Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Komite Wasit Minus Sanksi

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI belum lagi sampai di ubun-ubun ketika sekitar seribu orang merangsek ke kantor Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee—JSC) di Langsa, Aceh Timur, Ahad dua pekan lalu. Mereka bersorak-sorai, merusak dan membakar. Hanya dalam hitungan jam, bangunan permanen itu porak-poranda. ”Mereka datang dengan puluhan truk,” kata Muhammad Daan, seorang warga Langsa yang menyaksikan kejadian itu. Demonstrasi menentang hadirnya JSC—badan yang dibentuk untuk mengawasi kesepakatan Indonesia dengan GAM 9 Desember 2002 lalu—ditengarai tak murni aspirasi rakyat. GAM menuding TNI berada di balik aksi ini, meski tudingan ini ditolak tentara. Menurut GAM, tujuan aksi TNI jelas: agar JSC dibubarkan dan kendali keamanan kembali dipegang aparat militer Indonesia. ”Beberapa truk melaju tanpa nomor polisi. Ada yang dicopot, ada yang diberi penutup,” kata Daan. Sebelumnya, aksi pembakaran serupa juga terjadi di Takengon, Aceh Tengah. Serangan ”massa bayaran” itu memaksa JSC menarik anggota tim monitoring mereka yang tersebar di delapan kabupaten. Sejak pertengahan pekan lalu, sebagian besar anggota JSC sudah berkumpul di Banda Aceh. ”Terutama yang bertugas di Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Utara,” kata Mayjen Thanongsuk Tuvinun, Ketua JSC asal Thailand. Tak jelas kapan badan itu akan kembali bertugas. Di tengah ancaman Jakarta mengirim pasukan ke Aceh, sulit bagi JSC bekerja efektif. Sejatinya, badan ini memiliki peran mulia. Mereka bertugas mengontrol proses penghentian permusuhan antara GAM dan RI sesuai dengan isi kesepakatan Perundingan Jenewa. ”Tugas kami antara lain memastikan penghentian kontak senjata atau setidaknya meminimalkan,” kata Mayjen Tuvinun. Selain itu, jika terjadi pelanggaran kesepakatan, JSC diizinkan melakukan investigasi. Hasil investigasi itu dilaporkan kepada pimpinan GAM dan RI. Anggota Komite adalah perwakilan pemerintah Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Center—masing-masing beranggotakan lima orang. Di lapangan, mereka diperkuat tim monitoring tripartit. Komposisi tiga pihak dalam tim ini seimbang. Saat ini terdapat 144 anggota tim pemantau—tiap pihak menempatkan 48 orang. Personel Henry Dunant Center berasal dari Filipina (6 orang), dan sisanya dari Thailand. Tim monitoring JSC tersebar di delapan kabupaten, yakni Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Tim ini kemudian dibagi dalam 24 regu yang terdiri dari enam orang—dua orang dari tiap pihak. Biaya operasional tim sehari-hari ditanggung oleh Henry Dunant Center, lembaga bermarkas di Jenewa, Swiss, yang mendapat dana dari donatur mancanegara. Meski bertugas sebagai wasit, Komite tak punya wewenang memberi sanksi. Ibarat pertandingan sepak bola, wasit JSC tak punya kartu kuning atau merah yang bisa dipakai memaksa pemain keluar lapangan. ”Peluit” yang bisa mereka tiupkan cuma berupa laporan tertulis. Laporan pelanggaran yang dilakukan kedua pihak hanya bisa diberikan kepada pimpinan GAM dan RI serta dipublikasi kepada publik. Sanksi kepada pelanggar? Bukan urusan Komite. Tindakan ini hanya bisa dilakukan oleh pimpinan kedua belah pihak yang bertikai. ”Kami hanya memberi sanksi moral,” kata Mayjen Tuvinun. Persoalannya, dalam sebuah konflik terbuka, tak pernah ada komandan yang mau mengakui kesalahan anak buahnya. Itulah sebabnya rekomendasi JSC kerap kali cuma jadi angin lewat. Sebulan setelah berdiri, misalnya, JSC menemukan pelanggaran berat yang dilakukan GAM. Gerakan pimpinan Hasan Tiro itu dipersalahkan karena menyerang dan menewaskan aparat TNI di Lokop, Aceh Timur, pada 14 Januari lalu. Pemerintah Indonesia pun pernah ditegur karena intimidasi Brimob kepada wakil GAM di Komite Keamanan Bersama. Tapi tak pernah ada sanksi dijatuhkan, dan kekerasan di Aceh makin marak saja. Kini kantor-kantor mereka sunyi ditinggalkan para pengurusnya. Lembaga penengah konflik itu memang belum bubar. Mereka hanya menunggu untuk kemudian kembali bekerja bila keadaan memungkinkan. Tapi nasib JSC benar-benar akan tamat jika terompet serangan TNI ke Aceh kemudian ditiupkan. Itulah yang tampaknya akan di putuskan pemerintah Indonesia pada pekan ini. Darmawan Sepriyossa (Jakarta), Zainal Bakri dan Yuswardi Suud (Langsa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus