Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Jakarta, nama itu tiba di tangan Chemezov, Direktur Rosoboronexport, Rusia. Lewat surat 18 Agustus 2005, Laksamana Pertama Yoedoko, atas nama TNI Angkatan Laut, menunjuk Nur Budiarto sebagai liaison officer untuk mencari informasi tentang pembelian korvet bikinan Rusia.
Nama inilah yang dipertanyakan sejumlah pihak. Djoko Susilo, anggota Komisi Pertahanan DPR RI, malah menyebut peran agen dalam rencana membeli korvet ke Rusia. Ada lagi nama Roland Hasibuan. ”Mereka yang membuat KSAL tergilagila kapal Rusia,” kata Djoko kepada Tempo, pekan lalu.
Untuk membeli kapal Rusia, Kepala Staf TNIAL, Laksamana Slamet Soebijanto, nyaris membatalkan pembelian korvet dari Belanda. Dalam surat kepada Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, 15 November 2005, Slamet minta pengalihan ke Rusia, yang menyediakan korvet sesuai dengan kebutuhan TNIAL. Dia juga langsung mengirim surat ke produsen korvet Belanda, Royal Schelde Naval Shipbuilding, 18 Januari lalu.
Usul Slamet menimbulkan masalah. Rencana pemerintah, yang telah lama meneken kontrak pembelian empat korvet dari Schelde, tak mungkin dibatalkan. Kontraknya ditandatangani pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pembelian dua kapal pertama sudah deal. Dua korvet lain harus dilanjutkan tahun ini.
Djoko Susilo mencemaskan, langkah pembatalan dilakukan karena imingiming para agen. Kehadiran agen bisa menambah ongkos, padahal pemerintah ingin berhemat. Seorang pejabat di Departemen Pertahanan, yang tak mau dikutip namanya, justru membenarkan kehadiran agen itu. ”Betul, silakan mencari info lebih lanjut,” katanya lewat pesan pendek kepada Tempo.
Nur Budiarto adalah Direktur PT Navindo Yudha. Dalam dokumen yang ditelusuri Tempo, Navindo bergerak di bidang usaha jasa dan perdagangan. Navindo menyebut diri agen dan perwakilan dari badanbadan perusahaan lain, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Navindo berdiri pada 7 Juli 2003, dengan akta yang ditandatangani notaris Bambang Wiwieko. Kantornya dua: di Menara DEA, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dan di Wisma Barito Pasifik, Jakarta Barat. Ketika didatangi Tempo, kedua alamat itu sunyi senyap.
Seorang petugas keamanan di Menara DEA kerap bingung menerima surat untuk Navindo. ”Diserahkan ke siapa?” ujarnya setiap memberi alasan menolak surat itu dari kurir. Begitu pula suasana di Wisma Barito Pasifik.
Nur Budiarto, menurut itu dokumen, bertempat tinggal di Jalan Manggarai Utara IV/D No. 8, RT 5 RW 1, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Ternyata, ketika didatangi Tempo, rumah itu sudah ditempati orang lain sejak 1998.
Laksamana Slamet Soebijanto pernah mengungkapkan alasan menunjuk ”agen” ini. TNIAL memakai Nur Budiarto karena latar belakangnya sebagai anggota Kamar Dagang dan Industri, Komite Rusia. Dia, konon, paham selukbeluk pembelian senjata di Rusia. ”Tapi, pembelian tetap dari pemerintah ke pemerintah,” katanya (Tempo, 10 Oktober 2005).
Ternyata, di Kadin Komite Rusia, nama Nur Budioarto justru tak begitu bunyi. ”Saya tak pernah mendengar namanya selama ini,” kata mantan ketua komite itu, Setiawan Djodi, kepada Tempo. Ia menduga Budiarto orang baru.
Lain lagi dengan Roland Hasibuan, yang menurut Djoko Susilo kerap menyebut diri doktor ilmu nuklir lulusan Rusia. Nama Roland tak tercantum dalam daftar ilmuwan di Departemen Pendidikan Nasional. Mahasiswa ikatan dinas Institut Mendeleyev Moskow, Rusia, itu cuma kuliah dua tahun. Setelah 1962, dia lenyap dari peredaran.
Pada 1990, Roland balik ke Indonesia. Dia mendirikan PT Danaraya, perusahaan yang diberi tugas Induk Koperasi Angkatan Laut, ketika dipimpin Komodor Laut (alm) H.M. Mahdi Joesoef. Dia penghubung sejumlah perusahaan eks Uni Soviet, antara lain untuk pengadaan rantai tank PT 76 keperluan Marinir.
Kepulangan Roland ke Tanah Air membuat pemerintah dicecar pertanyaan oleh delegasi Rusia, pada 1995. Para pengusaha Rusia terjebak proyek fiktif Roland karena telanjur mempercayainya sebagai perwakilan Indonesia. Roland lalu hengkang ke Australia, dan baru balik ke Tanah Air pada 1998.
Roland dan keluarga anaknya, Hendra Utama, tinggal di Jalan Buana Pesanggrahan I Nomor 37, Perumahan Bukit Cinere Indah, Depok. Tapi, pria 60 tahun itu sulit nian dicari. Pesan ke telepon selulernya tak pernah berbalas. Di rumah, para penghuni selalu mengatakan ia ke luar kota.
Hendra Utama menampik ayahnya terlibat bisnis senjata. ”Papa orang sipil. Apa ikut yang kayak gitu?” kata pengusaha keramik di Cibitung, Jawa Barat, itu. Ayah tiga anak ini cuma membenarkan, PT Danaraya memang milik ayahnya. ”Tapi itu dulu banget, sekarang enggak,” katanya. Hendra tak menyangkal ayahnya dulu sering ke luar negeri, khususnya ke Rusia. Namun, dia enggan mengungkap latar belakang pendidikan ayahnya di Moskow.
Laksamana Slamet Soebijanto enggan mengungkapkan sosok Roland dan Nur Budiarto. ”Saya kira tidak perlu membicarakan masalah itu,” ujarnya, singkat. Dia menyatakan, pertanyaan tentang kedua orang itu rentan kepentingan, meski tak mau menuding pihak tertentu.
Hal yang sama ditegaskan juru bicara Markas Besar TNIAL, Laksamana Pertama Malik Yusuf. Sekalipun ada orangorang yang membantu KSAL ke Rusia, katanya, sebatas memberi masukan dan pertimbangan. Pelaksanaan kontrak tetap melalui pemerintah. Tak ada agen atau perantara.
Eduardus Karel Dewanto, Mustafa, Dewi Rahmarini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo