KAYA minyak bumi dan gas alam belum tentu membikin rakyat desa makmur. Buktinya Aceh, Sumatera Selatan, dan Riau. Ternyata, penghasilan per kapita desa-desa di daerah itu jauh di bawah desa-desa di Yogyakarta, Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu. Pernyataan itu datang dari Prof. Mubyarto. Pada 10 April lalu, Direktur Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (P3PKUGM) itu membeberkan hasil penelitiannya di Provinsi Jambi. Yang menarik dari penelitian tersebut adalah bahwa sukses Sum-Bar Jambi, dan Bengkulu justru karena setia mempertahankan sektor agraria di pedesaan. Sebaliknya, Provinsi Aceh Sumatera Selatan, dan Riau melorot lantaran mengabaikan sektor ini. Ketiga provinsi yang relatif kaya minyak bumi itu memang mampu memacu pertumbuhan ekonominya lewat pertambangan dan pengilangan minyak. Hanya saja berkahnya ternyata tidak menetes sampai penduduk pedesaan. Kalau pada 1980 Sum-Sel berada di urutan ke-2 (Rp 126.100) -- dilihat dari pengeluaran penduduk pedesaan per kapita per tahun yang dideflasikan dengan indeks biaya hidup di Jakarta -- pada 1987 anjlok ke peringkat ke-11 (Rp 247.600). Sedangkan Riau, yang pada 1980 ada di peringkat ke-6 (Rp 115.500), harus puas di urutan ke-24 pada 1987 (Rp 147.700). Sebaliknya, tiga provinsi yang tidak kaya minyak di Sumatera -- Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu -- kemakmuran penduduk desanya justru melaju. Sumatera Barat pada 1980 menduduki urutan ke-3 (Rp 124.000). Tapi tahun 1987 naik satu tingkat menjadi urutan ke-2 (Rp 319.300). Bengkulu pada 1980 berada di urutan ke-9 (Rp 108.000), tiba-tiba melonjak di urutan ke-4 (Rp 294.400) pada 1987. Jambi naik satu tingkat dari urutan ke-4 (Rp 123.700) pada 1980 menjadi urutan ke-3 (Rp 298.200) pada 1987. Sedangkan urutan pertama dipegang Daerah Istimewa Yogyakarta (Rp 358.200). Padahal, pada 1980 ia masih di urutan ke-12 (Rp 102.200), bahkan pada 1960-an termasuk nomor tiga termiskin. Yang paling memprihatinkan, selain Riau dan Sumatera Selatan, adalah Provinsi Aceh. Sejak 1980 - 1987, peringkat Aceh terus menurun. Semula ia berada di peringkat I (Rp 147.200), namun pada 1987 melorot tajam ke peringkat ke-14 (Rp 239.700). Itu lantaran ekspor minyak bumi anjlok sejak 1980. "Efek negatifnya sangat terasa bagi warga provinsi-provinsi minyak ini," kata Mubyarto. Sebaliknya, provinsi seperti Jambi yang tidak tergantung pada minyak, justru melaju ke peringkat atas. Rahasianya, menurut Awan Setya Dewanta, Asisten Peneliti Tim P3PK UGM, terletak pada kegairahan penduduk desa dalam menggarap potensi pedesaan. Sebenarnya, di Jambi bukannya tidak ada perkembangan di sektor industri. Sektor ini malah telah memberikan sumbangan terhadap PDRB sebesar 10,82% pada 1980, dan meningkat jadi 11,87% pada 1988, dengan laju pertumbuhan 16,78% per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan sektor pertanian justru turun sampai 5,44% per tahun. Sumbangannya terhadap PDRB pada 1983 masih 38,07%, namun pada 1988 turun jadi 31,73 persen. Anehnya, itu bukan berarti penurunan tingkat kemakmuran. Tim P3PK -- yang dipimpin Prof. Mubyarto ketika melakukan penelitian di Kabupaten Batanghari selama enam bulan itu -- menemukan kenyataan yang mengherankan. Pertumbuhan pendapatan penduduk pedesaan sejak 1980-1987 justru meningkat sangat tinggi, yaitu 12,7%. Menurut Mubyarto, itu disebabkan karena mata pencaharian penduduk sangat bervariasi. Di Desa Sakean, misalnya, penduduk mampu berswasembada pangan tanpa bantuan proyek-proyek yang dibuat Pemerintah. Dari pohon duku saja, tiap kepala keluarga mampu menghasilkan rata-rata Rp 2 juta per 3 tahun. Belum lagi dari durian, kelapa, pisang, dan berbagai tanaman pangan yang cukup untuk konsumsi keluarga. Penduduk mengusahakan apa saja yang menghasilkan uang dan memanfaatkan hasilnya secara efisien. "Pendapatan penduduk desa rata-rata Rp 500.000 per tahun," ujar Mubyarto mengira-ngira. Sikap hampir serupa dilakukan penduduk Yogyakarta, meski atas bantuan Pemerintah. Berkat peningkatan sarana ke desa-desa, rakyat beramai-ramai menggalakkan industri kerajinan batik, perak, kulit bambu, gerabah, dan lain-lain yang bisa dijual sebagai komoditi pariwisata. Lain halnya dengan penduduk Desa Ture, masih di bilangan Kabupaten Batanghari. Semula, daerah ini tergolong sumber karet. Pada 1970 harga karet anjlok. Petani menjadi enggan menyadap dan memelihara pohonnya. Akibatnya, timbul pengangguran dalam jumlah besar. Kemudian mereka lari sebagai buruh industri-industri kayu di sekitarnya. Tetapi jumlah industri ini pun mengalami penyusutan pada 1985 - 1987. Yakni dari 104 menjadi 89 perusahaan. Akibatnya, penghasilan mereka pun menurun. Yang penting dicatat dari penelitian P3PK ini adalah fakta bahwa provinsi yang kaya minyak atau pesat perkembangan sektor industrinya belum tentu sanggup meningkatkan ketahanan ekonomi di wilayah pedesaan. "Karena yang pendapatannya meningkat hanya penduduk di sekitarnya, bukan penduduk pedesaan." Begitu Mubyarto menyimpulkan. Contohnya, penduduk di sekitar proyek LNG Arun, Lhokseumawe, Aceh, atau proyek Inalum. Sumatera Utara. Penduduk di dua daerah ini sempat merasakan fasilitas yang diberikan proyek. Misalnya, sekolah dan sarana ibadah. Tetapi manfaatnya hanya sebatas di sekeliling daerah itu, tidak sampai ke desa-desa. Kesimpulan itu tidak sepenuhnya dibantah oleh Dirjen Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah (PUOD), Atar Sibero. "Sebenarnya, usaha-usaha industri pun bisa menghasilkan keuntungan langsung bagi masyarakatnya," kata Atar. Ia memberi contoh industri garmen di Bali. Pengusaha meminjamkan mesin-mesin ke desa dan langsung melibatkan penduduknya, sehingga masyarakat Bali dapat menikmati keuntungan ekspornya. Sayangnya, Bali cuma menduduki peringkat ke-16 (Rp 230.300) pada 1987. Priyono B. Sumbogo, Ardian Taufik Gesuri (Jakarta), Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini