Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akhir ''tunjangan'' rabu malam

SDSB ditutup. saldo deposito SDSB sampai tahun ini Rp 130 miliar. betulkah ada juga dana yang ''dibelokkan'' untuk mantan pejabat dan pensiunan jenderal?

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH lakon menarik berlangsung di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Sejak pagi hari ratusan orang sudah menyemut di sana. Ada wartawan, pelajar, mahasiswa, diplomat, pegawai negeri, pengacara. Puluhan anggota pasukan anti huru- hara bersenjata pentungan dan tameng dikerahkan mengamankan keadaan di sana. Ada apa orang ramai-ramai ke tempat wakil- wakil rakyat itu? Pagi itu, massa menanti keputusan Menteri Sosial Inten Soeweno, yang tengah melakukan rapat kerja dengan Komisi VIII DPR-RI di Ruang Wachanasabha III, tentang penutupan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). ''Kalau SDSB tak dicabut, kita akan terus berjuang. Kalau perlu kita menginap di sini,'' teriak seorang aktivis melalui megafon di depan puluhan massanya. Setelah berkutat hampir enam jam termasuk menjawab pertanyaan dan mendengarkan komentar sekitar 20 anggota DPR soal SDSB akhirnya Inten menyampaikan keputusan yang sudah dinanti-nantikan mereka yang anti SDSB. ''Dengan ini saya nyatakan... mencabut dan membatalkan berlakunya Keputusan Menteri Sosial... yang memberikan izin berlakunya SDSB tahun 1994,'' katanya. Usai Inten mengucapkan kalimat bertuah itu, tepuk tangan kontan terdengar riuh di Ruang Wachanasabha III maupun di pelataran Gedung DPR, tempat massa berkumpul. ''Hidup Mensos..., hidup Mensos,'' teriak pengunjung. Menteri Inten dalam keputusannya tak menyebut soal kontrak penjualan kupon SDSB untuk tahun 1993 yang masih bisa diedarkan beberapa minggu lagi. Tapi, sejak 24 November kemarin, para agen sudah tak lagi mengedarkan kupon SDSB. Mengapa pemerintah menutup SDSB yang selama ini tak tergoyahkan oleh berbagai protes? Tak terungkap dalam pidato Inten. Ada yang mengatakan semua ini lantaran gelombang unjuk rasa menggoyang SDSB sudah sampai di depan Istana Negara dan Bina Graha (tempat Presiden Soeharto berkantor) disebut Menteri Moerdiono sebagai aksi yang sudah ''menyinggung simbol- simbol kenegaraan'' yang kalau tak ditanggapi dengan cepat bisa ditunggangi untuk kepentingan lain. Apalagi aksi-aksi ini sudah mulai menjurus ke arah perusakan, khususnya kios-kios penjualan kupon SDSB. Sejak kupon SDSB diperjualbelikan pada awal 1989, sebenarnya sudah banyak yang protes. Mereka melihat SDSB tak berbeda dengan undian-undian terdahulu. Pada tahun 1986, misalnya, Pemerintah mengedarkan Porkas, yang kemudian berganti nama menjadi KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah) atau TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah), dan juga dikecam banyak pihak karena peredaran kupon undian ini mengganggu perekonomian masyarakat bawah. Kendati dicaci dan dimaki, KSOB dan TSSB tetap jalan terus. Menteri Sosial Selain jurus diplomasi Menteri Haryati, peranan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (ketika itu) Sudomo ''mengamankan'' pelaksanaan TSSB, KSOB, dan SDSB (diluncurkan 1989) juga besar. ''Jangan salah mengerti,'' kata Sudomo waktu itu, ''Saya bukan mau membekingi SDSB. Saya hanya mau melaksanakan petunjuk Bapak Presiden untuk mengawasi sekaligus memberantas kegiatan judi buntut liar yang ikut membonceng pelaksanaan TSSB-KSOB. Karena saya diberi tugas, ya, saya kerjakan dengan sebaik-baiknya.'' Melihat Pemerintah begitu ngotot mempertahankan kupon-kupon undian itu, sampai-sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) jadi ''terpeleset''. Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Ibrahim Hosen, sempat mengeluarkan fatwa yang menyatakan Porkas, KSOB, dan TSSB bukan judi. Baru pada tahun 1991 MUI mengoreksi sikapnya dengan mengeluarkan fatwa bahwa SDSB haram karena banyak mudaratnya. Ketika Inten dilantik menjadi Menteri Sosial Maret lalu, gelombang anti SDSB makin kencang. Tapi dia masih mencoba bertahan. Malah, 9 September lalu, Inten sudah memperpanjang izin SDSB tiga tahun sekaligus (sampai 1996) biasanya perpanjangannya diberikan setahun sekali. Alasannya, SDSB masih diperlukan karena omsetnya besar dan menopang kegiatan sosial dan olahraga. Tahun ini saja, misalnya, uang yang diraup Yayasan Dana Bantuan Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pengelola dana SDSB, sekitar Rp 162,5 miliar naik sekitar Rp 12,5 miliar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun saldo deposito SDSB sampai tahun ini, menurut Hedijanto, salah seorang pengurus yayasan, Rp 130 miliar. Mungkin melihat pemasukan sebesar itu, Menteri Inten sempat tak peduli terhadap dampak negatif SDSB, seperti merosotnya daya beli masyarakat kelas bawah, tersedotnya dana dari daerah ke pusat, dan meningkatnya kasus kriminalitas. ''SDSB bukan judi. Tapi sumbangan yang mendapat imbalan hadiah,'' alasannya. Pernyataannya itu kontan menyulut reaksi masyarakat. Lalu, orang pun bertambah kritis melihat kejanggalan di sekitar SDSB. Sampai sekarang tak jelas berapa persisnya uang yang dikumpulkan dari hasil penjualan kupon itu. Apalagi peredaran SDSB ini melibatkan PT Arthadana Kriya sebagai pelaksana di tingkat nasional, dan ada perusahaan lagi sebagai pelaksana di daerah-daerah. Padahal, seperti kata pakar ekonomi politik, Rizal Ramli, pengumpulan dana dari publik dan untuk kepentingan publik, seharusnya transparan untuk diaudit oleh akuntan publik dan dipertangungjawabkan ke DPR. ''Masyarakat mestinya tahu berapa besar management fee yang dikutip PT Arthadana Kriya,'' katanya. Ia juga mempertanyakan siapa di belakang perusahaan itu, dan apakah hak pelaksana operasional mengedarkan SDSB itu melalui tender atau sekadar penunjukan dengan dukungan kekuasaan. Juga tak ada yang tahu bagaimana bentuk hubungan segi tiga Departemen Sosial-YDBKS-Arthadana Kriya. Sejauh ini memang hanya lima lembaga yang dikirimi neraca keuangan YDBKS: Presiden, Wakil Presiden, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Sosial, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bagaimana bentuk laporan keuangannya? Sampai saat ini pihak-pihak yang mendapatkan laporan itu belum pernah membeberkannya secara terbuka, setidaknya kepada DPR. Lalu, setelah kini SDSB ditutup, apakah ini merupakan kemenangan masyarakat? Boleh jadi. Tapi ada pengamat yang melihat faktor lainnya yang turut mempercepat SDSB masuk kubur. Itu disebabkan karena menjalarnya ''kecemburuan'' di kalangan elite politik. Maklum, dengan sistem laporan yang tertutup ini, memang tak jelas siapa saja yang menikmati dana SDSB. Akibatnya, beredar bisik-bisik yang tak sedap. Apalagi, seperti yang diungkapkan seorang pengurus yayasan yang tak mau disebut namanya, memang tak semua dana SDSB disalurkan untuk kegiatan olahraga dan sosial. Ada juga dana yang ''dibelokkan'' untuk pejabat, mantan pejabat, dan pensiunan jenderal. ''Kalau yang minta mereka, ya, akhirnya kita kasih juga,'' katanya. Ada pula pengamat menganalisa berakhirnya SDSB adalah bagian dari strategi Pemerintah yang kini sedang ''memainkan kartu Islam''. Artinya, menutup SDSB untuk menunjukkan sikap akomodatif terhadap kepentingan kelompok Islam. Tapi, bukankah agama-agama lain juga mengharamkan SDSB?Ahmed K. Soeriawidjaja, Wahyu Muryadi, M. Faried Cahyono, dan Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum