Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Komisi II DPR Siap Bahas Revisi UU Ormas jika Pemerintah Mengusulkan

Mendagri sempat mengusulkan revisi UU Ormas sebagai respons atas maraknya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah ormas di tanah air.

28 April 2025 | 17.08 WIB

Pimpinan Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda memimpin rapat kerja dan rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI bersama Menteri PAN&RB, Menteri ATR/BPN, Mendagri, Kepala BNPP, Ketua DKPP, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, Kepala BKN, Kepala LAN, Kepala ANRI dan Ketua ORI di gedung DPR RI, Jakarta, 12 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
material-symbols:fullscreenPerbesar
Pimpinan Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda memimpin rapat kerja dan rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI bersama Menteri PAN&RB, Menteri ATR/BPN, Mendagri, Kepala BNPP, Ketua DKPP, Ketua KPU, Ketua Bawaslu, Kepala BKN, Kepala LAN, Kepala ANRI dan Ketua ORI di gedung DPR RI, Jakarta, 12 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan siap membahas revisi Undang-undang atau UU Ormas apabila memang ditugaskan pimpinan DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kalau bagi kami di DPR, terutama Komisi 2 DPR RI, kalau memang itu usulan dari pemerintah dan kami ditugaskan oleh pimpinan DPR untuk membahasnya, kami siap,” kata Rifqi saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR/MPR di Senayan, Jakarta, Senin, 28 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, secara pribadi, Rifqi menilai belum ada urgensi untuk merevisi UU Ormas akibat banyak kasus meresahkan di masyarakat. Ia mengatakan kasus yang ramai terjadi saat ini adalah pelaku perorangan yang mengatasnamakan ormas untuk memeras.

Di samping itu, Undang-undnag Ormas sudah cukup kuat untuk mengawasi ormas secara ketat. Menurut Rifqi, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana UU Ormas dan penegakan hukum diimplementasikan.  

“Sepanjang aparat penegak hukum melakukan penegakan, orang mau malak, mau meras, minta THR dan seterusnya, harusnya isu ini tidak jadi masalah,” kata Rifqi. “Tetapi kalau memang betul ini adalah perilaku secara kolektif kelembagaan, institutional ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas itu kan sebetulnya sudah memberikan mandatori kepada pemerintah.”

Sehingga, menurut Rifqi, revisi terhadap Undang-Undang Ormas belum terlalu urgen apabila tujuannya untuk membubarkan ormas. Ia mengatakan pemerintah bisa memperkuat Peraturan Pemerintah untuk mengawasi ormas lebih ketat.

“Termasuk penggunaan dana-dana ormas yang selama ini kerap kali kita curigai, tidak hanya yang disetorkan dan yang diaudit resmi, tetapi juga menggunakan dana-dana lain yang tidak sah,” kata Rifqi. 

Peluang revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian. Usulan ini sebagai respons atas maraknya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah ormas di tanah air.

"Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat. Di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan," kata Tito saat ditemui awak media di Jakarta, Jumat, 25 April 2025, dikutip dari Antara.

Tito mengatakan salah satu aspek penting yang perlu dievaluasi adalah mekanisme pengawasan, terutama dalam hal transparansi keuangan. Ia menilai ketidakjelasan alur dan penggunaan dana ormas bisa menjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.

Tito menegaskan bahwa ormas sejatinya adalah bagian dari sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Meski begitu, dia mengingatkan bahwa kebebasan tersebut tidak boleh digunakan untuk melakukan intimidasi, pemerasan, apalagi kekerasan.

“Kalau seandainya itu adalah kegiatan yang sistematis dan ada perintah dari ormasnya, maka secara organisasi bisa dikenakan pidana. Korporasinya,” kata mantan Kapolri itu.

Tito mengatakan Undang-Undang Ormas yang dirancang pascareformasi pada 1998 memang mengedepankan kebebasan sipil. Namun ia mengatakan dalam perkembangannya sejumlah kelompok justru menyalahgunakan status ormas untuk menjalankan agenda kekuasaan dengan cara-cara koersif.

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus