Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan JPPI Gugat UU Sisdiknas soal Kewajiban Negara Beri Pendidikan Dasar Gratis

Menurut JPPI, pasal yang digugat dalam UU Sisdiknas jelas mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bebas biaya.

28 Januari 2024 | 06.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menggugat materi Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang sekolah bebas biaya ke Mahkamah Konstitusi. JPPI mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjamin biaya anak sekolah secara gratis, baik sekolah negeri dan swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pasal ini merupakan pasal penting yang menjamin anak-anak Indonesia untuk bisa bersekolah bebas biaya. Tapi sayangnya, pasal ini ditafsirkan sepihak oleh pemerintah dan hanya diberlakukan di sekolah negeri. Di sekolah negeri pun tidak sepenuhnya bebas biaya, karena banyaknya pungutan (liar) di sana-sini," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam rilis tertulisnya pada Selasa, 23 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal ini, menurut Ubaid, jelas mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bebas biaya. Namun kenyataannya, masih banyak orang tua yang harus merogoh kocek dalam-dalam supaya bisa menyekolahkan anaknya. "Ini yang kita persoalkan dalam materi itu,” kata dia.

Dalam pasal tersebut, Ubaid menjelaskan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, berhak mendapat pendidikan gratis. Biaya itu meliputi biaya SPP, biaya buku, biaya seragam, biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan.

"Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya apapun," kata Ubaid.

Ubaid juga mengatakan tafsir dan praktik penerapan yang dilakukan pemerintah atas pasal 34 ayat 2 ini telah memakan banyak korban. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang tidak kebagian bangku sekolah negeri, karena daya tampung yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah anak yang mau bersekolah.

"Anak-anak terpaksa masuk ke sekolah swasta yang berbiaya. Apa yang dimaksud bebas biaya, untuk siapa dan untuk sekolah yang mana? Ketidakjelasan tafsir ini membuat sekolah bebas biaya hanya dijadikan dagangan politik dan pencitraan belaka," kata Ubaid.

Sidang perdana

Sidang perdana gugatan ini telah digelar pada Selasa, 23 Januari 2024. Ubaid menyebut gugatan ini dilayangkan melalui JPPI bersama orangtua murid yang menjadi korban diskriminatif Penerima Peserta Didik Baru atau PPDB.

Dilansir laman MK, sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Para pemohon yang diwakil kuasa hukumnya Arif Suherman menyatakan bahwa frasa dalam pasal yang digugat itu multitafsir karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya.

Norma pasal yang digugat adalah "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.  Selengkapnya Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

“Negara seharusnya mewajibkan dirinya untuk menjamin nasib perolehan pendidikan anak para Pemohon agar ada jaminan kepastian anak para Pemohon bisa menyelesaikan pendidikan hingga usia pada pendidikan dasar sesuai dengan undang-undang a quo," kata Arif.

Faktanya, menurut Arif, banyak anak-anak yang putus sekolah akibat orang tua tidak memiliki uang untuk membiayai anaknya sekolah. "Dan banyak anak dipaksa bekerja yang semestinya mengenyam pendidikan dasar dan tidak dipungkiri lagi ikut orang tua mengemis di jalan raya,” ujarnya.

Di sisi lain, Arif menyebut jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri, sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Maka, menurut pemohon, frasa wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya UU Sisdiknas telah menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Bentuk diskriminasi terhadap anak yang mengikuti pendidikan dasar dapat dilihat dari anak yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah negeri tanpa dipungut biaya atau gratis, sedangkan anak yang mengikuti Pendidikan dasar di sekolah swasta dipungut biaya atau tidak gratis,"kata Arif.

Padahal, menurut Arif, anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar di swasta itu seringkali bukan keinginan anak atau orang tua, melainkan karena keterbatasan zonasi maupun daya tampung sekolah negeri. Sehingga dengan terpaksa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri harus sekolah diswasta, akan tetapi banyak anak-anak yang putus sekolah karena biaya, mengingat pendidikan dasar di swasta dipungut biaya atau tidak gratis,” ujarnya.

Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” UU Sisdiknas, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.

Menanggapi gugatan itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan para pemohon harus mampu menjelaskan pertentangan Pasal 34 UU Sisdiknas dengan Pasal 31 ayat 1 dan 2, Pasal 28 B ayat 2, Pasal 28C ayat 1 serta Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.  “Uraian Saudara belum lengkap karena kalau konsekuensinya sebanyak ini kalau dijadikan dasar kemudian harus dikontestasikan ini pertentangannya gimana. Uraian pertentangannya semakin menjadi banyak kalau kita menggunakan dibahas ada pertentangan secara filosofis. Ada pertentangan soal teoritik dan ada pertentangan secara empirik maupun ada komparatif studi," kata Arief.

Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan permohonan, baik softcopy maupun hardcopy diserahkan paling lambat ke Kepaniteraan MK pada Senin 5 Februari 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus