KONPERENSI ke-6 INGI (International NGO Forum on Indonesia) yang berlangsung 9-11 April lalu di Bonn, Jerman Barat, tampaknya berlangsung dengan semangat adem ayem. Boleh jadi karena masih dalam suasana bulan puasa, hampir tak ada topik pembicaraan yang bikin panas kuping. Tapi itu bukan berarti tak ada pembahasan yang kritis tentang perkembangan pembangunan di Indonesia. Dalam Aide Memoire yang dirumuskan pada akhir konperensi itu, INGI menyatakan keprihatinannya atas nasib tukang becak dan pedagang asongan. Mereka meminta agar Pemerintah RI menciptakan mekanisme untuk melindungi sektor informal. Juga agar kehadiran mereka diterima sebagai bagian dari masyarakat, dengan hak untuk terus hidup serta mendapat perlindungan hukum sebagaimana halnya para pekerja di sektor formal. Tentu konperensi kali ini tak melulu membahas soal tukang becak dan pedagang asongan. Tapi juga soal-soal lainnya yang menyangkut sejumlah program pembangunan berikut dampaknya -- termasuk pembahasan soal bantuan IGGI. "Negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI akan memberikan bantuan kepada Indonesia. Tentu mereka punya hak untuk mengetahui pembangunan di Indonesia," ujar Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Tim Pengarah Delegasi Indonesia. Kali ini aspek partisipasi rakyat jadi salah satu sorotan utama. "Hak berpartisipasi dalam pembangunan adalah hak untuk menentukan model serta penggunaan sumber daya alam. Dan hak ini perlu diperluas melibatkan masyarakat banyak," kata Abdul Hakim lagi. Repotnya, kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu, hak untuk berpartisipasi masih terhalang tembok besar. "Iklim untuk mengemukakan pendapat dengan bebas dan serta hak berorganisasi masih merupakan kendala yang menonjol," keluhnya. Pada bagian lain Aide Memoire, memang dicantumkan cerita sukses Pemerintah Indonesia di tahun 1980-an yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi kendatipun menghadapi resesi dunia. Juga upaya untuk menciutkan kemiskinan absolut serta perbaikan distribusi pendapatan mendapat acungan jempol. Ironisnya, cerita sukses itu tak mampu menghapus kenyataan masih terus berlangsungnya proses pemiskinan. Setidaknya terlihat pada penelitian yang dibuat INGI tentang kemiskinan di Indonesia dan dipresentasikan di Bonn. Biang penyebab terjadinya pemiskinan itu adalah kesalahan strategi pembangunan ekonomi sejak awal orde Baru. Menurut penelitian itu, strategi pembangunan ekonomi yang ada kurang memberi peluang bagi bagian terbesar masyarakat berpenghasilan rendah -- yang tak memiliki keterampilan serta tak menguasai faktor produksi alias tanah. Soal lain, INGI juga prihatin dengan semakin menghebatnya perusakan hutan tropis di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, perusakan itu juga sudah merembet ke bagian timur Indonesia, seperti yang terjadi pada hutan Bintuni di Irian Jaya. Mereka berpendapat, sepantasnya petani mendapat kebebasan untuk menanam jenis padi pilihannya sendiri dan tawaran untuk mendapatkan insentif bila melakukan diversifikasi pertanian. Rekomendasi INGI lainnya adalah perbaikan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang dianggap tak selaras dengan semangat UU No. 4/1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No. 4/1982 itu antara lain dijamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam semua tahapan proses pembangunan. Sesuatu yang agaknya dianggap tidak klop dengan UU No. 5/1979. Konperensi INGI, yang berlangsung tahunan sejak 1985 ini, merupakan forum pertemuan lembaga swadaya masayarakat (LSM) atau NGO (Non-Governmental Organisation) asal Indonesia dan sejumlah LSM mancanegara untuk membahas berbagai masalah pembangunan di Indonesia. Pertemuan di Bonn kali ini memang tak "sepanas" konperensi INGI ke-5 yang berlangsung di Nieuwpoort, Belgia, April 1989 silam. Waktu itu, kasus waduk Kedungombo di Jawa Tengah jadi primadona. Dalam Aide Memoire konperensi ke-5 INGI itu dibeberkan soal penanganan ganti rugi yang tak beres serta pemaksaan penduduk supaya pindah meninggalkan lahan pertaniannya. Bahkan, INGI mengirim sepucuk surat kepada Presiden Bank Dunia Barber Conable. Isinya menuduh Bank Dunia sebagai pihak yang membiayai proyek itu tak melakukan pemantauan dan supervisi terhadap proyek Kedungombo. Karena itu, INGI mendesak Bank Dunia untuk meluruskan masalah ini dengan membicarakannya dengan pihak Indonesia. Sejumlah pejabat Indonesia ternyata mengecam ulah LSM Indonesia yang membawa soal Kedungombo ini ke forum INGI yang buntutnya kemudian dilaporkan ke Bank Dunia. "LSM mau bicara soal lingkungan, silakan. Kalau bicara soal politik, kacau nanti," kata Pangab Jenderal Try Sutrisno, yang mengingatkan agar orang Indonesia -- bila sedang di luar negeri tidak menjelek-jelekkan keadaan negerinya sendiri. Mensesneg Moerdiono juga ikut menyesalkan. "Kalau mau memperbaiki keadaan, ya, di sini," katanya. Akhirnya, Agustus 1989 lalu, sekitar 20 tokoh LSM dipanggil oleh Mendagri Rudini. Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung dua jam di kamar Mendagri itu, hadir pula wakil dari Bakin. Bais-ABRI. Mabes ABRI, dan staf Menko Polkam. Rudini berpendapat bahwa surat yang ditujukan ke Bank Dunia itu mengandung beberapa perkataan yang mencoreng nama baik Indonesia, yang semestinya ditolak oleh LSM Indonesia. Mungkin, karena pengalaman tahun lalu itulah maka tujuh pemimpin LSM menyempatkan untuk berpamitan ke Mendagri Rudini sebelum berangkat ke Bonn, awal April lalu. "Pakailah kaca mata kita kalau mau mengkritik. Bagaimanapun, saya kira Saudara-Saudara adalah bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Ndak bisa bicara atas nama sendiri," begitu pesan Rudini kepada pimpinan LSM. Tampaknya, untuk sementara, kiat itu ampuh buat mengerem LSM tak lagi bersuara keras di kandang orang. Ahmed K. Soeriawidjaja, Ahmadie Thaha (Jakarta), dan Asbari N. Krisna (Hillversum)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini