas dan berkeluh-kesah soal ini, memilih tutup mulut atau minta tak disebutkan namanya begitu tahu cerita soal pajak ini akan dimuat.
Hanya GAM yang melakukan pungutan? Tidak juga. Aparat polisi ikut beraksi. Di kawasan Aceh Timur, pungutan liar dilakukan oknum polisi dari kesatuan Brigade Mobil. Seorang sopir angkutan umum yang melayani trayek Medan-Lhokseumawe mengaku harus menyerahkan uang Rp 5.000 di setiap pos. Ada satu pos yang paling ditakuti karena polisinya terkenal galak, yaitu pos Wiralanao di Aceh Timur. ”Mereka membentak jika setoran kurang,” kata seorang sopir yang tak mau disebutkan identitasnya.
Juru bicara kepolisian Aceh, Ajun Komisaris Zayed Husaini, mengatakan memang ada segelintir oknum di kesatuannya yang melakukan pemerasan. Pihaknya sudah mendengar keluhan itu dan sudah ada sanksi bagi anggota yang melakukannya. ”Laporkan saja nama dan pangkat pelakunya, pasti kami tindak,” katanya.
Aksi pungutan akhirnya sulit dikontrol. Husaini mengatakan bahwa sekarang ini di pinggiran Kota Banda Aceh para pemalak sudah berani merampas surat tanda nomor kendaraan bermotor dan meminta uang tebusan. Untuk mobil pribadi, tebusan itu mencapai Rp 300 ribu. Tarif tebusan untuk truk dan peralatan berat lain lebih besar lagi.
Kabar maraknya pemalakan itu sampai ke Jakarta. Inilah yang mendorong Jakarta seperti setuju dengan TNI untuk bertindak lebih keras. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis lalu, mengatakan bahwa penyusunan rencana operasi militer dalam skala besar sedang memasuki fase akhir di Jakarta. ”Salah satu tujuannya melindungi rakyat Aceh dari aksi pemerasan oleh GAM,” katanya. Sikap keras ini juga dipompa oleh makin seringnya terjadi kontak senjata antara pihak RI dan GAM.
Selasa pekan lalu, di Kecamatan Tiro—zona damai kedua—di siang hari, satu truk personel Brimob yang sedang berpatroli diserang secara mendadak di Desa Pulo. Senapan pun menyalak, padahal di daerah itu seharusnya tak boleh ada senjata berkeliaran. Dua anggota GAM dilaporkan tewas.
Kepala Kepolisian Resor Pidie, Ajun Komisaris Besar Maryanto, mengaku menyesalkan terjadinya baku tembak di Kecamatan Tiro. ”Tapi perlu dicatat, kontak tembak terjadi setelah pelaku menyerang anggota kami yang tengah berpatroli,” katanya. Dari kejadian itu, polisi menyita barang bukti berupa 1 pucuk pistol jenis FN bersama 7 butir peluru.
Selain terjadi kasus Tiro, pihak militer Jakarta menyebut ada 300 jenis pelanggaran oleh GAM. Sebaliknya, GAM juga melaporkan berbagai pelanggaran oleh TNI kepada Komite Keamanan Bersama.
TNI dan GAM memang saling lempar tuduhan sebagai pelanggar perdamaian. GAM dituding tak mau menggudangkan senjata. Sebaliknya, GAM menuduh TNI tidak segera melakukan relokasi dan reformulasi satuan Brigade Mobil. Perang urat saraf menjadi menu sehari-hari. Perdamaian jelas makin jauh. Padahal, jika tak ada hal mengganjal, Serambi Mekah seharusnya tengah memasuki tahap demiliterisasi—tahapan yang paling sulit dan rumit seperti diakui oleh Ketua Komite Keamanan Bersama Mayor Jenderal Thanongsuk Tuvinun (lihat rubrik Wawancara: ”Rakyat Masih Menerima Kami”).
Maka Aceh tampak berada di ambang perang—jika tak ada solusi yang berarti hari-hari terakhir ini. Dan itu berarti derita berkepanjangan bagi rakyat seperti Zainabon dan Nurlela.
Edy Budiyarso, Zainal Bakrie (Lhokseumawe), Yuswardi Ali Suud (Banda Aceh)
Versi GAM | Versi TNI |
Keluar dari otonomi khusus dengan melakukan propaganda kemerdekaan Aceh. | Melakukan propaganda bahwa GAM telah mengakui UU Nanggroe Aceh Darussalam. |
Tak ada niat menggudangkan senjata, dan melakukan penyerangan. | Melakukan sabotase atas investigasi JSC. |
Melakukan penculikan warga dan anggota TNI/Polri. | Melumpuhkan JSC. |
Melakukan pemerasan berdalih pajak. | Menghalangi pembentukan zona damai, dengan memobilisasi milisi Jawa. |
Menambah jumlah personel. | Mengulur-ulur waktu tahap demiliterisasi. |
Menambah jumlah senjata. | Tak bersedia merelokasi TNI dan mereformulasi Brimob. |
Membentuk pemerintahan bayangan. | Membuntuti dan menyerang anggota GAM. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo