SEKALIPUN tiap Rabu malam, SDSB, sebelum disetop dari peredaran, pekan lalu, mengiming-iming jutaan orang jadi miliarder, toh tak setiap minggu ada pemasang kaya mendadak. Yang banyak justru jatuh miskin akibat utang sana utang sini buat membeli kupon pintas menjadi orang kaya itu. Lihat saja: sejak lotere diizinkan di zaman baheula, dan kemudian berganti nama dengan hwahwe, lotto, porkas, undian harapan, sampai SDSB, banyak lahir peristiwa memelas akibat permainan ini. Tak sedikit kasus perceraian, sakit jiwa, bunuh diri, dan tindak kriminal terjadi gara-gara demam tebak nomor ini. Tak menherankan bila permainan ini dikutuk banyak orang termasuk mereka yang suka mengutak-atik angka di kios-kios penjualan kupon SDSB. Itulah kesimpulan utama pengumpulan pendapat TEMPO terhadap 91 responden yang rajin membeli kupon SDSB setiap minggu. Mereka ditemui secara kebetulan (accidental sampling) di tujuh kota besar, pekan lalu. Sebagian besar responden berusia 25-40 tahun (63,7%). Sedangkan pembeli kupon SDSB yang berumur di bawah dan di atas usia produktif itu jumlahnya nyaris seimbang. Meski didominasi oleh karyawan swasta (28,6%), tukang becak dan buruh kecil (27,5%), komposisi responden berdasarkan pekerjaan bisa dikatakan cukup variatif. Ada pengangguran (6,6%), mahasiswa (4,4%), wiraswasta (13,2%), pengusaha lemah (12,1%), pegawai negeri sipil (6,6%), bahkan ibu rumah tangga (1,1%). Wanita memang menjadi bagian paling sedikit dalam komposisi responden hanya tiga orang (3,3%). Secara garis besar pekerjaan responden nyaris tak berpengaruh tentang setuju atau tidaknya SDSB dihapus. Menarik untuk dilihat adalah pendapat mahasiswa yang jadi responden. Meski gemar memasang SDSB, tiga perempat di antara mereka setuju kupon itu dihapus. Mungkin status mahasiswa itu yang membuat mereka kikuk, apalagi belakangan teman-teman mereka gembar- gembor meneriakkan anti-SDSB, sehingga lebih baik menjawab ''setuju SDSB dihapus'' daripada mempertahankan kegemaran berjudi tersebut. Sekitar 67% dari responden yang berdomisili di tujuh kota besar tadi Jakarta (39,6%), Semarang (5,5%), Yogya (11%), Surabaya, Bandung, Medan, dan Palembang (masing-masing 11%) ternyata tak berkeberatan bila SDSB dihapus saja. Sisanya (33%) masih menginginkan SDSB jalan terus. Kecenderungan ini tentu saja tak lantas dapat dijadikan dasar untuk menilai bahwa para pemasang SDSB selama ini sudah kehilangan selera untuk bermain- main dengan nomor lagi. Sebab, dilihat dari pendapat mereka tentang pengganti SDSB, perbedaan tak bisa dikatakan tajam: hanya 53,8% yang menginginkan SDSB diganti dengan apa saja asalkan bukan lotere. Sisanya, 46,2%, masih berharap pengganti SDSB tetap berbentuk lotere. Perbedaan yang tipis dalam soal pengganti SDSB ini agaknya sebuah peringatan: jangan-jangan sebagian para pemasang yang setuju SDSB dihapus sebenarnya bukan karena alasan moral dan etika, tapi lantaran mereka menginginkan permainan baru yang memberi peluang lebih besar untuk menang. Hal ini bisa dilihat dari responden yang mengaku belum pernah sekali pun bisa menebak dengan jitu nomor yang bakal keluar. Para ''dermawan'' ini (jumlahnya sekitar sepertiga dari seluruh responden) hanya 40% yang masih menginginkan lotere sejenis SDSB. Selebihnya, mengharapkan SDSB diganti dengan permainan lain yang memberi peluang lebih besar kepada pemasang. Kebalikannya terjadi pada mereka yang pernah merasakan nikmatnya menebak nomor dengan tepat. Bahkan, semakin sering nembus begitu istilah buat mereka yang menebak dengan jitu mereka semakin condong memilih penggantian SDSB dengan lotere sejenis. Sedangkan di kalangan pemasang, yang selama ini hanya pernah kena 1-3 kali, lebih dari separuhnya menginginkan pengganti SDSB bukan lotere. Mungkin mereka kapok karena lebih banyak duit keluar (untuk membeli kupon) ketimbang dapat hadiah. Tapi mereka yang pernah menebak dengan tepat antara 4 dan 10 kali, lebih dari setengahnya berkeinginan permainan lotere ala SDSB ini diteruskan. Dan, responden yang pernah menebak dengan jitu lebih dari 10 kali, sebanyak 75% menginginkan lotere sejenis. Pengalaman mendapat durian runtuh SDSB, tak pelak lagi, tak cuma memberi dampak kecanduan. Lebih dari itu, bagi wong cilik seperti Ngatimin, 35 tahun, memberi ''wawasan'' tentang sumber- sumber duit alternatif. Apalagi, setelah kena beberapa kali, penarik becak yang biasa mangkal di Jalan Demak, Surabaya, ini mengaku bisa membeli becak sendiri. Tak aneh kalau kemudian Ngatimin menjadi tak ''rasional''. Dari penghasilannya sebesar Rp 50.000 sampai Rp 70.000 per minggu, sebanyak Rp 10.000 sampai Rp 15.000 disisihkannya untuk membeli kupon SDSB. ''Kalau kalah (sebesar itu) setiap minggu, itu sih biasa,'' kata bapak seorang anak ini, enteng. Barangkali yang perlu dipikirkan: bagaimana mencari pengganti sumber dana bagi kegiatan sosial yang tak haram. Soalnya, cukup banyak mereka yang mengharapkan bisa kaya dengan jalan pintas. ''Mau diganti apa saja, terserah pemerintah. Toh, judi yang lain masih banyak,'' kata seorang responden di Yogya, yang sehari-hari jadi penarik becak. Ivan Haris Prikurnia & TB -------------------------------------------------------------- Pernah Kena? SDSB Dihapus? Pengganti SDSB -------------------------------------------------------------- Pernah 67% Setuju 67% Lotere Sejenis SDSB 46,2% Tidak Pernah 33% Tidak Setuju 33% Bukan Lotere 53,8% --------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini