Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua meja berhadapan di ruang 208 gedung utama Lembaga Pertahanan Nasional itu hampir selalu kosong. Hanya ada papan nama terbuat dari kayu berukir pada masing-masing meja serta setumpuk undangan dan surat yang belum dibuka. Pada satu meja bertulisan Dr Ir Kazan Gunawan MA, yang lainnya Dr Jusuf MM.
Kedua kakak-beradik itu adalah anggo-ta kelompok ahli Gubernur Lemhannas yang bermarkas di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka jarang tampil ke publik. Hanya Jusuf yang beberapa kali tampil di media massa se-bagai pengamat. ”Keduanya juga jarang ke kantor, paling sebulan sekali,” kata seorang pejabat Lemhannas.
Namun, sang adik, Kazan Gunawan, menjadi bahan pembicaraan dua pekan- lalu. Anggota parlemen Ade Daud Is-wandi Nasution yang ”mengorbitkannya”. Saat uji calon Panglima TNI, ia menyebut Kazan sebagai ”kepala staf ang-katan keempat” setelah KSAD, KSAL, dan KSAU.
Ade saat itu mempersoalkan posisi Kazan sebagai pemasok bahan perbekalan tentara yang selama 30 tahun tak pernah diganti. Ia mengaku sengaja menyentil masalah ini agar monopoli di TNI segera diakhiri.
Pernyataan anggota Fraksi Partai Bin-tang Reformasi itu membuat merah te-linga orang lain. Sehari setelah uji kandidat digelar, tiga lelaki menghampiri dan memukulnya. Dari pemeriksaan polisi, seorang pemukul diketahui bernama Edi Sandjaja, anggota Pemuda Panca Marga, salah satu organisasi ke-luarga tentara. Hingga kini, ia masih ditahan di Polda Metro Jaya.
Selama ini Kazan dan kakaknya, Jusuf, memang dikenal juga sebagai pemilik PT Jangkar Nusantara Megah, per-usahaan pembuat berbagai jenis ransum tentara. Didirikan pada 1981, perusaha-an ini memiliki pabrik di daerah Driyo-rejo, Gresik, Jawa Timur. Dalam situs di internet, Jangkar mengaku berpenga-laman memasok makanan halal bagi tentara Indonesia yang bergabung dalam pasukan perdamaian PBB. ”Kami juga mengekspor ransum untuk Angkatan Ber-senjata Brunei,” demikian tertulis dalam situs www.un.org.
Karena dekat dengan tentara, Jangkar pun merekrut sejumlah pensiunan perwira tinggi untuk menjadi komisaris. Di antaranya Letnan Jenderal (Purn.) Soe-yono, Komisaris Jenderal (Purn.) Yuyun Mulyana, Laksamana Muda (Purn.) Gofar Suwarno, serta Laksamana (Purn.) Widodo A.S. Widodo mundur setelah diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Soeyono cukup berperan dalam membesarkan Jangkar. Ketika masih letnan kolonel, ia pergi ke Amerika Serikat pada 1978. Di sana, Soeyono banyak melihat berbagai jenis ransum militer yang dibuat dengan teknologi tinggi. Setelah pulang ke Tanah Air, ia meminta sejumlah perusahaan pembuat ransum untuk meniru model dari Amerika. ”Ternyata yang bisa menerjemahkan ide saya dulu hanya Jangkar,” kata bekas Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu.
Kini, dengan teknologi freezed-dry (beku kering), Jangkar bisa membuat ransum dengan berbagai rasa. Perusaha-an itu, misalnya, bisa membuat ransum soto yang bila dimakan benar-benar be---rasa soto. ”Itu karena nasinya betul-be-tul- nasi dan dagingnya betul-betul da-ging-,” kata Soeyono. ”Tinggal diberi air panas selama 15 menit sudah jadi soto.”
Freezed-dry adalah teknologi untuk- menghilangkan unsur air dalam makanan sekaligus mengawetkannya. Dengan teknologi ini, makanan menjadi awet, lebih ringan, mudah diangkut, serta enak dibawa oleh prajurit. Jangkar juga mengemas ransum buatan mereka de-ngan bahan khusus agar tahan lama.
Dengan teknologi itu, Jangkar bisa memproduksi ransum berasa udang, nasi goreng, dan rasa-rasa lain. Produk-produk itu lalu dipakai oleh anggota pasukan tempur yang jumlahnya sekitar dua pertiga dari total 550 ribu prajurit TNI.
Mungkin karena berhubungan de-ngan ke-butuhan militer, pabrik Jangkar di Gresik sangat tertutup. Bangunan itu di-kelilingi tembok tinggi, yang di atasnya dipasang kawat berduri. Seorang warga menyatakan, semua karyawan pabrik itu tinggal di asrama. ”Tak ada yang bisa keluar dengan bebas,” katanya.
Prapto, warga desa lain, mengaku per-nah sekali masuk pabrik untuk me-ngantar pesanan minyak tanah ke kantin. Namun, ia tak bisa berlama-lama di dalam. Petugas keamanan pabrik segera memintanya keluar. Adapun Sukirno, pegawai perusahaan mebel di belakang pabrik Jangkar, mengisahkan, pabrik itu dijaga petugas berpakaian loreng. ”Kami juga sering melihat ada kunjung-an yang dikawal petugas militer,” tutur-nya.
Selama ini tak pernah ada perusahaan yang bisa menggeser posisi Jangkar di Cilangkap sejak mereka masuk pada 1989. Sumber Tempo memperkira-kan, nilai kontrak Jangkar dengan TNI bisa mencapai Rp 600-an miliar per tahun. ”Bisa lebih kalau sedang ba-nyak operasi militer, seperti ke Aceh atau Poso,” katanya.
Tak ada konfirmasi dari Markas Besar TNI soal nilai kontrak dengan Jangkar. Ditanyai soal ini, Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Endang Suwarya me-ngelak. ”Saya baru satu bulan di sini, jadi belum tahu,” katanya. Adapun Kepala Badan Perbekalan TNI Brigadir Jenderal Abi Kusno mengaku tak hafal.
Yang jelas, kebutuhan tentara sangat banyak. Mereka mengenal lima kelas logistik. Kelas 1 adalah makanan dan minuman. Kelas 2, alat peralatan perorangan, termasuk senjata. Kelas 3, bahan bakar minyak dan pelumas. Kelas 4, peralatan untuk barak. Kelas 5, amunisi dari yang paling ringan hingga berat.
Ransum makanan hanya satu bagian saja dari logistik kelas 1. Bagian ini masih dibagi-bagi lagi menjadi ransum tempur, ransum rumah sakit, ransum tahanan, dan roti kabin. Kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi sepanjang tahun. Dan, hampir semuanya dipasok oleh Jangkar.
Dengan nilai Rp 600-an miliar per tahun, pengadaan ransum mestinya mengikuti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan itu mewajibkan peng-adaan barang atau jasa bernilai di atas Rp 50 juta melalui tender.
Namun, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyebutkan bahwa tender tak perlu dilakukan setiap tahun. Alasannya, Jangkar telah memenuhi syarat-syarat yang diinginkan serta telah melewati uji oleh Badan Penelitian dan Pengembangan TNI. ”Kalau ada perusahaan lain yang akan masuk, ajukan saja,” kata Sutarto, Jumat dua pekan lalu. ”Jika sesuai dengan se-lera prajurit dan lebih murah, pasti kami ambil.”
Sutarto justru menuduh Ade Nasution menggunakan lembaga parlemen untuk kepentingan bisnisnya. Menurut dia, pernyataan Ade soal Kazan saat uji kandidat Panglima TNI itu bukan yang pertama. Ia lalu mengisahkan sikap Ade yang langsung menawarkan produk tertentu dalam sebuah rapat DPR dengan jajaran TNI. ”Saya jawab ketika itu, emang ini Pasar Senen?” tuturnya.
Sumber Tempo menyatakan, Ade memang tak imun dari kepentingan bisnis. Pemilik saham Hotel Crowne, Jakarta-, itu, kabarnya, hendak menggandeng Japfa Comfeed ke TNI.
Japfa selama ini dikenal sebagai per-usa-ha-an pembuat makanan ternak. Mereka kemudian melebarkan usahanya- ke makanan olahan, yang antara lain dipasarkan dengan merek So Good. Sebelum menjadi Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar adalah presiden komisaris perusahaan itu.
Kepala Hubungan Investor dan Publik- Japfa Kevin Monteiro mengaku perusahaannya tak berencana memasok kebutuhan makanan untuk TNI. Ia juga menyebutkan, tak ada hubungan antara Ade dan Japfa.
Ade mengaku memang pernah me-nawarkan produk Japfa ke Sutarto, namun ia membantah terkait dengan perusahaan itu. ”Saya tak ada urusannya dengan Japfa. Tapi tak salah dong kalau saya menolong orang,” ujarnya.
Menurut Ade, ia hanya meminta agar TNI membuka kesempatan kepada Japfa untuk bisa mengikuti tender. ”Saya tak pernah meminta agar Japfa langsung ditunjuk,” tuturnya.
Ia balik mempersoalkan posisi Kazan di Lemhannas yang ia curigai sebagai tempat untuk terus dekat de-ngan kepemimpinan TNI. Lemhannas adalah salah satu lembaga pendidikan bagi calon-calon pejabat di militer.
Kazan direkrut Lemhannas saat Ermaya Suradinata jadi gubernur lembaga ini pada 2003. Adapun Jusuf diangkat jadi anggota kelompok ahli setahun sebelumnya saat kepemimpinan Letnan- Jenderal Johny Lumintang. Kedua per-nah- mengikuti kursus singkat di lembaga ini.
Selain bekerja di Lemhannas, Jusuf dan Kazan- adalah aktivis Musya-warah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), organisasi kemasyarakatan yang banyak diisi keluarga tentara.
Kazan sendiri menolak diwawancarai. Saat Jenderal Soeyono menghubungkan Tempo dengannya melalui telepon seluler, ia yang mengaku sedang di Singapura menyatakan tak mau terjadi ”sahut-sahutan” di media massa soal kasus ini. Jusuf juga bersikap serupa. ”Aku nggak ngerti, Mas” katanya.
Soal pemukulan terhadap Ade, Kazan pun mengaku tak terlibat. Dengan logat Jawa Timur yang khas, Kazan melalui telepon Soeyono menyatakan: ”Saya -nggak nyuruh, saya nggak ndalangi.”
Budi Setyarso, Mustafa Moses (Jakarta), Fatkhurohman Taufiq, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo