NAMA Megawati Soekarnoputri kian berkibar sebagai calon ketua PDI. Sampai akhir pekan lalu, dukungan dari cabang-cabang memang belum terang-terangan mengalir. Namun, pendapat umum seolah telah menobatkannya sebagai calon terkuat untuk kursi Ketua PDI dalam kongres luar biasa di Surabaya nanti. Beranikan Mega maju terus walau belum mendapat ''lampu hijau'' dari Pemerintah? Dengan atau tanpa restu, ia akan mencalonkan diri. Kebetulan beberapa cabang telah menjagokannya. Paling tidak, sampai akhir pekan lalu, ia merasa belum dilarang atau dihambat untuk tampil sebagai calon. Berikut petikan wawancara wartawan TEMPO Putut Trihusodo dan Ardian Taufik Gesuri dengan Megawati, Jumat pekan lalu, sekitar pencalonannya: Anda sudah bertemu dengan banyak pendukung. Apa yang Anda tangkap dari pertemuan-pertemuan itu? Ternyata dukungan yang diberikan kepada saya itu kian bertambah, semakin jelas dan kongkret. Mereka sendiri terkesan membawa aspirasi dari bawah. Harapan dan pesan mereka itu merupakan mandat dan aspirasi dari bawah. Apa Anda mendengar secara langsung adanya pengarahan atau tekanan-tekanan yang dihadapi para pendukung Anda? Banyak juga daerah yang mengatakan ada suatu pola yang bisa dikatakan sebagai tekanan. Bisa saja itu adalah ulah oknum. Tapi kalau mereka menanyakan pada diri saya, selalu saya jelaskan bahwa sampai hari ini saya tak mengalami suatu perasaan ataupun tekanan secara fisik dari pihak Pemerintah. Kebetulan banyak juga pernyataan dari pihak pejabat yang berwenang bahwa sama sekali tak akan ada teror-teroran. Anda bertemu dengan Panglima Kodam Jaya Mayjen Hendro Priyono dan stafnya. Isyarat apa yang Anda tangkap? Saya memang bertemu selain secara kekeluargaan. Beliau menemui saya secara resmi sebagai Panglima Kodam Jaya, didampingi semua stafnya. Dan saya, sebagai salah satu utusan dari tiga orang yang telah diputuskan oleh konferensi cabang khusus Jakarta Selatan dan sebagai calon ketua umum yang mereka usulkan untuk pemilihan di kongres luar biasa Surabaya itu. Dalam pertemuan itu saya tak merasakan ada suatu ketegangan atau apa yang sering digambarkan bahwa saya dicekal. Juga saya katakan bahwa saya tak meminta restunya. Kami berbicara sebagai mitra dalam rasa kekeluargaan. Jadi, dialognya juga santai, tidak tegang. Panglima Kodam juga dengan penuh keseriusan menanyakan, ''Kalau menurut Mbak Mega, apa sebaiknya yang dilakukan di kongres luar biasa nanti.'' Saya katakan, karena ini merupakan kongres, pertemuan tertinggi dalam partai, tentunya konstitusi partai itulah yang harus ditegakkan. Seperti diamanatkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, suara tertinggi ada di tangan cabang. Artinya, melalui utusan yang dikirim cabang atau floor. Beliau kelihatannya menerima pendapat saya dengan serius. Tapi ada pendapat yang memojokkan dan menyindir Anda, bahwa Anda akan membawa ajaran Marhaenisme-Soekarnoisme? Ha... ha..., jangan asal bicara. Masalah itu harus dilihat sebagai suatu bangsa yang telah merdeka 50 tahun. Kalau bicara mengenai Soekarnoisme, menurut saya, itu semua mesti berpulang pada bangsa Indonesia sendiri untuk menjawabnya. Siapa sebenarnya Bung Karno itu? Kalau menurut pendirian Pemerintah yang resmi, Bung Karno diberi predikat proklamator dan juga sebagai pahlawan kemerdekaan. Dengan ini saja permasalahannya bisa dilihat lebih jauh ke depan. Kalau kita mau jujur, dengan hati terbuka melihat sejarah, pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan bahwa falsafah kita adalah Pancasila. Jadi, kalau setiap hari kita bicara soal Pancasila, seharusnya mereka yang mengucapkan demikian itu ingat kepada seorang yang bernama Bung Karno. Anda tak merasa mendompleng nama besar Bung Karno, seperti yang dituduhkan sementara orang? Apakah sindiran atau serangan, jelas itu tidak etis. Saya dilahirkan dan tentu mempunyai orang tua. Dan kebetulan orang tua saya bernama Bung Karno. Kalau saya dituduh mendompleng nama itu, apakah saya harus mengatakan pada pendukung saya bahwa jangan sebut saya Megawati Soekarnoputri, tapi sebut saja Mega? Apakah saya mesti menanggalkan nama orang tua saya? Panglima Kodam Jawa Tengah, Mayjen Soeyono, juga bilang, jangan memilih pemimpin yang mengandalkan nama besar orang tuanya. Dengan segala hormat saya, saya ingin mengatakan tentunya beliau juga mempunyai orang tua. Demi tujuan tertentu itu (mencalonkan diri jadi Ketua PDI), apakah saya mesti mengatakan bahwa saya, Megawati binti Bejo atau siapa? DPP caretaker kabarnya ikut bermain, menjegal pendukung Anda agar tak terpilih sebagai utusan dalam kongres di Surabaya? Kalau sampai hal itu terjadi, pertanyaannya, seberapa jauh sebenarnya kematangan dan kedewasaan sikap dari seluruh warga PDI sendiri. Kalau ingin menegakkan konstitusi partai, semua sudah lewat konferensi cabang khusus. Di situ sudah diputuskan, siapa yang menjadi utusan. Jadi, sebenarnya tak bisa enak saja menganulir keputusan yang diambil bila ada pihak yang tak setuju dan mengadakan konferensi ulangan. Bisa dibayangkan kalau kasus itu terjadi di berbagai daerah, padahal kongres luar biasa sudah dekat. Melihat berbagai isyarat, misalnya instruksi kepada kepala direktorat sospol se-Indonesia pertengahan November ini, kelihatannya suprastruktur belum menghendaki Anda sebagai calon Ketua PDI. Bagaimana kalau pencalonan Anda justru mengundang reaksi keras Pemerintah dan mengakibatkan kongres kacau dan macet seperti di Medan? PDI merupakan bagian dari bangsa Indonesia, sebagai satu organisasi politik yang ada di Indonesia. Kongres luar biasa Surabaya, saya yakin, akan bisa menentukan yang positif- positif. Tapi, memang dapat dibayangkan bila sampai terjadi sesuatu. Alangkah kecilnya kita ini sebagai bangsa. Kongres luar biasa, kecuali menentukan nasib PDI, juga mempengaruhi citra Indonesia sebagai bangsa, demokrasi, keterbukaan. Dapat dibayangkan, seperti apa Indonesia nantinya di mata dunia. Tapi suara di sana kan sudah disetel? Ha... ha..., lihat saja di kongres luar biasa Surabaya ini. Kita tak bisa menutup mata. Yang namanya pembina politik itu ada di partai politik sendiri. Sampai seberapa jauh mereka bisa masuk atau tak bisa masuk. Ada aturannya. Apa arti tangis-tangisan dalam pertemuan dengan pengurus dan utusan PDI Solo? Karena kita mempunyai perasaan, emosi, kesedihan, kegembiraan, dan sebagainya. Saya katakan pada teman-teman itu, kita mesti punya harga diri, mandiri, dan percaya diri. Kita harus mampu menegakkannya dengan baik. Mereka juga menjelaskan apa yang terjadi di Solo. Mereka memang menegaskan kembali dukungannya pada saya. Tapi mereka merasakan begitu banyak tekanan. Walau ini mungkin cuma dilakukan oleh oknum-oknum setempat. Itulah yang mereka alami. Apa Anda tak melihat adanya upaya-upaya sistematis dan berskala nasional untuk menjegal Anda? Tolong, tanyakan kepada Pemerintah melalui instansi yang bersangkutan. Panglima ABRI sudah mengatakan tak ada itu. Menteri Dalam Negeri juga mengatakan demikian. Kalau jajaran atau struktur di bawahnya ada yang melakukan hal seperti Anda sebut itu, bisa saya katakan, pemerintah macam apa Indonesia ini. Masak, instruksi dari atas tidak ditaati jajaran di bawahnya? Benarkah Anda mendapat dukungan dari kubu Soerjadi? Saya tidak melihat ada kubu ini atau itu. Saya serahkan semuanya itu di kongres luar biasa, yang akan menentukan siapa yang menjadi ketua umum. Cara dan mekanisme yang ditempuh akan menjadi petunjuk apakah partai ini menegakkan konstitusi atau tidak. Dan sejak di Medan, bisa dikatakan saya tak pernah bersua secara langsung dengan Soerjadi, kecuali dalam beberapa pesta. Bukankah selama ini calon yang jadi mesti mendapat restu dari Pemerintah? Apakah budaya restu itu memang harus selalu kita jalankan di sini? Orang merestui mestinya mengikuti panggilan hati nuraninya, bukan karena diminta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini