Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejari Nusa Tenggara Barat menjebloskan tersangka pelaku pelecehan seksual terhadap lebih dari 15 perempuan berinisial IWAS alias Agus Buntung ke dalam penjara, Kamis 9 Januari 2025. Berkas perkara tersangka yang merupakan penyandang disabilitas fisik paraplegi kedua tangan dianggap telah lengkap dan memiliki bukti yang cukup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam proses penahanan ini, penyidik mengatakan sudah berkoordinasi dengan Komisi Disabilitas Daerah NTB. Kendati demikian, apakah lembaga pemasyarakatan NTB sesuai pernyataan publiknya akan benar-benar menyiapkan aksesibilitas dalam penjara bagi Agus? Pasalnya, penjara sering kali tidak dapat terakses oleh narapidana dengan disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seringkali penjara menyita alat bantu dan obat-obatan. Narapidana yang memiliki disabilitas terpaksa tidur di lantai selnya karena tidak ada akses untuk kursi roda, dan napi berkursi roda ini tidak dapat berpindah ke ranjang susun.
Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat misalnya, banyak napi pengguna kursi roda yang tidak dapat mengakses toilet di penjara lantaran ukurannya yang tidak dapat mengakomodasi manuver kursi roda. Sehingga banyak dari tahanan itu terpaksa membuang kotoran mereka di lantai tanpa ada yang membantu.
Konsekuensinya, napi penyandang disabilitas harus dipindahkan di sel isolasi. Seperti cerita Gregory Allen, seorang tahanan pengguna kursi roda asal Kanada yang harus menjalani hari-harinya di sel isolasi penjara. Ia diizinkan menggunakan kursi rodanya tetapi dengan risiko ditempatkan di sel isolasi selama 412 hari.
Pengurungan isolasi merupakan praktik yang dapat menyebabkan kecemasan, kehilangan kendali, keinginan bunuh diri, dan banyak bahaya lain yang menghancurkan. Lantaran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan pedoman dan aturan untuk melindungi hak-hak narapidana penyandang disabilitas, memastikan mereka diperlakukan dengan bermartabat, adil, dan hormat.
Seperangkat pedoman utama bagi narapidana, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, adalah aturan standar minimum PBB untuk perlakuan terhadap narapidana yaitu Hukum Mandela, yang diadopsi oleh negara - negara anggota pada tahun 2015.
Hukum Mandela menegaskan bahwa semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan dengan hormat sesuai dengan martabat dan nilai yang melekat pada diri mereka sebagai manusia. Bahkan pasal 6 aturan ini menekankan pentingnya perlakuan yang sama bagi semua narapidana tanpa diskriminasi, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Hukum ini berarti bukan hanya mengutamakan hak napi disabilitas, melainkan pula hukuman dan kewajiban mereka di dalam penjara. Sementara pasal 7 Hukum Mandela mencantumkan penjara perlu menyediakan tindakan khusus bagi narapidana dengan disabilitas fisik, mental, atau sensorik, memastikan bahwa akomodasi dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka.
Aturan tersebut menyebutkan perlu ada ketersediaan perawatan medis, akses ke rehabilitasi, dan memastikan bahwa individu penyandang disabilitas memiliki akses ke fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Tidak hanya Hukum Mandela, Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD, 2006) menyediakan kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk hak-hak penyandang disabilitas. Meskipun CRPD tidak secara khusus difokuskan pada penjara, namun berlaku untuk semua bidang kehidupan publik, termasuk fasilitas penahanan.
Penjara harus melakukan penyesuaian yang wajar untuk mengakomodasi narapidana penyandang disabilitas. Ini dapat mencakup penyediaan fasilitas yang dapat diakses, seperti jalur landai dan memastikan bahwa narapidana penyandang disabilitas memiliki akses terhadap perawatan medis dan rehabilitasi yang diperlukan.
Antara, Penal Reform International, Briarpatch Magazine, CCLA.org